Menanti
Pembuktian Jokowi
Rakhmat Hidayat ; Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta
(UNJ), Kandidat PhD Universite Lumiere Lyon 2 France
|
REPUBLIKA,
21 September 2012
Tercatat
delapan lembaga survei merilis hasil hitung cepat yang memublikasikan
kemenangan Jokowi-Basuki dengan perhitungan suara di atas 50 persen. Tidak jauh
berbeda dengan putaran pertama, Jokowi-Basuki kembali mendominasi putaran
kedua. Keputusan resmi pemilukada harus menunggu KPUD Jakarta pada 3 Oktober
2012. Namun, perhitungan cepat dapat menggambarkan posisi sesungguhnya hasil
pemilukada sebagaimana tecermin dalam pemilukada putaran pertama.
Kemenangan
Jokowi pada putaran kedua sejatinya dapat diprediksikan pascaputaran pertama.
Ada beberapa alasan yang mendukung kemenangan Jokowi. Pascaputaran pertama,
Jokowi tetap menunjukkan komitmennya menggalang dukungan dari warga Jakarta.
Jokowi menyebutnya “koalisi rakyat“. Berbeda dengan Foke yang surplus dukungan
elite.
Kemenangan
Jokowi sejatinya menunjukkan kemenangan koalisi rakyat atas koalisi elite
politik. Jokowi mengumpamakan dirinya semut yang bergerilya membangun kekuatan
menghadapi gempuran gajah. Semut yang solid dan bersatu padu bisa meruntuhkan dominasi
gajah yang digdaya.
Selama
Ramadhan, Foke memanfaatkan momen Ramadhan dengan berkeliling di berbagai
lokasi di Jakarta. Foke mengunjungi warga, hadir di shalat tarawih, dan
mengadakan sahur bersama dengan warga di berbagai lokasi. Sebagai daya tariknya,
Foke mudah memberikan santunan dan bantuan kepada warga yang dikunjungi.
Kemenangan
Jokowi mencerminkan strategi ala cattenacio
alias bertahan total dari gempuran lawan. Jokowi dan Basuki tak terpancing
dengan berbagai serangan pasangan Foke-Nara mulai dari tuduhan politik uang,
isu SARA, larangan menggunakan baju kotak-kotak, maupun serangan inferiotas
kemampuan orang daerah. Semua tudingan itu dihadapi Jokowi dengan tenang,
kalem, dan dingin.
Kapitalisasi Ekspektasi
Kontestasi
politik sudah usai. Tak ada lagi euforia politik bagi Jokowi-Basuki.
Saatnya membuktikan kepercayaan warga Jakarta yang memandatkan suaranya kepada Jokowi. Jokowi-Basuki tidak lagi dimiliki sekelompok orang, tapi sudah menjadi milik seluruh warga Jakarta. Kompetisi dan berbagai serangan politik sudah bukan lagi waktunya.
Saatnya membuktikan kepercayaan warga Jakarta yang memandatkan suaranya kepada Jokowi. Jokowi-Basuki tidak lagi dimiliki sekelompok orang, tapi sudah menjadi milik seluruh warga Jakarta. Kompetisi dan berbagai serangan politik sudah bukan lagi waktunya.
Saatnya
Jokowi-Basuki mengapitalisasi ekspektasi warga Jakarta dengan berbagai
terobosan dan gebrakan melalui program-program yang menyejahterakan rakyat. Ini
adalah ruang uji kepemimpinan Jokowi-Basuki di lapangan. Kemampuan Jokowi harus
diuji di lapangan karena beberapa alasan.
Pertama,
sosok Jokowi merepresentasikan harapan dan simbol baru bagi pembangunan
Jakarta. Jokowi dianggap sebagai antitesis dari kekuasaan status quo yang
diwakili figur Foke. Uji lapangan ini untuk membuktikan bahwa Jokowi bukanlah
malaikat yang bisa menyulap Jakarta semalam. Ekspektasi berlebihan harus
dijawab dengan kerja keras Jokowi di lapangan.
Kedua,
Jokowi harus diuji di lapangan terkait dengan komitmen dan tanggung jawab, baik
moral maupun politik, dalam menuntaskan kepemimpinannya hingga selesai. Kita
membutuhkan pemimpin yang konsisten antara ucapan dan perilaku. Tak ada alasan
mengkhianati kepercayaan warga Jakarta dalam pemilukada dua putaran.
Kepercayaan warga Jakarta adalah cermin dari rasionalitas yang harus
diperjuangkan sebagai bentuk artikulasi politik.
Tiga Tantangan
Dengan
bermodalkan kepercayaan warga Jakarta, diperlukan kebijakan out of the box dalam mengatasi berbagai
masalah dan tantangan. Dari sekian masalah yang dihadapi Jakarta, ada beberapa
masalah prioritas yang sejatinya menjadi prioritas Jokowi.
Pertama,
masalah transportasi dan kemacetan. Kemacetan seolah sudah menjadi rutinitas
dan wajah Jakarta sehari-hari. Bukan Jakarta tanpa macet. Ini menjadi moda berpikir
masyarakat Jakarta setiap harinya. Pendudukan semakin bertambah setiap hari
disertai dengan meningkatnya angka kepemilikan kendaraan. Sementara, sarana
jalan tetap, bahkan cenderung berkurang. Pembangunan busway yang digagas Sutiyoso tidak berpengaruh signifikan menekan
angka kemacetan parah di Jakarta. Busway
diorientasikan bagi masyarakat untuk beralih dari mobil pribadi ke sarana
busway, seperti yang tersedia di beberapa wilayah Jakarta.
Kedua,
krisis ruang terbuka hijau di Jakarta. Kita menyaksikan semakin menurunnya
jumlah ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta akibat tergerus pembangunan
pusat-pusat komersial, seperti mal, apartemen, ataupun kompleks perkantoran.
Kita bisa melihat di kawasan-kawasan, seperti Sudirman, Thamrin, Rasuna Said,
Casablanca (Jalan Satrio, Kuningan) yang terus dipadati ruang fisik komersial.
Sementara, RTH semakin langka keberadaannya.
Beberapa
mal ataupun apartemen hanya berjarak berdekatan, bahkan berhadap-hadapan satu
dengan lainnya. Pembangunan pusat komersial terus berlangsung di tengah ancaman
semakin berkurangnya RTH. Fenomena ini jelas menunjukkan bahwa logika
kapitalisme sangat kuat dalam visi pembangunan daerah. Logika kapitalisme
mendegradasikan visi ekologi yang justru bisa menghidupkan suramnya Jakarta
dalam sisi lingkungan.
Ketiga,
masalah sektor informal beberapa tahun terakhir, juga kita melihat praktik
penggusuran terhadap sektor informal perkotaan yang terjadi di beberapa wilayah
Jakarta. Sebut saja pedagang keramik di kawasan Rawasari, Jakarta Timur. Penggusuran
ini sempat menjadi berita nasional karena dilakukan melalui kekerasan. Menurut
pemerintah, kawasan tersebut akan menjadi kawasan hijau perkotaan. Ironisnya,
beberapa waktu kemudian di kawasan tersebut sedang dibangun kompleks apartemen.
Kasus Rawasari hanyalah salah satu gunung es penggusuran sektor informal
perkotaan yang terjadi di Jakarta.
Sektor informal merupakan fenomena sosial
ekonomi di seluruh kota-kota negara berkembang, khususnya Asia. Tak ada lagi
alasan untuk menyia-nyiakan kepercayaan warga Jakarta untuk memimpin Jakarta.
Warga Jakarta membutuhkan perubahan yang mendesak dalam berbagai bidang.
Kepemimpinan yang diperlukan adalah pemimpin yang keluar dari pakem dengan
program yang populis dan membawa dampak kesejahteraan bagi warganya. Saatnya
Jokowi-Basuki membuktikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar