Selasa, 06 November 2012

Zero-based budgetting

Zero-based budgetting
Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 05 November 2012



IRINA Bokova, Director General of UNESCO, dalam Education Counts: Towards the Millennium Development Goals (2011), membuat ilustrasi menarik tentang posisi pendidikan sebagai sebuah elemen penyeimbang gerak pembangunan di setiap negara. Ia berpandangan, ‘The equation is simple: education is the most basic insurance against poverty. Education represents opportunity. At all ages, it empowers people with the knowledge, skills, and confi dence they need to shape a better future’. Tak ada yang menyangkal peran pendidikan sebagai pencipta keseimbangan gerak pembangunan. Namun, masalahnya ialah seberapa besar anggaran pendidikan disediakan negara dan bagaimana model distribusinya?

Sebagai salah satu negara penganut paham demokrasi, Indonesia belumlah bisa dikatakan sukses jika indikatornya perkembangan pendidikan. Keuntungan otomatis yang bisa diperoleh sebuah negara demokratis yaitu berfungsinya seluruh aspek pengelolaan dan penyelenggaraan negara secara demokratis, termasuk aspek perkembangan pendidikan. Dalam Journal of Education Finance, Walter W McMahon (2006) menyebutkan hampir semua negara demokratis yang maju dan terkemuka menyumbang sebanyak 92,1% pembiayaan pendidikan dasar dan menengah. Hal itu terlihat dari intensnya pajak untuk kebutuhan pendidikan disosialisasikan kepada dunia industri. Lain halnya di beberapa negara berkembang yang berpaham demokratis, perkembangannya sedikit lebih lamban, yaitu sekitar 78%. Di manakah posisi Indonesia?

Awal 2009 Indonesia telah memiliki anggaran pendidikan 20% dari total APBN. Saat ini dengan lebih dari Rp190 triliun dana untuk pendidikan, distribusi dan prioritas pembangunan pendidikan harus dilakukan ekstra hati-hati. Kehati-hatian perlu menjadi fokus perhatian seluruh stakeholder pendidikan di Tanah Air mengingat upaya MDGs diduga akan gagal karena persoalan akses belum juga tuntas menjelang 2015.

Krisis global yang terjadi saat ini juga ikut membawa dampak serius pada kemampuan dan daya beli masyarakat terhadap jasa dan layanan pendidikan. Selain itu, secara politis, anggaran 20% rawan dikorupsi mengingat pemilihan umum akan berlangsung di2014 sehingga konsentrasi birokrasi sebagai penyelenggara pendidikan akan terpecah.

Salah satu cara yang pernah dilakukan pemerintah ialah memberikan kepercayaan kepada komunitas sekolah untuk menyusun sendiri rencana kebutuhan anggaran mereka setiap tahun. Prinsip zero-based budgeting (ZBB) yang diperkenalkan Peter Phyrr (1970) mungkin ada baiknya diujicobakan.

Sebagai sebuah proses perencanaan penganggaran berbasis kebutuhan individual institusi dan/atau masyarakat, ZBB memiliki lima langkah dasar dalam operasionalnya (Bliss, 1978). Kelima langkah tersebut yaitu, pertama, melakukan identifi kasi terhadap unit pengambil keputusan (decision unit) dalam setiap sekolah. Unit tersebut merupakan penentu dalam setiap proses kebijakan yang akan diambil sekolah, terutama menyangkut perencanaan belanja anggaran beserta penjelasan, tujuan, sumber daya yang dibutuhkan, dan besaran biayanya. Kepala sekolah dan komunitas sekolah harus duduk bersama dalam membuat desain prioritas anggaran sekolah untuk minimum satu tahun ke depan.

Jika semua perencanaan telah dibuat, langkah kedua ialah bagaimana manajemen sekolah melakukan analisis terhadap setiap rencana belanja sekolah. Pada tahap tersebut, seluruh manajemen sekolah diwajibkan melakukan analisis secara cermat, terutama dalam menjustifi kasi setiap rencana program yang akan dijalankan sekolah. 

Selanjutnya, langkah ketiga ialah membuat daftar urut prioritas rencana anggaran belanja sekolah yang sesuai dengan kesepakatan komunitas sekolah. ZBB tidak secara spesifik menyebutkan bagaimana urutan harus dibuat, tetapi keputusan harus didasarkan pada visi dan misi sebuah sekolah. Dalam kasus di Indonesia, hampir semua sekolah taken for granted dalam hal pembiayaan sekolah. Mereka hampir tak punya nyali kecuali menunggu akan ada program apa lagi dari pemerintah tahun ini.

Langkah keempat, setelah urutan prioritas ditetapkan manajemen sekolah, besaran biaya yang dibutuhkan berdasarkan skala prioritas tersebut kemudian ditetapkan. Manajemen sekolah harus bertanggung jawab terhadap setiap usulan, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip kebersamaan, demokratis, transparan, dan akuntabel. Barulah kemudian langkah kelima manajemen sekolah bersama-sama komunitas sekolah menyiapkan seluruh dokumen perencanaan bujet tersebut ke dinas pendidikan setempat untuk mendapat pengesahan dan pembahasan sehingga pada akhirnya kebutuhan dana tersebut disediakan secara bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Kekuatan ZBB terlihat justru pada akurasi data yang valid ketimbang bentuk distribusi anggaran kita saat ini yang hanya mengandalkan basis data berdasarkan tradisi line-item budgeting. Selain itu, proses perencanaan penganggaran ala ZBB akan menjadikan masyarakat sekolah cerdas dalam menentukan kebutuhan anak didik mereka secara bertahap dan tepat guna.

Satu-satunya kelemahan distribusi anggaran dengan menggunakan ZBB ialah bagaimana kita melakukan exercise dan penataan masyarakat sekolah agar lebih peduli pada kualitas sekolah masing-masing.

Karena itu, ada baiknya jika anggaran 20% yang telah disediakan pemerintah saat ini juga digunakan untuk memberdayakan peran serta masyarakat di tingkat sekolah, dengan sebanyak mungkin melatih komunitas sekolah mendesain perencanaan pembiayaan sekolah masing-masing. Distribusi anggaran pendidikan kita jangan sampai terjerumus ke dalam persoalan yang tak pernah habis, yaitu pembangunan fisik sekolah yang rawan korupsi dan manipulasi. Hal itu tentu saja tidak mendidik masyarakat untuk menjadi lebih mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar