Memeriksa
Iklan Diskon TKI
Ahmad Sahidah ; Dosen
Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
|
SUARA
KARYA, 13 November 2012
Siapa
pun akan terusik dengan iklan Indonesian Maids on Sale! Apalagi, ada diskon
40 persen. Bayangkan! 'Barang' sudah diobral, masih dijual murah. Sayangnya,
ia bukan barang, tetapi manusia. Tak ayal, Anis Hidayah, pegiat buruh,
menumpahkan kekesalannya di akun Twitter-nya seraya mengutuk Malaysia dengan
sebutan brutal dan biadab. Tak berhenti di sini, aktivis Migrant Care ini
juga bersuara keras di TV Metro, sehingga orang ramai turut meluapkan
kejengkelan mereka atas iklan yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Dari sini, amarah banyak pihak bermula.
Bagaimanapun,
media sosial Twitter telah berjasa menyebarkan kasus ini. Malah tak perlu
waktu lama, orang nomor satu di institusi terkait, seperti Menlu Marti
Natalegawa, Menakertrans Muhaimin Iskandar dan Ketua BNP2TKI (Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Jumhur Hidayat, ikut
bersuara. Mereka pun telah menyatakan sikap secara terang-benderang.
Pada
waktu yang sama, Anifah Aman, Menlu Malaysia, turut menyesalkan kasus
tersebut dan menganggapnya telah mengusik rasa kemanusiaan. Ditambah lagi,
Datuk Syed Monshe Afdzruddin, Dubes Malalysia di Jakarta, pun menyatakan
bahwa iklan itu liar.
Antisipasi
Pada
akhirnya, janji pihak terkait untuk memburu tersangka Rubini telah berhasil.
Kita menunggu lebih jauh penyidikan polisi terhadap motif warga Malaysia
berkebangsaan India ini. Kecurigaan banyak pegiat buruh migran bahwa agensi
ini menyebarkan iklan sebagai kedok untuk mengeruk keuntungan setelah kran
pengiriman pembantu dibuka dan pada gilirannya pintu terbuka bagi perdagangan
manusia. Pendek kata, siapa pun harus mendorong aparat berwenang untuk
bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan.
Keberhasilan
pemilik akun @TKI di Malaysia memunggah gambar kantor penyalur Penata Laksana
Rumah Tangga (PLRT) mengejutkan banyak pihak. Ternyata selebaran yang
beralamat lengkap dan menyertakan tiga nomor telepon itu bertempat di kedai
pangkas rambut. Padahal, dengan jelas selebaran ini juga menyertakan nama
perusahaan, Smart Labour Servince Sdn
Bhd, yang menunjukkan keberadaannya terdaftar secara resmi.
Sementara
Rubini, staf agen, tak lagi bisa dihubungi. Menurut Agensi Berita Malaysia,
Bernama, dari tiga nomor kontak, dua nomor menjawab dengan kotak pesan suara.
Tentu pihak kepolisian Malaysia, Polis Diraja Malaysia diharapkan bekerja keras
untuk dapat menyeret pelaku, meskipun penyalur bisa berkilah bahwa iklan yang
dimaksud tidak dibuat untuk mengolok-olok martabat pekerja Indonesia.
Namun,
media massa Malaysia tidak menempatkan isu tersebut di halaman depan. Berbeda
dengan media Indonesia, yang menjadikannya sebagai berita utama dengan judul
yang beraneka ragam, seperti TKI Tidak Dijual (Jurnal Nasional) dan Iklan
Malaysia Lecehkan Indonesia (Seputar Indonesia). Harian Metro, koran terbesar
di Malaysia, menurunkan berita 'Siasat Iklan Jual Orang'. Chamil Wariya,
Wakil Ketua Iswami (Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia) meminta
pihak aparat menindak tegas pelaku karena dianggap bisa memicu perdagangan
manusia (human trafficking).
Kita
juga perlu melihat isu ini dengan seimbang. Becermin pada surat Rieke
Pitaloka, anggota DPR dari Komisi IX, politisi dari PDIP ini meyakini itikad
baik Pemerintah Malaysia untuk menjaga hubungan baik kedua negara. Oleh
karena itu, pemeran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri ini meminta negeri
jiran untuk menarik iklan tersebut. Apa yang dilakukan Rieke tentu perlu
didukung karena perbuatan tak bermoral ini harus dilihat sebagai perbuatan
seseorang atau satu perusahaan dan pada waktu yang sama kita harus melihat
bahwa hubungan kedua negara ini harus senantiasa berada dalam koridor yang
baik.
Mengingat
hubungan kedua negara acapkali berada pada tubir jurang, kita harus
betul-betul berhati-hati. Betapa mudah selembar kertas pengumuman iklan
mengusik hubungan antara dua negara. Tentu Malaysia tidak bisa lepas tangan
dengan menyatakan bahwa iklan itu liar, karena ia berada dalam wilayah
kekuasaannya, sehingga aparat yang berwenang bisa menghukum pelaku. Namun,
kita tidak perlu terlalu emosional seraya mengungkit dosa-dosa yang telah
dilakukan oleh negara tetangga tanpa membuka diri bagi cara pandang baru
terkait sengketa banyak isu, seperti klaim kebudayaan dan batas wilayah.
Bagaimanapun,
kita telah mempercayai pemerintah dan wakil rakyat untuk menyelesaikan
masalah yang menimpa warganya, termasuk pekerja migran yang mencari nafkah di
negara bekas jajahan Inggris ini. Demikian pula, sikap kritis LSM, seperti
Migrant Care, mengingatkan kita semua bahwa kita harus memasang telinga dan
membuka mata terhadap saudara kita yang bekerja di negeri orang. Namun, melampiaskan
amarah dengan sumpah-serapah, kita telah menutup pintu untuk menyelesaikan
masalah. Perlu diketahui bahwa Migrant
Care juga bekerja sama dengan LSM serupa di Malaysia untuk membela
hak-hak buruh. Pendek kata, hak-hak buruh itu melekat pada manusia di manapun
ia berada.
Akhirnya, mengingat
kasus iklan ini menggambarkan praktik perbudakan, sudah saatnya kita
memikirkan nasib pekerja perempuan Indonesia tersebut. Apalagi, BNP2TKI
sendiri telah mengaskan bahwa pengiriman tenaga kerja sektor PLRT akan dihentikan
secara bertahap hingga 2017. Pekerjaan besar ini tidak mudah, karena
melibatkan banyak pihak berwenang dan memerlukan kesadaran masyarakat itu
sendiri untuk bisa memahaminya. Dengan perhatian banyak pihak terhadap isu
kemanusiaan, kita diharapkan makin mempunyai banyak tenaga untuk mendampingi
para TKI agar tidak jatuh ke tangan-tangan penjahat, yang bisa dilakukan oleh
siapa saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar