Penanganan
Terorisme
Suhardi Alius ; Kepala Divisi Humas Polri
|
KOMPAS,
01 Desember 2012
Teroris kini tumbuh seperti jamur di musim
hujan. Maka dibutuhkan pemahaman yang lebih kritis dan obyektif untuk
merespons peristiwa sesaat, tetapi berorientasi pada pengembangan konsep
pencegahan yang lebih luas.
Indonesia memilih pemberantasan terorisme
dengan model law-enforcement.
Sebagai negara demokrasi baru yang telah meninggalkan otoritarianisme
seharusnya ini menjadi proyek percontohan negara yang berhasil memberantas
terorisme dengan sistem yang berbasis criminal-justice
(melalui penindakan oleh polisi dan diproses melalui pintu pengadilan
berlapis).
Criminal
justice system yang
dipilih Indonesia tetap lebih baik dibanding menggunakan pendekatan lain
terhadap terorisme yang kadang proses penangkapan terhadap pelaku terorisme
tidak dapat diungkap kepada publik.
Beberapa negara yang memilih pendekatan
militer, seperti Pakistan dan Yaman, justru menimbulkan kerawanan terhadap
instabilitas politik dalam negeri.
Namun, penanganan teroris di Indonesia
lebih lunak dibandingkan Amerika Serikat sebagaimana diungkap Sidney Jones.
Ia mengatakan, Indonesia lebih baik menangani terorisme dan dampak-dampaknya
ketimbang negara lain.
Perbedaannya dengan Amerika adalah Indonesia mampu
mengadili para pelaku terorisme secara lebih terbuka dibanding Amerika yang
menerapkan pengadilan tertutup, seperti halnya sekarang di Guantanamo.
Memang masih banyak kritik terhadap operasi
pemberantasan terorisme oleh Polri. Namun, di lain sisi juga perlu dipahami,
apa yang dilakukan Polri adalah dalam rangka melindungi masyarakat dan
kepentingan umum, termasuk mencegah berkembangnya paham yang tidak sesuai
dengan makna ajaran agama dan nilai-nilai Pancasila, sekaligus menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendekatan Keras
Teror harus ditindak, tetapi dengan tetap
menjunjung tinggi code of conduct
ataupun rule of engagement sehingga
apa pun yang dilakukan dalam melawan terorisme terbebas dari persoalan pro
dan kontra sehingga mendapatkan legalitas dan legitimasi.
Pendekatan keras (hard approach) selama ini tidak sepenuhnya efektif dalam
penanggulangan terorisme. Selain rugi karena hilangnya rantai penghubung bila
jumlah pelaku yang tertembak mati banyak, hal ini juga menghambat informasi
tentang sel dan organisasi teror itu.
Selain itu, tembak mati teroris menyisakan
duka dan dendam keluarga serta komunitas yang ditinggalkan. Maka pendekatan
keras harus dibarengi sentuhan serta pencerahan agar dendam tidak
berkelanjutan dan bahkan menjadikan aparat pemerintah target pembalasan.
Penindakan teroris tidak boleh berhenti kepada pelaku, tetapi dilanjutkan
dengan upaya pendekatan terhadap keluarga serta komunitasnya.
Karena itu, muncul upaya agar sedapat
mungkin tidak menembak mati terduga pelaku terorisme, sepanjang tidak
membahayakan petugas/masyarakat dan kemudian menangkap hidup-hidup.
Pendekatan keras masih diperlukan, tetapi harus dibatasi penggunaannya hanya
pada kondisi paling darurat. Sejumlah alternatif dalam operasi di lapangan
dapat ditempuh dan menjadi prosedur standar.
Pendekatan lain adalah pendekatan lunak (soft approach). Ini lazim dilakukan
melalui program deradikalisasi seperti mengedepankan fungsi intelijen dan
pembinaan masyarakat tingkat mabes dan kewilayahan yang mencakup kemitraan,
serta kebijakan berbasis persetujuan dan legitimasi publik, bukan sekadar
menerapkan peraturan.
Selanjutnya perlu tindakan preventif bukan
reaktif, pendekatan interagensi dan memperkuat kewaspadaan masyarakat agar
tidak terpengaruh terorisme dan tidak bersimpati kepada gerakan terorisme.
Pemerintah sebaiknya menyelesaikan akar masalah lokal (seperti dalam kasus
Poso dan daerah konflik lainnya) serta bekerja sama dengan instansi terkait
untuk mengidentifikasi daerah dan masyarakat yang terkena paham radikal untuk
menetralkannya. Sistem keamanan lingkungan yang pernah ada dengan wajib lapor
bagi orang asing bisa dihidupkan lagi.
Di sisi pendidikan, perlu pengayaan
kurikulum pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.
Deradikalisasi
Program deradikalisasi pada dasarnya
berangkat dari asumsi bahwa terorisme berawal dari radikalisme. Oleh karena
itu, upaya memerangi terorisme lebih efektif melalui deradikalisasi.
Esensinya adalah mengubah pemahaman atau pola pikir yang dianggap salah.
Caranya dengan memberikan pengalaman baru yang didapat bukan dari medan
perang, tetapi dari kehidupan sosial lewat interaksi antarmanusia secara
terbuka dan inklusif agar mendapat pemahaman yang benar soal jihad dan
terorisme.
Dalam memerangi terorisme harus
mempertimbangkan hukum, sosial, dan budaya bangsa karena bila tidak justru
akan menciptakan kondisi yang kontra produktif. Oleh karena itu, strategi
mengatasi terorisme akan berbeda antarnegara.
Pendekatan lunak adalah upaya
deradikalisasi yang dilakukan Polri secara lintas
sektoral terhadap akar
kejahatan terorisme. Caranya dengan masuk ke dalam kehidupan masyarakat lewat
deteksi dini, upaya pencegahan, serta pembinaan terhadap para eks pelaku
teror dan pendukungnya. Prioritas dalam pendekatan ini adalah para keluarga
serta komunitas para teroris yang telah ditindak.
Tidak semua kekerasan dapat dipadamkan
melalui tindak kekerasan.
Penanggulangan terorisme membutuhkan kebijakan yang
bersifat komprehensif baik dalam tataran kebijakan maupun pelaksanaan kontra
terorisme yang umum dan menyeluruh.
Pada dasarnya penanggulangan terorisme
tidak hanya terkait penindakan saja, tetapi juga terkait aspek lain yang melibatkan
instansi lain, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informasi, BIN,
unsur-unsur TNI di daerah, serta unsur lainnya. Pemangku kepentingan lain,
seperti lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, tokoh agama, dan tokoh
masyarakat, juga perlu dilibatkan.
Menangkal teroris dengan pendekatan lunak
akan lebih berdampak positif. Caranya dapat dimulai dengan mendekati eks para
pejuang dari Afganistan, Filipina, dan dari negara lain yang ada di wilayah
Indonesia. Pemerintah juga harus mampu merangkul pondok pesantren ataupun
organisasi kemasyarakatan Islam dalam mengontrol masuknya ideologi yang
keliru dalam memaknai jihad dan penghalalan cara untuk membunuh orang lain.
Perlu ditegaskan oleh Kementerian Agama bahwa para teroris bukanlah produk
agama karena semua agama mengajarkan kebaikan.
Berbagai cara harus dilakukan untuk
menyadarkan bahwa tindakan teroris itu tidak dibenarkan oleh agama apa pun
sehingga tidak ada lagi kebencian terhadap agama lain, aparat, lingkungan,
warga sipil, dan bangsa lain.
Dengan demikian, tidak ada pilihan lain
bagi bangsa ini selain melaksanakan pendekatan lunak secara komprehensif dalam
menyelesaikan kasus terorisme itu. Pendekatan ini yang mungkin akan bisa
menjawab pertanyaan mengapa terorisme itu muncul di Indonesia dan bagaimana
cara untuk menghadapinya.
Implementasi memerangi aksi terorisme
dilakukan dalam bentuk resosialisasi, reintegrasi, dan sekaligus keteladanan
bahwa langkah pemerintah tidak diskriminatif dan perang melawan terorisme
adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi warga negara Indonesia sesuai
tujuan nasional yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945.
Sebaliknya, diperlukan keberanian
masyarakat luas untuk segera melapor bila menemukan indikasi atau kejadian
yang mengarah pada tindakan terorisme. Dari semua uraian di atas tampaknya
sudah sangat mendesak untuk secara terintegrasi pemerintah melaksanakan
operasionalisasi serta implementasi dari semua kebijakan, konsep, dan
rekomendasi yang telah ada agar bermanfaat langsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar