Zero-based
budgetting
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 November 2012
IRINA Bokova, Director General of UNESCO, dalam Education
Counts: Towards the Millennium Development Goals (2011), membuat ilustrasi
menarik tentang posisi pendidikan sebagai sebuah elemen penyeimbang gerak
pembangunan di setiap negara. Ia berpandangan, ‘The equation is simple:
education is the most basic insurance against poverty. Education represents
opportunity. At all ages, it empowers people with the knowledge, skills, and
confi dence they need to shape a better future’. Tak ada yang menyangkal peran
pendidikan sebagai pencipta keseimbangan gerak pembangunan. Namun, masalahnya
ialah seberapa besar anggaran pendidikan disediakan negara dan bagaimana
model distribusinya?
Sebagai salah satu negara penganut paham demokrasi,
Indonesia belumlah bisa dikatakan sukses jika indikatornya perkembangan
pendidikan. Keuntungan otomatis yang bisa diperoleh sebuah negara demokratis
yaitu berfungsinya seluruh aspek pengelolaan dan penyelenggaraan negara secara
demokratis, termasuk aspek perkembangan pendidikan. Dalam Journal of
Education Finance, Walter W McMahon (2006) menyebutkan hampir semua negara
demokratis yang maju dan terkemuka menyumbang sebanyak 92,1% pembiayaan
pendidikan dasar dan menengah. Hal itu terlihat dari intensnya pajak untuk
kebutuhan pendidikan disosialisasikan kepada dunia industri. Lain halnya di
beberapa negara berkembang yang berpaham demokratis, perkembangannya sedikit
lebih lamban, yaitu sekitar 78%. Di manakah posisi Indonesia?
Awal 2009 Indonesia telah memiliki anggaran pendidikan 20%
dari total APBN. Saat ini dengan lebih dari Rp190 triliun dana untuk
pendidikan, distribusi dan prioritas pembangunan pendidikan harus dilakukan
ekstra hati-hati. Kehati-hatian perlu menjadi fokus perhatian seluruh
stakeholder pendidikan di Tanah Air mengingat upaya MDGs diduga akan gagal
karena persoalan akses belum juga tuntas menjelang 2015.
Krisis global yang terjadi saat ini juga ikut membawa
dampak serius pada kemampuan dan daya beli masyarakat terhadap jasa dan
layanan pendidikan. Selain itu, secara politis, anggaran 20% rawan dikorupsi
mengingat pemilihan umum akan berlangsung di2014 sehingga konsentrasi
birokrasi sebagai penyelenggara pendidikan akan terpecah.
Salah satu cara yang pernah dilakukan pemerintah ialah
memberikan kepercayaan kepada komunitas sekolah untuk menyusun sendiri
rencana kebutuhan anggaran mereka setiap tahun. Prinsip zero-based budgeting
(ZBB) yang diperkenalkan Peter Phyrr (1970) mungkin ada baiknya diujicobakan.
Sebagai sebuah proses perencanaan penganggaran berbasis
kebutuhan individual institusi dan/atau masyarakat, ZBB memiliki lima langkah
dasar dalam operasionalnya (Bliss, 1978). Kelima langkah tersebut yaitu,
pertama, melakukan identifi kasi terhadap unit pengambil keputusan (decision
unit) dalam setiap sekolah. Unit tersebut merupakan penentu dalam setiap
proses kebijakan yang akan diambil sekolah, terutama menyangkut perencanaan
belanja anggaran beserta penjelasan, tujuan, sumber daya yang dibutuhkan, dan
besaran biayanya. Kepala sekolah dan komunitas sekolah harus duduk bersama
dalam membuat desain prioritas anggaran sekolah untuk minimum satu tahun ke
depan.
Jika semua perencanaan telah dibuat, langkah kedua ialah
bagaimana manajemen sekolah melakukan analisis terhadap setiap rencana
belanja sekolah. Pada tahap tersebut, seluruh manajemen sekolah diwajibkan
melakukan analisis secara cermat, terutama dalam menjustifi kasi setiap
rencana program yang akan dijalankan sekolah.
Selanjutnya, langkah ketiga
ialah membuat daftar urut prioritas rencana anggaran belanja sekolah yang
sesuai dengan kesepakatan komunitas sekolah. ZBB tidak secara spesifik
menyebutkan bagaimana urutan harus dibuat, tetapi keputusan harus didasarkan
pada visi dan misi sebuah sekolah. Dalam kasus di Indonesia, hampir semua
sekolah taken for granted dalam hal pembiayaan sekolah. Mereka hampir tak
punya nyali kecuali menunggu akan ada program apa lagi dari pemerintah tahun
ini.
Langkah keempat, setelah urutan prioritas ditetapkan
manajemen sekolah, besaran biaya yang dibutuhkan berdasarkan skala prioritas
tersebut kemudian ditetapkan. Manajemen sekolah harus bertanggung jawab
terhadap setiap usulan, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip kebersamaan,
demokratis, transparan, dan akuntabel. Barulah kemudian langkah kelima
manajemen sekolah bersama-sama komunitas sekolah menyiapkan seluruh dokumen
perencanaan bujet tersebut ke dinas pendidikan setempat untuk mendapat
pengesahan dan pembahasan sehingga pada akhirnya kebutuhan dana tersebut disediakan
secara bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Kekuatan ZBB terlihat justru pada akurasi data yang valid
ketimbang bentuk distribusi anggaran kita saat ini yang hanya mengandalkan
basis data berdasarkan tradisi line-item budgeting. Selain itu, proses
perencanaan penganggaran ala ZBB akan menjadikan masyarakat sekolah cerdas
dalam menentukan kebutuhan anak didik mereka secara bertahap dan tepat guna.
Satu-satunya kelemahan distribusi anggaran dengan
menggunakan ZBB ialah bagaimana kita melakukan exercise dan penataan
masyarakat sekolah agar lebih peduli pada kualitas sekolah masing-masing.
Karena itu, ada baiknya jika anggaran 20% yang telah
disediakan pemerintah saat ini juga digunakan untuk memberdayakan peran serta
masyarakat di tingkat sekolah, dengan sebanyak mungkin melatih komunitas
sekolah mendesain perencanaan pembiayaan sekolah masing-masing. Distribusi
anggaran pendidikan kita jangan sampai terjerumus ke dalam persoalan yang tak
pernah habis, yaitu pembangunan fisik sekolah yang rawan korupsi dan
manipulasi. Hal itu tentu saja tidak mendidik masyarakat untuk menjadi lebih
mandiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar