Rabu, 15 Agustus 2012

Rekayasa Digitalisasi Penyiaran Multiplexer


Rekayasa Digitalisasi Penyiaran Multiplexer (1 of 2)
Imawan Mashuri ; Ketua Umum ATVLI 
JAWA POS,  15 Agustus 2012


ASSALAMU'ALAKUM, Pak Tif (maaf saya ikut sok akrab menyebut Bapak Tifatul Sembiring, menteri kominfo). Pertama-tama, saya menyampaikan salam dari teman-teman, para anggota Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI). 

Salam itu dititipkan karena sebagai anggota organisasi mereka -juga saya (kami)- tidak bisa bertemu langsung dengan Bapak. Terutama sejak seleksi Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LP3M) Bapak buka dua bulan lalu. Buka puasa bersama pun -yang tahun lalu Bapak mengundang kami- tidak ada tahun ini. Karena itulah saya menulis surat terbuka ini. 

Bukan hanya pantun Bapak yang kami rindukan. Bukan! Yang lebih penting: jawaban langsung atas sejumlah pertanyaan seputar kebijakan Bapak menggulirkan seleksi penyelenggaraan multipleksing untuk siaran digital televisi. Sebab, eksperimen Bapak akan mendigitalisasi penyiaran televisi dengan pola LP3M itu bakal mengubah sistem penyiaran yang sangat mendasar. Juga, demokratisasi penyiaran yang mulai tertata kembali banyak dipertanyakan. 

Mulanya sederhana saja. Atas dasar semangat untuk menjadi ''anak baik dan saleh'', seluruh anggota ATVLI berkumpul, rapat, merespons, dan membahas pengumuman Bapak untuk seleksi yang segera dimulai, yang jadwalnya sangat padat dan singkat itu. Tujuannya hanya satu, membentuk konsorsium, bersatu, mengelompok, dan menyukseskan keinginan Bapak. 

Tapi, ternyata rapat yang kami selenggarakan pada dua hari setelah pengumuman pembukaan seleksi LP3M itu tidak sederhana. Sangat banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Kenapa kok dengan cara LP3M? Bagaimana dan dikemanakan pemancar serta tower-tower yang sudah diinvestasikan begitu mahal? Mengapa pemenangnya akan lima saja? Mengapa ada perkecualian peserta dari Jatim? Apa dasar hukum semua itu? Kami hanya menemukan Permen 22 dan 23 (2011) yang Bapak buat sendiri dan lantas Bapak jadikan dasar itu. 

Aturan lain yang lebih tinggi, undang-undang bahkan peraturan pelaksanaan pun, tidak ada yang tegas-tegas bisa melandasi digitalisasi dengan pola LP3M itu. Narasumber kami, mantan Dirjen SKDI Bambang Subiantoro yang baru pensiun, juga tidak bisa menjawab. Padahal, Pak Bambang yang paling tahu dan terlibat penyiapan digitalisasi penyiaran. Dia juga heran, kok begitu jadinya langkah dan pola digitalisasi yang ditempuh. 

Perubahan mendasar sistem penyiaran Indonesia, yang menggunakan ranah publik, Bapak utak-atik sendiri dengan sepenuh kemauan Bapak. Pak Tif, maaf saya harus mengatakan ''sepenuh kemauan Bapak'' seperti itu. Itu kesimpulan setelah kami mendengar jawaban dalam dialog resmi kami dengan anggota Komisi I DPR serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta dan daerah Jatim di Surabaya. 

Kami juga terdorong untuk mencari jawaban tentang langkah pola LP3M, sehingga kami mendatangi kantor Bapak esoknya. Tentu Bapak masih ingat, Bapak menghindar dan balik masuk ke ruangan Bapak ketika kami berbondong menunggu di pintu keluar ruangan kantor Bapak di lantai 7 Gedung Kominfo Jakarta. Dua kali Bapak hendak keluar, tapi balik masuk karena kami masih menunggu. Hari itu adalah sehari setelah kami rapat dan tiga hari setelah pendaftaran seleksi LP3M bulan Juni. 

Sampai kemudian Pak Gatot S. Dewobroto, kepala Pusat Informasi dan Humas, keluar mengajak kami dan para wartawan ke ruangan lain untuk berbicara. Dia kemudian ditemani dua staf Bapak lainnya yang juga anggota tim seleksi. Yakni, Henri Subiakto (staf ahli) dan Anang Achmad Latif (Kasubdit Pengembangan Infrastruktur Telsus Ditjen PPI yang selama ini Bapak tampilkan untuk urusan digital). 

Hanya kesempatan itu satu-satunya forum resmi kelembagaan yang kami peroleh untuk bisa berdialog. Itu pun tidak tuntas. Yang terasa adalah mereka bertahan. Misalnya begini, hari itu koran Kompas memberitakan keterangan Bapak bahwa pemenang seleksi nanti adalah empat televisi nasional dan satu televisi lokal. Kalau sudah ditentukan, untuk apa seleksi? Kenapa tak dibagi saja? 

Tapi, duh, Pak Gatot mati-matian menyatakan bahwa tidak ada kata-kata begitu sambil meluruskan bahwa yang Bapak maksud adalah 41 calon peserta seleksi. Padahal, jelas dan terang benderang berita koran bertanggal 12 Juni halaman 12 itu. 

Kami juga sedih dijawab dengan menyatakan ''pokoknya''. Misalnya ini, ketika kami bertanya: untuk apa frekuensi dihemat? Staf Bapak menyatakan, pokoknya pemerintah butuh. ''Butuh frekuensi banyak,'' timpal Henri. 

Lho, frekuensi itu adalah ranah publik, untuk hajat dan kemaslahatan bangsa. Juga sedang digunakan oleh pemegang izin. Kok dijawab sederhana begitu. Butuh untuk apa? Bagaimana proses memperolehnya, bagaimana aturannya, dan seterusnya. Yang artinya, kalau dijawab jelas, tampak ada plan, terbuka, ikut aturan, dan jelas. Tapi, pertanyaan tersebut akhirnya memang tidak terjawab. 

Yang lumayan tidak menyakitkan adalah jawaban ini, ''Pertanyaan itu sulit dijawab.'' Yang mengatakan itu adalah Anang A. Latif. Pertanyaannya begini: Kita tahu, LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) eks nasional maupun lokal di tiap wilayah besar jumlahnya cukup banyak. Jakarta dan Surabaya, misalnya, masing-masing sekitar 24 dan 22 stasiun televisi. Hampir seluruhnya menggunakan tower dan tentu saja pemancar sendiri-sendiri dengan masing-masing frekuensinya. Sebagian, terutama televisi lokal yang baru saja dapat izin tetap, telah berinvestasi besar-besaran. 

Tapi, LP3M akan meringkus menjadi hanya lima karena masing-masing frekuensi dipecah oleh teknologi multiplekser impact4 DVBT2 menjadi 12 kanal. Nah, dikemanakan sisanya dan bagaimana dengan kerugiannya?
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar