Ronde
Final Pilkada DKI
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SINDO,
02 Agustus 2012
Rivalitas pasangan Jokowi- Basuki dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli di
Pilkada DKI kian eskalatif menjelang putaran kedua pada 20 September. Beragam
strategi pemenangan dilakukan kedua kubu, dari cara-cara rasional berbasis data
dan program hingga cara emosional berbasis isu sektarianisme.
Tak dimungkiri, putaran kedua selalu punya atmosfernya sendiri.
Selain dibutuhkan kemampuan mengelola sumber daya politik, setiap kandidat juga
wajib memiliki mental juara mengingat rivalitas akan mencapai titik
kulminasinya. Hal menarik dari rivalitas mereka sekarang ini adalah membaca
peta kekuatan politik masing-masing dan kemungkinan- kemungkinan skema strategi
yang dilakukan menuju ronde final.
Strategi Foke
Ada beberapa strategi yang sepertinya akan dijalankan tim pemenangan pasangan Foke-Nara menuju putaran kedua. Pertama, di level elite partai tentu pasangan ini akan sangat ngotot menerapkan strategi penguasaan partai-partai dengan konsep blocking seperti yang pernah dilakukan Foke-Prijanto pada Pilkada DKI 2007. Sekarang, Foke-Nara intensif melobi dan melakukan negosiasi guna membangun koalisi besar.
Dalam skema ini PKS, PPP, PAN, Demokrat, Golkar dan PKB sangat mungkin merapat ke kubu Foke-Nara. Peran para elite Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai masing-masing sepertinya lebih mudah memberi endorsement ke Foke-Nara. Dukungan partai-partai koalisi pendukung pemerintahan SBY ini diprediksi lebih mudah menyatu dengan Foke-Nara bukan karena kesamaan platform, terlebih ideologi; melainkan lebih karena alasan taktis-pragmatis, yakni pertimbangan elektoral 2014.
Sangat mungkin dibangun semacam sentimen asal bukan PDIP dan Gerindra karena saat ini keduanya jelas-jelas adalah representasi kekuatan nonkekuasaan dan berpotensi meroket pada Pemilu 2014. Tentu jika Jokowi-Basuki menang di Pilkada DKI akan menjadi faktor pengatrol popularitas sekaligus elektabilitas partai-partai pengusungnya. Bahkan sangat mungkin Jokowi juga menjadi calon potensial dari PDIP untuk presiden di masa mendatang.
Selain itu, ada pertimbangan taktis-pragmatis bagi para kandidat jalur partai yang sudah mengeluarkan biaya politik selama putaran pertama. Prediksi penulis, yang paling siap meraup mesin pemenangan partai-partai yang tidak lolos di putaran pertama ini adalah Foke-Nara karena mereka memiliki sumber daya finansial lebih baik dibanding pasangan Jokowi-Basuki. Kedua, skema memaksimalkan attacking campaign bahkan sangat mungkin menerapkan teknik propaganda.
Dalam konteks ini yang dipakai adalah teknik name calling, yakni memberi label buruk pada lawan. Isu sektarian akan meningkat bahkan diprediksi semakin eksplosif terlebih ada momentum Ramadan. Misalnya, isu agama dan etnis bisa menjadi peluru tembak yang mudah diarahkan untuk membidik pasangan Jokowi-Basuki, terutama di level akar rumput pemilih. Di saat bersamaan, tim sukses Foke lebih berpeluang menggunakan teknik plain folks.
Teknik ini biasanya digunakan dengan cara mengimbau pemilih bahwa Foke merupakan bagian utuh dari komunitas-komunitas utama Jakarta, sehingga komunitas tersebut bisa bersama-sama dalam kerja kolaboratif yang mendongkrak perolehan suara Foke. Isu pribumi dan pendatang masih mungkin diterapkan untuk memantik konvergensi simbolik dari semangat kekitaan.
Strategi Jokowi
Bagi pasangan Jokowi- Basuki, ada beberapa strategi yang paling mungkin mereka lakukan. Pertama, pasangan ini akan terus memainkan keuntungan psikopolitis yang diraihnya lewat kemenangan di putaran pertama. Dalam tradisi elektoral, biasanya muncul bandwagon effect, yakni pemilih cenderung akan memilih kandidat yang sedang leading dan dianggap berpotensi menang. Kemenangan 11 Juli bisa memiliki multiplier effect pada perilaku pemilih di putaran kedua.
Sehingga, kubu Jokowi-Basuki akan mengoptimalkan betul publisitas politik hasil putaran pertama untuk menaikkan dukungan. Kedua, Jokowi akan merangkul kelompok pemilih yang belum berpartisipasi dalam pilkada putaran pertama. Meski strategi ini juga pasti akan dilakukan oleh kubu Foke-Nara. Kalau kita telaah dalam sejarah golput di Indonesia, mereka rata-rata kelompok yang apolitis, bahkan kritis, terhadap kekuatan status quo.
Jika pun mereka harus memilih, cenderung akan menyalurkan suaranya pada sosok yang properubahan. Jumlah mereka yang belum berpartisipasi di putaran pertama ada 36,38%. Ketiga, Jokowi-Basuki paling berpotensi melakukan strategi attacking campaign dengan cara intensif mengungkap kegagalan Foke di periode pertama kekuasaannya. Diakui atau tidak, Jokowi sangat terbantu dengan kuatnya current image kegagalan Foke mengurus Jakarta.
Citra negatif yang secara faktual menjadi beban politik paling berat dalam mengatrol keterpilihan Foke di putaran kedua nanti. Keempat, basis massa kandidat independen yang cenderung kritis terutama di basis pemilih Faisal-Biem. Kemungkinan besar mereka tidak akan diarahkan oleh kandidat independen yang kalah di putaran pertama, karena sifat konstituennya yang cair dan kritis.
Namun, konsituen kandidat independen ini cenderung menghendaki perubahan, sehingga yang berpotensi bisa merangkulnya adalah kubu Jokowi-Basuki. Kita bisa mengambil contoh dari putaran pertama, swing voter yang jumlahnya plus minus 26%, banyak yang masuk ke Jokowi sehingga menjadi penentu kemenangan putaran pertama. Kelima, Jokowi akan memanfaatkan cairnya pemilih di basis-basis utama partai politik.
Kita bisa lihat, betapa keroposnya Partai Golkar dan Demokrat di putaran pertama. Keterikatan emosional berbasis nilai-nilai kekitaan di partai memudar dan cenderung tergantikan oleh kekuatan figur calon gubernur. Dalam konteks inilah posisi Jokowi-Basuki memiliki peluang. Dari peta kekuatan di atas, sesungguhnya kedua belah pihak masih berpeluang menang di putaran kedua.
Memang, peluang Jokowi lebih besar selama dia tetap sabar, tidak terlena euforia kemenangan, dan konsisten menjaga basis-basis massa pemilih yang berkontribusi pada kemenangannya di putaran pertama. Putaran kedua bukan semata perang penguasaan akses ke partai atau elite yang menjadi significant others pemilih, melainkan juga ke simpul-simpul utama pemilih yang sekarang menjadi area terbuka bagi “peperangan” kedua kandidat. ●
Strategi Foke
Ada beberapa strategi yang sepertinya akan dijalankan tim pemenangan pasangan Foke-Nara menuju putaran kedua. Pertama, di level elite partai tentu pasangan ini akan sangat ngotot menerapkan strategi penguasaan partai-partai dengan konsep blocking seperti yang pernah dilakukan Foke-Prijanto pada Pilkada DKI 2007. Sekarang, Foke-Nara intensif melobi dan melakukan negosiasi guna membangun koalisi besar.
Dalam skema ini PKS, PPP, PAN, Demokrat, Golkar dan PKB sangat mungkin merapat ke kubu Foke-Nara. Peran para elite Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai masing-masing sepertinya lebih mudah memberi endorsement ke Foke-Nara. Dukungan partai-partai koalisi pendukung pemerintahan SBY ini diprediksi lebih mudah menyatu dengan Foke-Nara bukan karena kesamaan platform, terlebih ideologi; melainkan lebih karena alasan taktis-pragmatis, yakni pertimbangan elektoral 2014.
Sangat mungkin dibangun semacam sentimen asal bukan PDIP dan Gerindra karena saat ini keduanya jelas-jelas adalah representasi kekuatan nonkekuasaan dan berpotensi meroket pada Pemilu 2014. Tentu jika Jokowi-Basuki menang di Pilkada DKI akan menjadi faktor pengatrol popularitas sekaligus elektabilitas partai-partai pengusungnya. Bahkan sangat mungkin Jokowi juga menjadi calon potensial dari PDIP untuk presiden di masa mendatang.
Selain itu, ada pertimbangan taktis-pragmatis bagi para kandidat jalur partai yang sudah mengeluarkan biaya politik selama putaran pertama. Prediksi penulis, yang paling siap meraup mesin pemenangan partai-partai yang tidak lolos di putaran pertama ini adalah Foke-Nara karena mereka memiliki sumber daya finansial lebih baik dibanding pasangan Jokowi-Basuki. Kedua, skema memaksimalkan attacking campaign bahkan sangat mungkin menerapkan teknik propaganda.
Dalam konteks ini yang dipakai adalah teknik name calling, yakni memberi label buruk pada lawan. Isu sektarian akan meningkat bahkan diprediksi semakin eksplosif terlebih ada momentum Ramadan. Misalnya, isu agama dan etnis bisa menjadi peluru tembak yang mudah diarahkan untuk membidik pasangan Jokowi-Basuki, terutama di level akar rumput pemilih. Di saat bersamaan, tim sukses Foke lebih berpeluang menggunakan teknik plain folks.
Teknik ini biasanya digunakan dengan cara mengimbau pemilih bahwa Foke merupakan bagian utuh dari komunitas-komunitas utama Jakarta, sehingga komunitas tersebut bisa bersama-sama dalam kerja kolaboratif yang mendongkrak perolehan suara Foke. Isu pribumi dan pendatang masih mungkin diterapkan untuk memantik konvergensi simbolik dari semangat kekitaan.
Strategi Jokowi
Bagi pasangan Jokowi- Basuki, ada beberapa strategi yang paling mungkin mereka lakukan. Pertama, pasangan ini akan terus memainkan keuntungan psikopolitis yang diraihnya lewat kemenangan di putaran pertama. Dalam tradisi elektoral, biasanya muncul bandwagon effect, yakni pemilih cenderung akan memilih kandidat yang sedang leading dan dianggap berpotensi menang. Kemenangan 11 Juli bisa memiliki multiplier effect pada perilaku pemilih di putaran kedua.
Sehingga, kubu Jokowi-Basuki akan mengoptimalkan betul publisitas politik hasil putaran pertama untuk menaikkan dukungan. Kedua, Jokowi akan merangkul kelompok pemilih yang belum berpartisipasi dalam pilkada putaran pertama. Meski strategi ini juga pasti akan dilakukan oleh kubu Foke-Nara. Kalau kita telaah dalam sejarah golput di Indonesia, mereka rata-rata kelompok yang apolitis, bahkan kritis, terhadap kekuatan status quo.
Jika pun mereka harus memilih, cenderung akan menyalurkan suaranya pada sosok yang properubahan. Jumlah mereka yang belum berpartisipasi di putaran pertama ada 36,38%. Ketiga, Jokowi-Basuki paling berpotensi melakukan strategi attacking campaign dengan cara intensif mengungkap kegagalan Foke di periode pertama kekuasaannya. Diakui atau tidak, Jokowi sangat terbantu dengan kuatnya current image kegagalan Foke mengurus Jakarta.
Citra negatif yang secara faktual menjadi beban politik paling berat dalam mengatrol keterpilihan Foke di putaran kedua nanti. Keempat, basis massa kandidat independen yang cenderung kritis terutama di basis pemilih Faisal-Biem. Kemungkinan besar mereka tidak akan diarahkan oleh kandidat independen yang kalah di putaran pertama, karena sifat konstituennya yang cair dan kritis.
Namun, konsituen kandidat independen ini cenderung menghendaki perubahan, sehingga yang berpotensi bisa merangkulnya adalah kubu Jokowi-Basuki. Kita bisa mengambil contoh dari putaran pertama, swing voter yang jumlahnya plus minus 26%, banyak yang masuk ke Jokowi sehingga menjadi penentu kemenangan putaran pertama. Kelima, Jokowi akan memanfaatkan cairnya pemilih di basis-basis utama partai politik.
Kita bisa lihat, betapa keroposnya Partai Golkar dan Demokrat di putaran pertama. Keterikatan emosional berbasis nilai-nilai kekitaan di partai memudar dan cenderung tergantikan oleh kekuatan figur calon gubernur. Dalam konteks inilah posisi Jokowi-Basuki memiliki peluang. Dari peta kekuatan di atas, sesungguhnya kedua belah pihak masih berpeluang menang di putaran kedua.
Memang, peluang Jokowi lebih besar selama dia tetap sabar, tidak terlena euforia kemenangan, dan konsisten menjaga basis-basis massa pemilih yang berkontribusi pada kemenangannya di putaran pertama. Putaran kedua bukan semata perang penguasaan akses ke partai atau elite yang menjadi significant others pemilih, melainkan juga ke simpul-simpul utama pemilih yang sekarang menjadi area terbuka bagi “peperangan” kedua kandidat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar