Mencari
Pahlawan Peduli Rakyat
Haryono Suyono ; Mantan
Menko Kesra dan Taskin
|
SUARA
KARYA, 05 November 2012
Setelah merdeka sejak
17 Agustus 1945 lalu, bangsa Indonesia bekerja keras menyatukan seluruh anak
bangsanya untuk maju bersama-sama. Tidak jarang, ajakan untuk maju itu
tinggal berupa slogan dan tidak mendapat sambutan rakyat seperti yang
diharapkan.
Untuk itu, para
pemimpin politik tidak kurang akal, dan dikembangkannya seakan negara yang
baru merdeka itu mendapat ancaman dari negara lain, baik tetangganya yang
dekat atau dari negara besar yang ingin memanfaatkan kekayaan bumi Pertiwi
yang sebagian besar belum digali. Ancaman itu kadang berhasil membuat bangsa
ini takut, malu atau khawatir dan berusaha bersatu dan bekerja lebih keras.
Tetapi, kadang kerja keras itu tidak ditanggapi dengan baik sehingga
kekendoran semangat muncul kembali.
Dewasa ini, dalam masa
transisi demokrasi yang terbuka, para pemimpin bangsa serba salah. Kalau
menyatakan bahwa bangsa ini masih miskin dan mendapat ancaman yang dahsyat,
bisa diartikan bahwa para pemimpinnya tidak becus atau tidak bekerja dengan
baik dan besar kemungkinan tidak terpilih kembali pada pemilihan yang akan
datang. Kalau pernyataannya terlalu indah, rakyat tidak akan percaya karena
kenyataan yang dihadapi rakyat banyak memang keadaan belum baik dan masih mengkawatirkan.
Oleh karena itu,
dengan sangat hati-hati dan bijaksana Presiden SBY dalam pidatonya di
Yogyakarta, minggu lalu menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional sangat
tinggi dan negara kita makin menarik para investor yang ingin menanamkan modalnya
di Indonesia. Tetapi, dengan jujur diakuinya bahwa jurang pemisah antara
keluarga kaya dan keluarga miskin makin melebar, sehingga pemerintah berusaha
sungguh-sungguh mendukung pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
melalui kemudahan modal dan berbagai sarana dalam program financial inclusion
dari dunia keuangan atau perbankan.
Pada saat yang sama,
dengan kerendahan hati diterimanya penghargaan internasional tentang
financial inclusion tersebut, utamanya berkaitan dengan jumlah dana yang disalurkan
secara melimpah kepada UMKM melalui KUR. Biarpun, secara santai diakui bahwa
penurunan angka kemiskinan yang terjadi di Indonesia masih relatif kecil,
berkisar pada angka di belakang koma dari angka sekitar 12 persen saja.
Sehingga, penurunan yang relatif kecil itu memberi signal bahwa kredit KUR
yang diluncurkan masih perlu disempurnakan melalui petunjuk dan arahan yang
tepat. Ini agar keluarga miskin mendapat kesempatan yang makin besar untuk
menikmati fasilitasi yang disediakan oleh pemerintah.
Beberapa penyempurnaan
yang perlu ditambahkan, antara lain perlunya dimunculkan pahlawan-pahlawan
lapangan yang sanggup berbagi kepada keluarga miskin. Di Bangli dinamakan
keluarga Nyama Anyar. Artinya, kumpulan kekerabatan keluarga baru yang
terdiri dari keluarga mampu dan keluarga kurang mampu. Keluarga mampu memberi
fasilitasi dan bimbingan kepada keluarga kurang mampu untuk membuka usaha
dengan kredit yang disediakan dengan dukungan agunan agar keluarga kurang
mampu bisa memanfaatkan kredit itu.
Di Yogyakarta,
khususnya di Kulon Progo, disebut sebagai KAKB (Kelompok Asuh Keluarga
Binangun), di mana keluarga mampu berbaik hati menjadi pembina keluarga
kurang mampu. Kumpulan keluarga baru itu bersama sama memanfaatkan kredit
yang tersedia di bank dengan persyaratan yang biasanya tetap rumit.
Kemudahan lain adalah
ketersediaan dari pihak perbankan untuk menyempurnakan aturan perbankan yang
berlaku. Salah satu contohnya dilakukan oleh Pemda Jatim. Aturan bank
disempurnakan melalui penyediaan agunan sebesar 70 persen oleh lembaga
pengagun yang dibentuk oleh Pemprov. Melalui jaminan agunan sebesar 70
persen, nasabah yang berasal dari keluarga miskin hanya memerlukan pendamping
yang sanggup memberikan agunan sebesar 30 persen sisa agunan yang diperlukan.
Bank UMKM meringankan
syarat agunan berupa tanggung renteng, tetapi ada pula lembaga lain yang
menanggung agunan sebesar 30 persen lainnya. Yayasan Damandiri yang didirikan
oleh Almarhum HM Soeharto untuk beberapa kabupaten di Jawa Timur dan
Yogyakarta menyediakan agunan yang 30 persen itu, sehingga para anggota
Posdaya dapat memperoleh kredit untuk membuka usaha ekonomi produktif di
desanya melalui kredit yang aturannya disederhanakan.
Untuk usaha yang lebih
luas sedang dicari pahlawan pembangunan lainnya yang berasal dari keluarga
kaya. Keluarga kaya dimaksud tidak perlu harus kehilangan uangnya, tetapi
bank dapat mempergunakan sebagian dari uang yang ditempatkannya sebagai
deposito untuk menjamin pinjaman keluarga miskin. Dana yang ditempatkan tetap
mendapat bunga deposito seperti biasa, tetapi nilainya sedikit lebih rendah
agar bank penerima deposito dapat memberikan pinjaman dengan bunga yang lebih
rendah kepada keluarga miskin.
Dana deposito
dipergunakan sebagai agunan, agar kalau terjadi kesulitan pembayaran oleh
nasabahnya, yang keluarga miskin, di mana jumlah kreditnya tidak banyak,
dalam usaha ini rata-rata tidak lebih dari Rp 2 juta, pengagun keluarga kaya
dengan ikhlas memberikan dukungan dan membayar cicilannya. Kalau jumlah
kreditnya hanya sebesar Rp 2 juta, maka cicilan bulanannya tidak akan lebih
dari Rp 200.000, suatu jumlah yang sangat kecil untuk mengentaskan sebuah
keluarga miskin.
Dalam kesempatan
memperingati Hari Pahlawan Nasional 2012, kiranya usaha sederhana seperti ini
perlu dipikirkan dan dikembangkan agar kesenjangan yang sedang terjadi di
Indonesia tidak bertambah melebar, tetapi justru menyempit karena keluarga
miskin berpartisipasi dalam pembangunan secara gegap gempita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar