Menjadi Orang
Media
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media
Group
|
MEDIA
INDONESIA, 30 November 2012
LEBIH dari seperempat
abad yang lalu, budayawan dan wartawan senior Goenawan Mohammad menyatakan
pertimbangan bisnis bisa membuat orang lupa diri. “Maklum, di mana-mana kita melihat mentalitas bayaran; orang-orang
politik, birokrat dan pejabat, ahli ilmu dan wartawan. Apakah itu memang
sifat bangsa kita? Saya rasa tidak. Saya kira itu sifat setiap bangsa pada
saat mereka baru saja menyaksikan hasil-hasil sebuah perekonomian yang
bergerak, tapi tak punya kesempatan mempersoalkan benar atau tidaknya
mentalitas bayaran itu....“
Setelah berlalu sekian
lama, ternyata konsep Goenawan itu masih berlaku sampai sekarang; terbukti
dengan ramainya wacana tentang pelanggaran etika profesi dan kewenangan yang
menyangkut dana.
Baru-baru ini,
menjelang ulang tahun Metro TV, ada ungkapan yang menggetirkan perasaan
wartawan, yakni tentang kemungkinan bahwa pikiran orang media pun bisa
digiring untuk menyampaikan sesuatu kepada publik sesuai keinginan pihak yang
menggiringnya. Tidak disebutkan soal mentalitas bayaran, tetapi tersirat
dalam ungkapan itu bahwa pikiran wartawan bisa goyah sesuai situasi dan
kondisi. Itu berarti, wartawan umumnya, termasuk yang berkarya di televisi,
bisa dipuji karena kemurnian pikiran mereka, tetapi sebaliknya bisa juga
tercela karena kinerja mereka dicurigai atau dianggap menyalahi kepekaan
nurani maupun nilai-nilai moral dan kesopanan sehingga mengganggu rasa
percaya publik terhadap karya-karya mereka.
Retrospeksi Wartawan
Sejauh apa wartawan
bisa larut menjadi anak zaman? Sejauh apa pertimbangan bisnis membuatnya lupa
diri? Sebaiknya dipertimbangkan juga, orang media tidak homogen. Konsep kami
bisa saja berbeda mengenai apa peran orang media, sekalipun pada dasarnya
kami sadar akan tugas utama kami: menyampaikan gambaran tentang keadaan
politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang ada. Namun, karena kami masing-masing
memperoleh pendidikan, pembelajaran, dan pengalaman hidup yang berbeda-beda,
wajar bila ada beda-sekalipun hanya nuansanya-dalam telaah atau penilaian
kami mengenai banyak hal.
Namun, sesuai
pengakuan banyak orang media, tugas kewartawanan menggairahkan. Mencatat
sejarah pada saat kejadian sungguh memesona.
Bukan tidak mungkin secara tidak sadar dan tidak langsung wartawan pun berpartisipasi dalam pembentukan sejarah. Mungkin saja ini hanya angan-angan besar. Namun, justru karena angan-angan itu, orang media merasa dituntut berpengetahuan luas, dituntut objektif, dan dituntut cepat menyusun hasil penilaian dan pemikiran. Kami sadar pula, apa yang kami tulis atau beritakan bisa berdampak pada kehidupan ribuan atau bahkan jutaan manusia. Bukankah itu berarti ikut berpartisipasi dalam menentukan sejarah kehidupan masyarakat? Kedengarannya mahabesar. Karena itu, kami merasa tidak saja dituntut berpendidikan dan memiliki keterampilan, tetapi harus pula mampu membawa diri dengan penuh rasa tanggung jawab dan etika. Dalam menjalankan profesi kami, kami pun wajib menjadi pelindung asas demokrasi. Dalam hal kita, demokrasi Pancasila.
Juga menjadi tanggung
jawab orang media untuk memberitakan bila masyarakat dihadang bahaya, apakah
karena perkembangan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Di luar itu ada
tanggung jawab atas dasar harapan masyarakat: wartawan dianggap serbatahu dan
bisa dipercaya. Karena itu, dia diharapkan mampu menjadi penyaring dan
pengolah informasi yang mumpuni.
Ujian Dalam Mencerdaskan Bangsa
Pada satu setengah
windu ulang tahunnya, Metro TV menegaskan lagi misi mencerdaskan dan
mencerahkan bangsa. Ini dilakukan dengan kesadaran bahwa masyarakat
menafsirkan informasi sesuai keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya, dan
bahwa informasi tidak gampang menyentuh perhatian mereka yang berpengetahuan
terbatas, apalagi dalam bentuk berita.
Menurut ahli social marketing, Dr Philip Kotler, masyarakat cenderung menyambut baik informasi yang menyenangkan dan sesuai kebutuhan pikiran dan perasaannya. Wajar bahwa mayoritas penonton Indonesia menyukai siaran-siaran hiburan ringan.
Sebelum Metro TV
mengudara 12 tahun yang lalu, seorang ahli pertelevisian Indonesia sempat
mempertanyakan, apakah televisi berita memiliki daya tarik di Indonesia?
Sulit bagi dia membayangkannya. Namun, terbukti Metro TV mampu menjalankan
misinya selama 12 tahun ini. Kami mensyukuri. Untuk masyarakat yang sedang
bergerak maju dengan spirit membangun, televisi menjadi sarana penting untuk
kemajuan karena pada dasarnya manusia ada lah makhluk sosial yang tidak mampu
berdiri sendiri. No man is an island. Semakin maju pendidikan orang, semakin
besar kebutuhannya akan sarana komunikasi yang memadai bagi pengembangan
perasaan dan pikirannya. Mengingat peningkatan pendidikan masyarakat pada
umumnya, dapat dipastikan dibutuhkan siaran-siaran berita untuk mengetahui
dan mengenali kemajuan zaman.
Bagaimana
hakikat peran orang media? Seperti yang lazim kita ketahui, orang media sudah
biasa menjadi sasaran kecurigaan, buron kecaman, dan dikambinghitamkan.
Kecuali di negara komunis, yang medianya menjadi seruling yang berkuasa, kami
harus siap menerima itu semua. David Broder, wartawan Washington Post lulusan Universitas Chicago dan pemenang Hadiah
Pulitzer, mengatakan dalam buku Berita
di Balik Berita (SH, 1992): `kebanyakan
orang yang berakal sehat tidak akan memilih kewartawanan sebagai karier....
Kami harus bisa tetap berdisiplin dan tetap tegar tanpa perasaan, padahal
naluri kemanusiaan mendesak kami untuk menyerah kepada kegembiraan atau kepedihan'.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar