Kamis, 15 November 2012

Manusia Berpayung Etika


Manusia Berpayung Etika
Toto Suparto ;  Pengkaji Masalah Etika
SUARA MERDEKA, 14 November 2012


MALAM pergantian tahun Masehi, lazim disebut malam tahun baru, senantiasa dirayakan dengan gemerlap dan penuh kesenangan, bahkan cenderung hura-hura. Ada hiruk-pikuk suara terompet, kilauan cahaya kembang api, hingga sorak-sorai lautan manusia yang memelototi gerak jarum jam. 

Sementara malam pergantian tahun Jawa, sebagian dari kita biasa menyebut malam 1 Sura (Asyura, Muharam bulan pertama dalam tahun Hijriah) berlangsung khidmat, kontemplatif, dan sarat simbolisasi yang layak ditafsirkan. Sifat kesenangan, kegemerlapan, hingga hura-hura dihindari. Bila malam tahun baru Masehi bersifat profan, malam 1 Sura lebih sakral. 

Karena itu, 1 Sura merupakan "pintu" menuju bulan suci, bulan yang baik untuk membersihkan diri lahir batin, dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sura saat tepat untuk melompat dari yang profan menuju yang sakral. Tak heran bila masyarakat Jawa menghindari pesta duniawi selama bulan itu. Upacara perkawinan ataupun membangun rumah  selalu dihindari pada bulan itu.

Dalam kalender Masehi, 1 Sura tahun ini jatuh pada Kamis, 15 November. Berarti malam nanti banyak ritual suranan di berbagai daerah.  Ritual di berbagai tempat memiliki kemiripan, yakni muncul semangat untuk berdoa demi keselamatan bagi diri sendiri, keluarga, ataupun bangsa. Bentuk boleh beragam, tetapi bertujuan seragam. Di Kasunanan Surakarta misalnya, ada upacara Grebeg Sura, dan di Yogyakarta terkenal dengan ritual mubeng beteng (mengitari beteng/ istana).

Betapa dahsyat manfaat yang diperoleh seseorang jika ritual 1 Sura dilakukan secara bersungguh-sungguh. Mereka yang menjalani ritual mestinya tersugesti menjelma menjadi manusia baru. Manusia yang lepas dari urusan profan. Manusia yang bersih dari ragam kotoran duniawi. Kotoran yang acap melekat pada manusia adalah nafsu duniawi. 
Kita bisa melihat nafsu itu pada perbuatan nyata, semisal kemerebakan korupsi. Seandainya seseorang tidak terperangkap nafsu duniawi maka ia bisa mengendalikan diri untuk tidak ikut-ikutan korupsi.

Kesadaran Refleksif

Bagaimana menjelaskan proses menuju  "manusia baru" setelah ritual 1 Sura? Ini bisa kita telusuri dari sifat ritual malam itu yang  kontemplatif. 
Siapa pun yang mau mela-kukan kontemplasi maka ia akan mengasah kesadaran refleksif. Inilah yang bakal menjadi fondasi menuju manusia baru tersebut. Dalam kajian etika, kesadaran refleksif itu membuat seseorang bertindak dengan berpikir, berjarak, dan memaknai tiap tindakan (Giddens, 1986). 

Kebalikan dari kesadaran refleksif adalah kesadaran praktis, yakni kesadaran yang membuat seseorang bertindak dengan keengganan berpikir, tak berjarak, dan tidak memaknai setiap tindakan.

Dalam pandangan Giddens, ketika seseorang menjalani kesadaran praktis maka ia tidak perlu bersusah-payah mengambil jarak dan memikirkan makna tindakannya. Tindakan ini hanya terbangun dari kebiasaan, seperti kita bangun saban pagi tak perlu lagi berpikir kaki mana dulu yang akan ditapakkan. Tindakan dari kesadaran praktis memang lebih memudahkan, dan tentu tak melelahkan. Wajar jika orang cenderung suka kesadaran praktis ini. 

Mudah membayangkan, apa jadinya jika seseorang bertindak tanpa berpikir dan enggan memaknai setiap tindakan? Sejumlah etikawan mengingatkan, ’’orang bertindak durjana karena ketiadaan pikir dan miskin imajinasi’’. Kesadaran praktis membuat seseorang gampang bertindak durjana. Inilah yang kita rasakan belakangan ini, kedurjanaan silih berganti bermunculan. Bentuknya beragam, suatu saat bentrok antarwarga, waktu lain tawuran anak muda. Atau, elite adu mulut, rakyat adu jotos. Bisa pula perampok kian merebak, korupsi tambah merajalela. 

Kedurjanaan itu menjadi pertanda bahwa banyak di antara kita tidak lagi berpikir. Padahal berpikir itu merupakan tindakan yang menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Dengan akal budi itulah manusia memiliki, menguasai, dan memastikan dirinya sendiri. Seseorang menjadi paham atas dirinya.
Akal budi inilah yang membawa kita melakukan dialog batin. Inilah yang dikatakan filsuf Hannah Arendt sebagai berpikir. Kata dia, berpikir adalah mengaktualisasi dialog aku dan diriku yang ada dalam kesadaran, yang pada gilirannya menghasilkan kesadaran baru. Lantas kesadaran baru ini memberi tahu kita, apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang harus dihindarkan, dan apa yang patut disesalkan.

Kesadaran baru itulah yang mengantarkan seseorang menjadi manusia baru. Kini menjadi jelas, bilamana seseorang mau berkesadaran refleksif maka ia sedang berproses menjadi manusia baru. Sementara kesadaran refleksif ini terbangun dari kemauan kontemplatif. Ritual 1 Sura merupakan media untuk berkontemplatif.

Berpayung Etika

Simbolisasi malam 1 Sura merupakan tafsir agar manusia kembali berpayung etika. Tanpa etika, hidup menjadi amburadul. Dengan berpayung etika, seseorang mampu menelaah mana yang baik dan mana pula yang buruk.  Ritual malam 1 Sura ini diharapkan menjadi titik tolak bagi seseorang untuk menjadi manusia baru, yakni manusia yang berpayung etika.

Manusia baru inilah yang bisa membuat Indonesia kembali baik, bukan lagi Indonesia sukerta. Malam 1 Sura adalah pengalaman ritual menuju manusia baru tersebut. Bukan sekadar ritual melainkan hakikat terdalam dari keheningan untuk berdialog dengan nurani. Mereka bisa mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk.     

Andai saja para pemimpin di negeri ini ikut menghayati ritual Sura, tentu akan menguntungkan bangsa ini karena Sang Pemimpin berkesempatan berdialog batin dalam keheningan. Dari dialog itu mereka pasti menemukan kesalahan-kesalahan yang mungkin saja menyakitkan rakyat. Ke depan, selepas ritual Sura, Sang Pemimpin memperbaiki diri dengan mengendalikan nafsu duniawi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar