Puasa
Merokok
Nova Riyanti Yusuf ; Wakil Ketua Komisi IX DPR, Fraksi
Partai Demokrat
SINDO,
02 Agustus 2012
Menjadi pemandangan yang menarik ketika hendak memasuki sebuah
restoran untuk berbuka puasa, tampak segerombolan orang baik laki-laki maupun perempuan
sedang asyik merokok.
Ketenangan pun terpancar dari sorot mata dan ekspresi wajah mereka
setelah terpisah dari rokok sejak berakhirnya waktu sahur. Sungguh juga adil
bahwa mereka merokok di udara terbuka dan bukan mengajak non-perokok di dalam ruangan
yang padat untuk ikut mengisap asap rokok. Hal yang sama juga tampak dalam
sebuah tempat berkumpul dan bercengkerama di sebuah daerah elite di Los
Angeles, Amerika Serikat.
Pengunjung berpakaian keren dan mentereng, namun tidak terasa ada kepengapan dan kesesakan nafas di dalam ruangan tersebut, terutama tidak dirasakan oleh mereka yang mengidap penyakit asma alergi. Rupanya, mereka yang tampak keren dan mentereng tersebut juga tertib bergerombol di teras luar karena mereka harus merokok di udara terbuka.
Lagi-lagi pengunjung didalam ruang tertutup tersebut tidak harus terseret menjadi korban, yaitu sebagai perokok pasif. Berbicara tentang ruang, asap rokok, dan hak asasi (baik bagi perokok maupun nonperokok), jadi teringat dengan bunyi penjelasan Pasal 115 ayat (1) dari UU Kesehatan Nomor 36/2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, yaitu “Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok.”
Kemudian terbitlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-IX/2011 tanggal 17 April 2012 yang menyatakan frase “dapat” dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka selanjutnya penjelasan menjadi “khusus tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya, menyediakan tempat khusus untuk merokok.” Apa pun keputusannya, sudah waktunya setiap orang mempunyai hak untuk hidup sehat (bahkan memilih untuk sakit) yang sama, tetapi bukan menjadi sakit karena tindakan orang lain. Ini egois mefatalistik.
Kontroversi Regulasi
Pada awal bulan April Jakarta sempat dikepung oleh aksi demo dari ribuan petani tembakau. Mereka menolak rencana pemerintah untuk mengesahkan RPP tentang Pengamanan, Bahan Adiktif Produk Tembakau bagi Kesehatan (RPP Tembakau) karena khawatir RPP tersebut melarang mereka untuk menanam tembakau sehingga terancam gulung tikar dan kehilangan mata pencarian. Ada hal yang menarik dalam demo petani tembakau tersebut.
Karena sesungguhnya RPP Tembakau pada prinsipnya tidak melarang penanaman tembakau, produksi rokok, penjualan rokok, atau orang untuk merokok. Prinsip pengaturan tersebut secara resmi telah dijelaskan oleh Menteri Kesehatan di depan anggota Komisi IX DPR RI pada 25 Juni 2012. RPP Tembakau ini dimaksudkan untuk melindungi kesehatan masyarakat luas dari bahaya merokok, bukan untuk menghancurkan industri tembakau/rokok, apalagi untuk menyengsarakan petani tembakau.
Beberapa materi pokok yang akan diatur di dalam RPP Tembakau tersebut di antaranya 1) Perlindungan khusus kepada anak dan wanita hamil dari bahaya rokok, 2) Pengendalian iklan rokok, promosi, dan sponsor, 3) Pemberian peringatan kesehatan berupa gambar dan tulisan di setiap bungkus rokok, 4) Pengaturan pengujian kadar tar dan nikotin serta pengaturan penggunaan bahan tambahan, dan 5) Memperbanyak kawasan tanpa rokok.
Klaim bahwa petani tembakau akan merugi apabila RPP Tembakau ini disahkan tampaknya sebuah kanker ganas pikiran. Padahal perlu direnungkan kembali, tiga negara terbesar penghasil tembakau, yaitu China, India, dan Brasil justru telah menandatangani dan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau yang disahkan di Jenewa pada tahun 2004.
Sesungguhnya Indonesia telah menjalankan beberapa poin dari FCTC tersebut seperti upaya pengurangan dan pembatasan iklan rokok dan membuat area khusus untuk merokok. Namun dengan segala kontroversinya, tampak regulasi rokok dan dampak negatif tembakau akan semakin tabu untuk dibahas, apalagi diregulasi. Semoga aspek lain dari merokok masih bisa mendapatkan “izin” untuk dibahas di negara yang seharusnya demokratis ini.
Reward Pathways
Beberapa artikel di media massa memberikan sugesti betapa berpuasa bisa menjadi salah satu cara terbaik untuk berhenti merokok. Mungkin tidak sesederhana itu. Berbagai jurnal ilmiah tidak bisa menafikan bahwa merokok membuat seseorang merasa nyaman bahkan sedikit euforia. Dan efek ini diperankan secara hebat oleh salah satu dari ribuan zat kimiawi yang ada dalam tanaman tembakau, yaitu, nikotin yang bisa memberikan rasa senang dan membuat seseorang ingin lagi menikmati puntung demi puntung rokok.
Sekali masuk dalam aliran darah, nikotin mengalir cepat ke dalam otak sehingga nikotin bertanggung jawab atas dua kutub perasaan: senang akibat merokok dan juga kacau pada saat berusaha berhenti. Nikotin tidak bertahan lama di dalam tubuh karena waktu paruhnya sekitar 60 menit yang berarti 6 jam setelah merokok, hanya berkisar 0,031 mg dari 1 mg nikotin yang diisap bertahan di dalam tubuh. Sehingga normal jika orang terus merokok sepanjang hari untuk mempertahankan level stabil dari nikotin di dalam tubuh mereka.
Namun tentu ada perbedaan metabolisme nikotin pada setiap orang. Seseorang yang teradiksi pada sesuatu zat akan menggunakannya secara kompulsif. Sebuah kompulsi adalah kebutuhan patologis untuk bertindak impulsif, yang jika ditolak, akan menimbulkan kecemasan. Tanpa memedulikan dampak negatif bagi kesehatannya.
Bahkan seseorang bisa tetap merokok walaupun sudah harus menenteng tabung oksigen ke mana-mana karena kerusakan paru akibat merokok. Stimulasi neuron kolinergik yang melepaskan neurotransmitter dopamine ke dalam reward pathways di otak, akan menimbulkan perasaan senang, meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi,dan merasa dapat bekerja lebih baik. Karena itu,para ahli neurosains menyatakan bahwa apa pun zat yang menstimulasi reward pathway di otak dinyatakan sebagai zat adiktif.
Karena stimulasi ini begitu nyaman sehingga ingin dilakukan terus-menerus demi untuk mendapatkan rasa yang sama. Celakanya, efek nikotin begitu singkat, sekitar 40 menit sampai dengan beberapa jam. Inilah yang mempersulit orang untuk berhenti merokok karena harus terus mempertahankan dosis secara periodik. Juga efek toleransi membuat seseorang membutuhkan lebih banyak kadar nikotin untuk mencapai derajat stimulasi atau relaksasi yang sama.
Karena itu tidaklah aneh jika melihat seorang kawan begitu cepat beralih dari merokok sehari sebatang menjadi sehari sebungkus. Jika seseorang berhenti merokok secara mendadak maka tubuh tidak dapat berfungsi sama tanpa kehadiran nikotin. Orang yang kehilangan nikotin akan mengalami iritabilitas, kecemasan, depresi, perasaan ketagihan nikotin, dan setelah sekitar sebulan gejala-gejala tersebut pun mereda.
Namun pada banyak perokok, sehari tanpa merokok terasa seperti berada di neraka dunia. Dari berbagai data, jutaan orang di seluruh dunia berusaha berhenti merokok dan hanya 10% yang berhasil. Walaupun angka keberhasilan tidak terlalu besar, bukan berarti tidak ada harapan sama sekali. Sekali lagi, hak untuk sehat dan sakit menjadi pilihan masing-masing individu. ●
Pengunjung berpakaian keren dan mentereng, namun tidak terasa ada kepengapan dan kesesakan nafas di dalam ruangan tersebut, terutama tidak dirasakan oleh mereka yang mengidap penyakit asma alergi. Rupanya, mereka yang tampak keren dan mentereng tersebut juga tertib bergerombol di teras luar karena mereka harus merokok di udara terbuka.
Lagi-lagi pengunjung didalam ruang tertutup tersebut tidak harus terseret menjadi korban, yaitu sebagai perokok pasif. Berbicara tentang ruang, asap rokok, dan hak asasi (baik bagi perokok maupun nonperokok), jadi teringat dengan bunyi penjelasan Pasal 115 ayat (1) dari UU Kesehatan Nomor 36/2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, yaitu “Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok.”
Kemudian terbitlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-IX/2011 tanggal 17 April 2012 yang menyatakan frase “dapat” dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka selanjutnya penjelasan menjadi “khusus tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya, menyediakan tempat khusus untuk merokok.” Apa pun keputusannya, sudah waktunya setiap orang mempunyai hak untuk hidup sehat (bahkan memilih untuk sakit) yang sama, tetapi bukan menjadi sakit karena tindakan orang lain. Ini egois mefatalistik.
Kontroversi Regulasi
Pada awal bulan April Jakarta sempat dikepung oleh aksi demo dari ribuan petani tembakau. Mereka menolak rencana pemerintah untuk mengesahkan RPP tentang Pengamanan, Bahan Adiktif Produk Tembakau bagi Kesehatan (RPP Tembakau) karena khawatir RPP tersebut melarang mereka untuk menanam tembakau sehingga terancam gulung tikar dan kehilangan mata pencarian. Ada hal yang menarik dalam demo petani tembakau tersebut.
Karena sesungguhnya RPP Tembakau pada prinsipnya tidak melarang penanaman tembakau, produksi rokok, penjualan rokok, atau orang untuk merokok. Prinsip pengaturan tersebut secara resmi telah dijelaskan oleh Menteri Kesehatan di depan anggota Komisi IX DPR RI pada 25 Juni 2012. RPP Tembakau ini dimaksudkan untuk melindungi kesehatan masyarakat luas dari bahaya merokok, bukan untuk menghancurkan industri tembakau/rokok, apalagi untuk menyengsarakan petani tembakau.
Beberapa materi pokok yang akan diatur di dalam RPP Tembakau tersebut di antaranya 1) Perlindungan khusus kepada anak dan wanita hamil dari bahaya rokok, 2) Pengendalian iklan rokok, promosi, dan sponsor, 3) Pemberian peringatan kesehatan berupa gambar dan tulisan di setiap bungkus rokok, 4) Pengaturan pengujian kadar tar dan nikotin serta pengaturan penggunaan bahan tambahan, dan 5) Memperbanyak kawasan tanpa rokok.
Klaim bahwa petani tembakau akan merugi apabila RPP Tembakau ini disahkan tampaknya sebuah kanker ganas pikiran. Padahal perlu direnungkan kembali, tiga negara terbesar penghasil tembakau, yaitu China, India, dan Brasil justru telah menandatangani dan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau yang disahkan di Jenewa pada tahun 2004.
Sesungguhnya Indonesia telah menjalankan beberapa poin dari FCTC tersebut seperti upaya pengurangan dan pembatasan iklan rokok dan membuat area khusus untuk merokok. Namun dengan segala kontroversinya, tampak regulasi rokok dan dampak negatif tembakau akan semakin tabu untuk dibahas, apalagi diregulasi. Semoga aspek lain dari merokok masih bisa mendapatkan “izin” untuk dibahas di negara yang seharusnya demokratis ini.
Reward Pathways
Beberapa artikel di media massa memberikan sugesti betapa berpuasa bisa menjadi salah satu cara terbaik untuk berhenti merokok. Mungkin tidak sesederhana itu. Berbagai jurnal ilmiah tidak bisa menafikan bahwa merokok membuat seseorang merasa nyaman bahkan sedikit euforia. Dan efek ini diperankan secara hebat oleh salah satu dari ribuan zat kimiawi yang ada dalam tanaman tembakau, yaitu, nikotin yang bisa memberikan rasa senang dan membuat seseorang ingin lagi menikmati puntung demi puntung rokok.
Sekali masuk dalam aliran darah, nikotin mengalir cepat ke dalam otak sehingga nikotin bertanggung jawab atas dua kutub perasaan: senang akibat merokok dan juga kacau pada saat berusaha berhenti. Nikotin tidak bertahan lama di dalam tubuh karena waktu paruhnya sekitar 60 menit yang berarti 6 jam setelah merokok, hanya berkisar 0,031 mg dari 1 mg nikotin yang diisap bertahan di dalam tubuh. Sehingga normal jika orang terus merokok sepanjang hari untuk mempertahankan level stabil dari nikotin di dalam tubuh mereka.
Namun tentu ada perbedaan metabolisme nikotin pada setiap orang. Seseorang yang teradiksi pada sesuatu zat akan menggunakannya secara kompulsif. Sebuah kompulsi adalah kebutuhan patologis untuk bertindak impulsif, yang jika ditolak, akan menimbulkan kecemasan. Tanpa memedulikan dampak negatif bagi kesehatannya.
Bahkan seseorang bisa tetap merokok walaupun sudah harus menenteng tabung oksigen ke mana-mana karena kerusakan paru akibat merokok. Stimulasi neuron kolinergik yang melepaskan neurotransmitter dopamine ke dalam reward pathways di otak, akan menimbulkan perasaan senang, meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi,dan merasa dapat bekerja lebih baik. Karena itu,para ahli neurosains menyatakan bahwa apa pun zat yang menstimulasi reward pathway di otak dinyatakan sebagai zat adiktif.
Karena stimulasi ini begitu nyaman sehingga ingin dilakukan terus-menerus demi untuk mendapatkan rasa yang sama. Celakanya, efek nikotin begitu singkat, sekitar 40 menit sampai dengan beberapa jam. Inilah yang mempersulit orang untuk berhenti merokok karena harus terus mempertahankan dosis secara periodik. Juga efek toleransi membuat seseorang membutuhkan lebih banyak kadar nikotin untuk mencapai derajat stimulasi atau relaksasi yang sama.
Karena itu tidaklah aneh jika melihat seorang kawan begitu cepat beralih dari merokok sehari sebatang menjadi sehari sebungkus. Jika seseorang berhenti merokok secara mendadak maka tubuh tidak dapat berfungsi sama tanpa kehadiran nikotin. Orang yang kehilangan nikotin akan mengalami iritabilitas, kecemasan, depresi, perasaan ketagihan nikotin, dan setelah sekitar sebulan gejala-gejala tersebut pun mereda.
Namun pada banyak perokok, sehari tanpa merokok terasa seperti berada di neraka dunia. Dari berbagai data, jutaan orang di seluruh dunia berusaha berhenti merokok dan hanya 10% yang berhasil. Walaupun angka keberhasilan tidak terlalu besar, bukan berarti tidak ada harapan sama sekali. Sekali lagi, hak untuk sehat dan sakit menjadi pilihan masing-masing individu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar