Laporan Akhir
Tahun 2012 Olahraga
Mengawali dari
Dapur PBSI
|
KOMPAS,
22 Desember 2012
Pengurus baru induk organisasi Persatuan
Bulu Tangkis Seluruh Indonesia dilantik Jumat (14/12) lalu. Banyak harapan
terhadap perubahan pengurus ini. Namun, tak sedikit pula yang skeptis. Dalam jumpa pers seusai
pelantikan, Ketua Umum Pengurus Besar PBSI Gita Wirjawan mengungkapkan
optimismenya dalam mengembalikan kejayaan bulu tangkis Indonesia. Didampingi
dua juara olimpiade, Susy Susanti dan Ricky Subagja, Gita yang juga Menteri
Perdagangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini mengaku sudah
menyiapkan banyak program.
Optimisme memang
dibutuhkan untuk membenahi kembali prestasi bulu tangkis Indonesia yang sudah
sangat terpuruk. Namun, modal percaya diri saja belum cukup. Harus ada kesungguhan
dan totalitas serta pengorbanan, antara lain menyediakan waktu yang cukup
dari pengurus.
Untuk kali pertama sejak
bulu tangkis dipertandingkan di olimpiade pada 1992, Indonesia gagal merebut
emas, bahkan satu keping medali pun di Olimpiade London 2012. Pada tahun ini
pula, tim Piala Thomas Indonesia mencatat sejarah kelam untuk kali pertama
gagal ke semifinal.
Harus disadari, tidak
mudah mengembalikan kejayaan dalam waktu singkat. Karena itu, tidak perlu
pengurus mengumbar janji mampu mencetak prestasi dalam satu periode
kepengurusan yang hanya empat tahun. Lebih baik, mulailah berberes dari
”dapurnya” sendiri: membangun fondasi yang kuat dan kokoh untuk pijakan
tujuan jangka panjang.
Persoalan yang paling
gampang dilihat secara kasat mata di ”dapur” PBSI adalah lunturnya rasa
kebersamaan, kesatuan, dan kekompakan. Saat tim Piala Thomas dan Uber gagal
total di Wuhan, China, para pemain pulang sendiri-sendiri. Demikian juga
pelatih dan pengurusnya. Padahal, mereka itu sebelumnya berangkat dalam satu
tim.
Kebersamaan, kesatuan, dan
kekompakan sebenarnya sudah menjadi ”konvensi” lama yang dimiliki tim
Indonesia. Tiga kata itu adalah ”roh” tim Indonesia. Berpangkal dari tiga
kata itu pula Indonesia ditakuti lawan. (Nyaris) semua lawan selalu
mengungkapkan, ”Tim Indonesia prestasinya belakangan ini tidak menonjol
secara individual, tetapi secara tim, Indonesia adalah kekuatan yang sulit
dikalahkan.”
Bagi komunitas pemain,
pelatih, dan pengurus PBSI, ditilik dari segi ruang, membangun kebersamaan
mestinya tidak sulit. Sementara dari segi waktu, komitmen adalah jawabannya.
Kebersamaan sebenarnya
bisa tercipta dari hal yang sederhana, seperti makan bersama yang dulu
menjadi tradisi setiap kali Indonesia bersiap ke kejuaraan beregu semacam
Piala Thomas dan Uber. Jangan sampai terjadi, (ibaratnya) yang satu makan
daging dan yang lain makan teri.
Dalam satu meja, kalau ada
yang akan main, biasanya akan ada yang mengingatkan: ”Kamu makan yang banyak,
kan kamu akan main.” Hal-hal manusiawi seperti ini sekarang terlewatkan.
Seolah-olah semuanya sekarang ini diukur dengan uang.
Latihan fisik bersama
secara periodik juga bisa menjaga kekompakan. Kegiatan itu jelas tidak
semata-mata meningkatkan kondisi fisik pemain, tetapi dalam aktivitas
tersebut juga ada proses saling mendekatkan diri. Tertawa bersama dan saling
menguatkan. Suasananya santai, tetapi serius. Serius, tetapi santai.
Kesadaran itu mengambang di udara bahwa mereka sedang bersiap diri maju
perang ke medan yang berat.
Persoalan kebersamaan ini
menjadi hal yang besar karena sebenarnya di sanalah terletak kekuatan tim
Indonesia. Dengan catatan, persiapan tim juga harus ditunjang dengan tim
penunjang yang lengkap dan all out.
Tim lengkap mestinya
terdiri atas pelatih (teknis), dokter, psikolog, ahli gizi, fisioterapis,
pelatih fisik, dan juru pijat (masseur). Dalam hal ini pun masih banyak
keluhan, antara lain karena tidak ada psikolog yang masuk dalam tim,
sedangkan pelatih fisik hanya menangani sebagian kecil pemain secara
sektoral.
Semua bentuk kebersamaan
antarpemain, antara pemain dan pengurus, serta antara pemain dan pelatih,
niscaya akan mendorong motivasi atlet.
Pelatih dan pemain
memiliki hubungan yang unik. Pelatih dituntut memiliki multiperan sebagai
pelatih (teknis), orangtua, sahabat, dan kakak. Semuanya adalah peran-peran
yang sifatnya ”personal”. Jadi, asumsinya mereka akrab. Pada kenyataannya
apakah demikian? Ternyata belum tentu benar. Masih ada pemain yang
mengatakan, pelatihnya ”hanya bisa ngomong doang”. Sementara ada pelatih yang
justru mengkritik atletnya sendiri di depan publik. Sikap seperti itu
kontraproduktif dalam proses membangun kebersamaan.
Antara pemain dan pengurus
kebersamaan bisa diterjemahkan sebagai sikap saling menghargai, bukan sikap
antara ”bos dan karyawan”. Pengurus harus berempati dengan tulus kepada para
atlet yang berlatih mati-matian dan memperlakukan mereka sebagai mitra-ide.
Sebaliknya, pemain juga akan menghargai pengurus yang memperhatikan kebutuhan
nonteknis para atlet.
Kedekatan antara pemain
dan pengurus ini perlu dibangun lagi. Pasalnya, pengurus yang jarang menengok
pelatnas dan hanya tahu menuntut prestasi mereka tentu akan mengganggu
keharmonisan suasana.
Di luar pelatnas,
pekerjaan juga tak ringan. Pembinaan pemain usia muda yang perannya dilakukan
klub-klub di daerah harus lebih didorong. Pengurus provinsi yang merupakan
perpanjangan tangan pengurus pusat harus memutar kompetisi dan menyiapkan
fasilitas yang lebih banyak.
Dengan demikian, suplai
pemain-pemain muda berbakat selalu ada dan tidak terputus. Dalam kepengurusan
yang lama, banyak pengurus provinsi sudah dimanja dengan bantuan dana
pembinaan dari PB PBSI. Namun, hasilnya sampai saat ini belum terlihat. Para
pengurus tersebut harus sadar, dana itu bukanlah hadiah, melainkan utang yang
harus mereka tebus dengan menghasilkan atlet potensial.
Tantangan ke depan lebih
berat. Tradisi emas di olimpiade harus bisa dihidupkan lagi. Untuk itu, perlu
diciptakan komunitas bulu tangkis yang sehat. Perlu ada kebesaran jiwa untuk
menerima masukan, dari mana pun datangnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar