Becermin pada
Sepi dan Ibunya
Dewa Gde Satriya ; Dosen
International Hospitality & Tourism Business, Universitas Ciputra
Surabaya
|
JAWA
POS, 22 Desember 2012
SEJARAH mencatat, Kongres Perempuan Indonesia Ke-1 di Jogjakarta
pada 22-25 Desember 1928 yang dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari
12 kota di Jawa dan Sumatera adalah cikal bakal Hari Ibu. Penetapan 22
Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan
Indonesia Ke-3 pada 1938. Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan
terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anaknya,
maupun lingkungan sosialnya.
Jalan Tuhan diyakini sebagai jalan yang misteri. Di tengah derita, luka, dan sengsara, di manakah Tuhan, adakah rencana baik Tuhan di dalamnya? Jeritan kepapaan itu dalam kebijaksanaan spiritualitas modern kian punah. Keberdayaan, kemakmuran, dan kekuasaan kerap menjauhkan manusia dari Sang Pencipta. Keangkuhan dan kemampuan diri menjadi jurang pemisah intimitas dengan Tuhan. Namun, tidak bagi kehidupan kaum papa seperti Sepi dan keluarganya. Mereka membalas kejahatan teman di sekolah dan tetangga dengan bunga dan dupa. Mereka mengadu kepada Tuhan akan setiap peristiwa dan kesulitan hidup. Suratan takdir kemiskinan yang sedang menyergap, entah kapan berakhir. Namun, tiada hal yang membahagiakan kecuali memiliki harapan dan impian bahwa semuanya akan berakhir. Menggerakkan roda nasib kehidupan dari bawah ke atas murni dilakukan atas kemampuan insani dalam kepasrahan kepapaan keluarga Sepi. Menyambung hidup dengan menjual kerupuk dengan berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya setiap hari, memulung botol-botol bekas di tengah kesesakan dan cibiran orang, kelaparan dan ketakutan kehabisan bahan makanan, ketidakpercayaan diri dengan tagihan uang dan seragam sekolah yang tidak segera terbayar, ketiadaan aset produksi selain ternak babi, ayam, dan kambing adalah sedikit gambaran penderitaan keluarga Sepi yang hidden dalam panorama Bali yang mendunia. Kebenaran bahwa Tuhan sayang, peduli, dan tidak pernah meninggalkan umatnya yang setia, berpasrah, dan berharap kepadanya seratus persen benar dan valid dalam potret kehidupan Sepi. Tanpa disadari di awal pemberian nama panggilan Sepi yang bertepatan dengan Hari Raya Nyepi empat belas tahun silam, spiritualitas Nyepi yang melepaskan ikatan diri dengan benda-benda duniawi dan mendekatkan diri kepada Tuhan menjadi bagian yang masif dalam hidup Sepi dan keluarganya. Mereka terbiasa berpuasa dan kelaparan, tidak terpikirkan, dan sulit mengakses sarana hiburan nan rekreatif, serta tidak terbiasa melakukan perjalanan selain bersembahyang dan bersekolah. Namun, tampaknya, keadilan Tuhan berbicara menurut cara-Nya sendiri. Gubuk memprihatinkan berada di dekat Pantai Amed yang memesona, yang dicari dan dikunjungi banyak turis dari berbagai negara. Prestasi, kecerdasan, dan keberdayaan diri dengan menaruh harapan setinggi mungkin teramat jarang dan terkesan sulit dinalar di tengah kepapaan. Totalitas kasih sayang tanpa reserve dari ibu, sekalipun dalam kondisi sakit berat, begitu setia menghangatkan anggota keluarganya. Lebih-lebih, praktik pengorbanan dan kesetiaan antaranggota keluarga menjadi bekal untuk juga menyiratkan kasih sayang kepada dunia. Potret kehidupan Sepi menjadi tamparan bagi kemajuan pesat kebudayaan dan pariwisata Bali, yang di satu sisi menjadi sumber devisa negara, namun di sisi lain tidak memungkinkan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat lapisan terbawah. Konsep community-based tourism terasa begitu jauh, bahkan pada masyarakat yang berada paling dekat dengan lokasi wisata bertaraf internasional pun, pundi-pundi kesejahteraan itu rasanya baru sebatas impian yang tidak serta-merta given, namun harus diperjuangkan dalam kepapaan dan ketidakpastian. Diyakini bahwa keajaiban dan mukjizat Tuhan itu bisa datang kepada setiap orang dan siapa saja yang berpasrah atau percaya kepada-Nya, maka penyerahan diri total kepada-Nya yang dibuktikan dalam kemuliaan sikap hidup keseharian menjadi semakin esensi untuk diteladani lewat kehidupan Sepi dan keluarganya. Kesuksesan yang bagi tolok ukur modern diperjuangkan dengan kerja keras juga dalam kadar yang sama harus ditempuh oleh Sepi. Bedanya, Sepi sangat mengandalkan kemurahan Tuhan yang datang lewat perantaraan turis-turis asing yang mengenalkannya kepada bahasa asing dan sekadar meminjamkan kamera untuk diikutkan dalam lomba fotografi internasional yang diadakan Museum Anne Frank. Untuk yang pertama Sepi memegang kamera dan langsung menjadi juara I dalam lomba tersebut, dengan objek foto seekor ayam putih yang bertengger di dahan pohon singkong karet yang berliku-liku. Kebijaksanaan Tuhan yang turun lewat peran dan kasih sayang sang ibu menjadi pegangan yang menguatkan Sepi dan adiknya. Prestasi gilang-gemilang di sekolah, hingga prestasi internasional dalam Lomba Fotografi yang diadakan Museum Anne Frank di Belanda, tak terlepas dari peran kebijaksanaan dan curahan kasih sayang sang ibu. Selamat Hari Ibu. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar