Bintang
Kesiangan
Sukardi Rinakit ; Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS,
06 November 2012
Saya prihatin dengan pelarangan kembali
penampilan grup musik Slank di Tangerang, Sabtu (3/11), hanya karena alasan
takut kerusuhan. Jika fenomena kecil tersebut dikonstruksi dalam bangunan
bangsa dan negara, Indonesia saat ini seakan-akan hanya sebuah entitas
suku-suku bangsa dan bukan negara.
Apabila Indonesia adalah
sebuah republik, aparat keamanan sebagai representasi konkret dari negara
seharusnya dapat memberikan jaminan bahwa konser musik itu bisa berjalan
aman. Mereka mempunyai kewenangan penuh untuk mobilisasi petugas, bahkan jika
perlu meminta bantuan pihak lain.
Sebagai bangsa dan negara
yang mengaku berbudaya, suka atau tidak, musik adalah satu batu bata yang
ikut menegakkan peradaban Indonesia. Mereka bisa membentuk critical mass
untuk gerakan antikorupsi, politisi busuk, dan lain-lain.
Dengan demikian,
pelarangan penampilan sebuah grup kesenian, termasuk grup musik, misalnya,
merefleksikan kekacauan praktik politik di Tanah Air.
Dilihat di atas permukaan,
demokrasi di republik ini sudah mempunyai segalanya. Partai politik,
pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung, sistem
bikameral dalam legislatif, untuk sekadar menyebut beberapa contoh. Akan
tetapi, semua itu masih dalam tataran prosedural dan belum substansial
sehingga secara kritis bisa dikatakan bahwa praktik politik yang berlaku
sekarang sebenarnya masih berantakan. Ada disharmoni dan distrust di
dalamnya. Belum ada budaya politik yang mengakar.
Hal itu bisa dilihat dari
sungai politik Indonesia yang saat ini terbelah menjadi dua aliran. Pertama,
para politisi yang bernaung di bawah partai politik, apalagi para elite
partai yang merasa ”memiliki” partai, secara umum menganggap bahwa partai
adalah sumber tunggal lahirnya kepemimpinan nasional.
Tidak mengherankan jika
sebagian besar ketua umum partai, dengan keyakinan penuh, akan mencalonkan
diri sebagai presiden pada Pemilu 2014.
Padahal, mereka tahu,
elektabilitasnya rendah. Ini belum lagi urusan integritas dan kapabilitas.
Hanya karena menjadi ketua umum partai, mereka merasa punya landasan hukum
dan kekuatan untuk memaksa rakyat memilihnya.
Sikap seperti itu tentu
saja menutup peluang bagi tokoh-tokoh lain yang mumpuni, apalagi kalau ia
berasal dari luar partai. Alasan klasik selalu menjadi landasan, ”Ini partai
saya, selama ini saya yang membiayai, merawat, enak saja diberikan kepada
orang lain”. Akibatnya, kaderisasi dan perekrutan kepemimpinan di tubuh
partai menjadi mandek seperti yang terjadi selama ini. Kalaupun ada figur
baru, biasanya karena mempunyai modal untuk menanggung biaya operasional dari
bidang yang dipimpinnya.
Sejauh ini, banyak tokoh
senior yang masih berada dalam cengkeraman cara pikir seperti itu. Mereka
pada umumnya pernah menjadi bagian dari struktur super dari partai politik
dan kekuasaan. Tidak mengherankan jika mereka belum selesai dengan dirinya
sendiri. Mereka masih merasa layak dan yang paling bisa memimpin.
Aliran sungai kedua adalah
sosok-sosok muda yang tanpa rekam jejak memadai, tetapi merasa sudah besar.
Mereka bukan orang partai dan tidak pernah aktif berorganisasi. Bahkan, boleh
dibilang tidak pernah bersentuhan dengan politik praktis dalam arti
sebenarnya. Hanya karena sekali-kali wajahnya muncul di televisi dan
diwawancarai koran, mereka sudah membangun persepsi diri sebagai seorang
tokoh yang menjanjikan jika tidak boleh dibilang revolusioner.
Termasuk dalam aliran
kedua tersebut adalah politisi muda yang miskin pengalaman, tanpa visi, tidak
memanggul ideologi, tetapi sudah merasa diri sebagai tokoh baru yang paling
andal memimpin. Jangan bandingkan mereka dengan Bung Karno muda, Bung Hatta
muda, dan Bung Sjahrir muda yang tekun membaca, teguh pendirian, dan kaya
hati. Melihat lelaki tua bersepeda ontel butut dengan sekeranjang pisang pun,
hati para politisi muda itu tidak tersentuh.
Bagi dua aliran sungai
tersebut, yaitu para politisi senior yang tidak berkemampuan dan belum
selesai dengan dirinya sendiri serta figur-figur muda yang tanpa rekam jejak
memadai, sejatinya mereka, meminjam judul lagu Slank, tak lebih dari ”bintang
kesiangan”.
Kehadiran dan omongan
mereka tidak membuat rakyat merasa bahagia. Mereka juga tidak mempunyai
pemikiran, misalnya, menjadikan hukum sebagai panglima, sebagai kelanjutan
dari politik sebagai panglima (Orde Lama), dan ekonomi sebagai panglima (Orde
Baru). Semua itu menunjukkan mereka adalah bagian dari realitas kekacauan
politik kita.
Bagi pimpinan partai
politik, tentu tidak salah ikut kontestasi dalam Pemilu Presiden 2014. Namun,
jika popularitas dan sumber daya politiknya tidak mencukupi, mengajukan tokoh
lain yang mempunyai elektabilitas, kapabilitas, dan integritas yang bagus merupakan
langkah mulia.
Jika di dalam partai tidak
ada tokoh tersebut, sumber pemimpin bisa dicari di provinsi (gubernur)
ataupun kota/kabupaten (wali kota/bupati). Bisa juga dari ranah penegak
hukum, akademisi yang terlibat langsung dalam gerakan di struktur basis, dan
lain-lain.
Pendeknya, jangan sampai
pemimpin partai menjadi bintang kesiangan. Malu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar