Lebaran dan
Budaya Konsumerisme
|
Sholehudin A Aziz ; Dosen Fakultas Syariah dan Hukum,
Peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta |
SUARA
KARYA, 15 Agustus 2012
Tidak lama lagi, Lebaran atau Hari Raya Idul
Fitri 1433 H yang senantiasa dinanti oleh umat Muslim, akan tiba. Idul Fitri
dimaknai sebagai hari kembalinya kesucian diri dan kemenangan bagi umat Islam,
khususnya bagi yang telah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan selama
sebulan penuh. Lantas, mengapa harus ada Lebaran? Secara normatif, Lebaran
merupakan tanda bagi tiga hal.
Pertama, sebagai bentuk ungkapan syukur atas
segala nikmat dan karunia selama satu tahun penuh yang telah diberikan Allah
SWT. Kedua, sebagai tanda telah genap dan sempurnanya jumlah hitungan hari
puasa di bulan Ramadhan. Ketiga, sebagai bentuk pengagungan Asma Allah. Hal ini
sesuai dengan ayat Al Qur'an yang berbunyi: "dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS 2: 185)
Ayat di atas jelas mengkonfirmasi bahwa tujuan
utama Idul Fitri adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas nikmat
Ramadhan yang telah dianugerahkan kepada kaum muslimin. Sebagai perwujudan rasa
syukur maka menjelang Lebaran terdapat kewajiban membayar zakat bagi yang
mampu, dan juga infak serta sedekah bagi yang berlebihan.
Tradisi ini di
sebagai bentuk kepedulian sosial yang tinggi kepada kaum dhuafa, agar dapat
berlebaran seperti yang lainnya. Itulah esensi Lebaran yang sesungguhnya.
Namun kini, budaya Lebaran sepertinya tidak
lagi sesakral yang diharapkan oleh Allah SWT. Esensi peringatan Hari Raya Idul
Fitri yang agung, kian hari mulai pudar dan cenderung mulai jauh dari
nilai-nilai keislaman. Tradisi Idul Fitri dirasakan sebatas ungkapan makna
semata tanpa nilai semestinya. Tradisi hura-hura dan berlebihan dalam menyambut
hari raya ini telah menambah kesan hilangnya esensi Idul Fitri yang sesungguhnya.
Kita bisa lihat setiap menjelang hari Lebaran,
tingkat konsumsi masyarakat naik tajam. Seluruh pusat perbelanjaan seperti mal,
supermarket, swalayan, pasar dan lainnya membludak tajam dipenuhi pengunjung.
Mereka berbelanja barang barang kebutuhan Lebaran dari barang kebutuhan pokok,
baju, celana, dan kue dan lain sebagainya. Mereka seakan tidak peduli dengan
berapa biaya anggaran yang harus dikeluarkannya, demi sebuah lebaran semata.
Meningkatnya biaya konsumsi khusus di hari-hari
menjelang Lebaran ini, mungkin tidak terlalu berpengaruh bagi kalangan menengah
ke atas, namun bagi kalangan menengah ke bawah, apalagi kaum miskin, tradisi
Lebaran ini cukup membuat kelimpungan. Inilah budaya konsumerisme yang kian
mengkhawatirkan karena dipicu oleh tayangan-tayangan di media televisi kita.
Hampir mayoritas acara-acara di televisi membawa pesan sponsor konsumerisme dan
kemewahan.
Lebih jauh, iklan-iklan yang muncul adalah
iklan-iklan yang cenderung mengajak masyarakat untuk berbelanja dan terus
berbelanja. Momen Idul fitri seakan telah menjadi lahan paling strategis untuk
meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Sehingga tanpa disadari, semangat Idul
Fitri kian pudar, diganti oleh semangat konsumerisme yang membabi buta. Naiknya
biaya konsumsi Lebaran akhirnya dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai suatu
hal yang wajar. Sungguh ironis memang!
Sikap Berlebih
Kondisi ini diperkuat oleh hasil penelitian
terhadap konsumsi massa dalam hari-hari besar Islam yang dilakukan oleh seorang
antropolog Amerika, Walter Armbrust, yang mengindikasikan adanya kesenjangan
antara perilaku umat islam dan nilai yang menjadi tujuan ibadah Lebaran.
Menurut Armbruts, pada hari-hari menjelang
Lebaran, masjid menjadi kian lengang oleh jama'ah. Sedangkan, yang ramai bahkan
sesak didatangi oleh jama'ah adalah mall, supermarket dan trade centre.
Bukannya makin khusyuk dalam sujud panjang di malam-malam akhir Ramadhan, umat
Islam malah tenggelam dalam arus hingar-bingar penyambutan Lebaran yang
kehilangan substansi. Bukannya menyempurnakan bilangan puasa dan mengagungkan
asma Allah, mereka malah sibuk memilih pakaian baru dan bahan makanan untuk
memenuhi kebutuhan lebaran yang begitu berlebihan.
Padahal dalam Islam sendiri, terdapat
batasan-batasan yang jelas tentang konsumsi. Di antaranya adalah adanya
larangan isrbf atau berlebih-lebihan.
Perilaku isrbf diharamkan sekalipun
komoditas yang dibelanjakan adalah halal. Namun demikian, Islam tetap
membolehkan seorang muslim menikmati karunia kehidupan, selama masih dalam
batas kewajaran. Dalam Al-Quran, surat al-A'rbf (7): 31 dikatakan: "Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan."
Untuk menyelamatkan Lebaran dan mengembalikan
pada fungsi dan makna yang sebenarnya, maka dibutuhkan sebuah kerja keras dari
para ulama dan pemimpin umat lainnya untuk menjelaskan esensi lebaran yang
sesungguhnya kepada umat Islam. Sudah saatnya perbincangan keagamaan di masa
Ramadhan yang semakin jauh dari keprihatinan dan rasa peduli terhadap realitas
sosial dihilangkan. Seharusnya perbincangan tentang taqwa sebagai tujuan akhir
puasa dikemas dalam nuansa yang lebih realistis bahwa kunci menuju takwa adalah
menegakkan keadilan dan menjauhi kedzoliman.
Umat pun harus berbenah
diri dengan senantiasa sadar bahwa Lebaran adalah proklamasi sampainya seorang
manusia pada titik takwa setelah melewati perjuangan melawan nafsu hewani
selama sebulan penuh. Maka, seharusnya ia menjadi lebih adil, lebih beradab dan
lebih bijaksana serta peduli dengan realitas sosial yang masih penuh dengan
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan umat sebagai efek dari sistem sosial
yang timpang dan jauh dari rasa keadilan. Amien. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar