Konflik,
Kesenjangan Ekonomi, dan Rapuhnya Negara
Fajar Kurnianto ; Peneliti Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan (PSIK)
Universitas
Paramadina, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 05 November 2012
Indonesia adalah negara dengan ragam etnis yang begitu banyak
hidup dan berkembang di dalamnya. Keragaman etnis yang jauh lebih dahulu ada
sebelum berdirinya Republik Indonesia. Tidak mudah mengelola keragaman etnis
ini tanpa pendekatan kultural.
Institusionalisasi model Orde Baru (Orba)
yang sentralistis dan otoriter serta bersifat memaksa atas nama “pembangunan”
dan “modernisasi” rupanya menciptakan bom waktu konflik yang terbukti
kemudian meledak dan intensitasnya cenderung meningkat setelah rezim ini
runtuh pada 1998.
Sejarah Indonesia mencatat, pada akhir
1990-an, Indonesia mengalami tataran konflik etnis yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Selama 1995-1996, terjadi kerusuhan di Situbondo, Tasikmalaya,
dan belahan daerah Jawa lainnya, telah menelan banyak korban jiwa dan harta
benda.
Tahun-tahun sesudahnya, antara 1997-2002,
setidaknya 10.000 orang terbunuh dalam kekerasan etnis di seantero Nusantara.
Pada 1996-1997 dan 2002, konflik terjadi di Kalimantan Tengah antara suku
Dayak dan Madura yang menewaskan setidaknya 1.000 orang. Di Maluku, yang
berawal pada Januari 1999, 5.000 jiwa melayang dalam suatu perang antarwarga.
Di Timor Timur, kira-kira 1.000 orang
terbunuh dan 200.000 orang kehilangan rumah dalam kekerasan terhadap warga
sipil menyusul referendum pada Agustus 1999. Di Aceh, konflik baru antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan angkatan bersenjata Indonesia berawal pada
1999 dan meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Setidaknya, 1.800 orang terbunuh pada
2000-2001. Di Irian Jaya (Papua), munculnya gerakan sipil menuntut
kemerdekaan pada 1999 dan 2000 menyebabkan sejumlah nyawa melayang dalam
bentrokan dengan angkatan bersenjata Indonesia.
Beberapa konflik itu sudah selesai,
misalnya Aceh dengan ditandatanganinya perundingan damai pada 15 Agustus 2005
di Helsinki, Finlandia, yang mengakhiri konflik sejak 1976 ketika GAM
dideklarasikan oleh Hasan Tiro. Selain itu, konflik di Timor Timur yang
berakhir dengan lepasnya wilayah ini dari Indonesia pada 2002 dan menjadi
negara sendiri bernama Timor Leste.
Konflik etnis di Kalimantan (Sampit) juga
relatif usai, meski potensi konflik masih ada. Demikian juga konflik di Maluku
(Poso dan Ambon), meski percik-percik konflik masih ada dan mudah tersulut.
Konflik di Papua hingga hari ini juga belum usai. Penembakan terhadap aparat
dan warga oleh anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka) kerap terjadi.
Dalam analisis Jacques Bertrand, Guru Besar
Politik di Universitas Toronto, Kanada, dalam bukunya, Nasionalisme dan Konflik Etnis di
Indonesia (Ombak, 2012), berbagai konflik yang terjadi secara umum di
Indonesia itu ada kaitannya dengan model kebangsaan (nasionalisme) Indonesia
dan pelembagaannya selama masa Orba.
Akhir 1990-an, menurut Bertrand, merupakan
suatu titik simpang kritis dalam sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia, di mana
transformasi kelembagaan telah membuka saluran-saluran guna merundingkan
kembali unsur-unsur model kebangsaan; arti penting relatif dari pemerintah
pusat dan daerah, akses dan representasi kelompok-kelompok etnis dalam
lembaga-lembaga negara, serta definisi dan makna bangsa Indonesia.
Dalam hal ekonomi, di bawah Soeharto, kata
Bertrand, “pembangunan” dan “modern” merupakan kredo sentral rezim. Tujuan
pembangunan adalah untuk menciptakan sebuah bangsa yang “modern”. Banyak
kelompok di tempat-tempat seperti Irian Jaya dan Kalimantan dikucilkan
sebagai “terbelakang” dan secara de
facto dikeluarkan dari bangsa Indonesia karena gaya hidup “tradisional”
mereka.
Kebijakan-kebijakan pemerintah, tekanan
birokrasi, dan intimidasi militer dirancang guna memaksakan perubahan. Inilah
yang membuat orang Kalimantan, misalnya tersingkirkan dan terpinggirkan.
Demikian pula orang Irian Jaya. Mereka bagian dari negara Indonesia, tapi
seperti tamu asing di rumah sendiri.
Penguatan Negara
Sejarah konflik di Indonesia tadi mestinya
menjadi perhatian serius pemerintah reformasi saat ini untuk mengantisipasi
konflik-konflik serupa di tempat-tempat lain.
Kegagalan negara mengelola konflik komunal,
terbukti dari begitu seringnya konflik-konflik itu terjadi, menunjukkan bahwa
negara ini sangat rapuh. Demokratisasi yang harusnya memperkuat peran publik
dalam partisipasi politik ternyata belum membuahkan hasil optimal.
Saluran-saluran untuk masyarakat memang
sudah dibuka, tetapi sering kali suara-suara masyarakat terabaikan. Akhirnya,
persoalan masyarakat pun diselesaikan oleh masyarakat, dengan caranya
sendiri.
Ironisnya, model penyelesaian masyarakat
kerap kali juga mengabaikan kearifan lokal yang bertumpu pada musyawarah atau
dialog. Peran tokoh masyarakat atau tokoh agama lokal juga tidak begitu
terlihat. Beberapa di antara mereka malah tidak jarang menjadi bagian dari
pemicu dan pembiaran konflik.
Ini ditambah lagi dengan berbagai
kepentingan ekonomi dan politik elite-elite kekuasaan yang mendulang untung
dari konflik.
Konflik Lampung baru-baru ini santernya
terjadi karena adanya kesenjangan atau adanya ketidakadilan ekonomi antara
masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Ada semacam kecemburuan sosial
yang menjadi pemantik. Ini jelas makin menggambarkan rapuhnya negara
menciptakan keadilan dan mengelola ekonomi akar
rumput.
Donald Horowitz dalam bukunya, The
Deadly Ethnic Riot menjelaskan, ada timbal balik antara pemicu dan
keadaan lingkungan yang mendukung penggunaan kekerasan. Meskipun kondisi
dasar mungkin tidak memiliki kondisi hal yang kondusif bagi kekacauan, bisa
jadi pemicunya mempunyai hal yang provokatif.
Timbal balik antara pemicu dan kondisi
dasar ini akan mempertinggi ketidaktertebakan kerusuhan. Kerusuhan yang
terjadi di Lampung, juga di tempat-tempat lain, selalu punya latar yang
mendukung terjadinya kerusuhan, yang bisa diletupkan oleh provokasi-provokasi
tertentu.
Menyelesaikan akar persoalan konflik, yakni
masalah kesenjangan ekonomi, akan menjadi garansi negara di masa depan dalam
mencegah konflik-konflik baru terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar