Pemimpin,
Sungkemlah kepada Rakyat
|
Saratri Wilonoyudho ; Dosen Senior Universitas Negeri Semarang,
Anggota Dewan Riset Daerah Jateng
|
JAWA
POS, 21 Agustus 2012
SETIAP Idul
Fitri tiba, biasanya para pejabat penting menyelenggarakan open house, yakni "mengundang" rakyat
datang ke rumah dinasnya untuk bermaaf-maafan. Demikian juga dalam setiap acara
resmi di berbagai kantor, umumnya acara halalbihalal diakhiri dengan saling
meminta maaf. Sekali lagi, biasanya sang pejabat yang paling tinggi pangkatnya
di kantor tersebut akan berdiri di depan dan para bawahan mendatanginya satu
per satu untuk meminta maaf.
Sadar atau tidak, acara semacam itu menunjukkan bahwa secara psikologis, sang pejabat merasa dalam posisi super. Seolah pula dia merasa tidak memiliki kesalahan kepada rakyat atau kepada yang dia pimpin. Padahal, semestinya, sang pejabatlah yang harus turun untuk meminta maaf kepada rakyat atau bawahannya. Logikanya, dia yang diamanahi melayani rakyat, dialah yang lebih banyak berbuat kesalahan, karena posisi rakyat adalah dilayani.
Bagaimana mungkin orang yang dilayani justru diminta datang untuk meminta maaf kepada yang diamanahi untuk melayani? Ini adalah logika terbalik. Hal yang kelihatan sederhana ini, jika tidak dihayati secara benar oleh pejabat, akan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan. Sesungguhnya halalbihalal hanyalah metode silaturahmi setelah setahun sebelumnya berusaha maksimal untuk berbuat kebaikan. Bagi pejabat, kebaikan itu harus lebih banyak wujudnya karena selain diamanahi, dia dibayar dengan gaji dan fasilitas amat mahal.
Salah kaprah ala halalbihalal ini juga tampak dalam setiap kali pemilihan kepala daerah. Para calon umumnya menawarkan diri dengan memajang foto di jalanan, bahkan menggunakan uang (money politic) untuk "memaksa" rakyat mengamanahi dirinya. Logika terbalik ini membawa kepada suasana psikologis bahwa pejabat adalah orang yang harus dihormati (dalam arti posisinya lebih tinggi daripada rakyat).
Mestinya kekuasaan bukan sesuatu yang menyenangkan, namun sebuah amanah dari rakyat. Pertanggungjawabannya tidak hanya kepada rakyat, namun terlebih kepada Tuhan. Kalau rakyat disakiti, Tuhan yang akan marah karena rakyat adalah milik-Nya. Dia mestinya selalu menangis meratapi, apakah sudah berbuat baik kepada yang mengamanahi, yakni rakyat. Kalaupun dia menyelenggarakan open house, itu hanya salah satu teknik untuk mengundang rakyat, dan selanjutnya dia yang mendatangi rakyat satu per satu. Bukan menyuruh mereka mengantre. Dia akan menangis untuk memohon maaf atas pelayanannya selama ini, dan berjanji melayani rakyat dengan lebih baik.
Dengan kata lain, mental pejabat itu mestinya seperti yang digambarkan Cak Nun, yakni memiliki perilaku: Jika musuh datang menyerang, kamu yang paling depan menyongsongnya/Jika rumah kamu terbakar, kamu yang paling belakangan menyelamatkan diri/Jika panen berlimpah, kamu yang paling akhir memakannya.
Itulah pejabat/pemimpin sejati. Kini dalam banyak kasus ungkapan tersebut dibalik. Akibatnya, rakyat sengsara dan banyak pejabat tidak mampu menjadi pemimpin, bahkan ratusan antre masuk bui.
Dalam sejarah hanya sedikit orang yang mampu menjadi pejabat sekaligus pemimpin. Kisah Thomas Jefferson menarik untuk dicermati. Ketika cuaca buruk pada Maret 1809, seorang lelaki tua tampak mengendarai kuda dari Washington. Umurnya 66 tahun, tapi tubuhnya yang jangkung masih gagah -cukup kuat untuk tegak di atas pelana kuda selama delapan jam.
Dia melintasi salju yang merintangi pandang. Dia seharusnya naik kereta. Namun, karena cuaca buruk, berkali-kali roda kereta selip. Padahal, dia sudah tidak sabar lagi ingin segera pulang. Masa jabatannya telah usai. Dia adalah Thomas Jefferson. Dia baru saja merampungkan masa jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat selama delapan tahun yang melelahkan.
Sebenarnya dia dapat dipilih kembali. Namun, penulis Deklarasi Kemerdekaan Amerika, pemikir, sekaligus tokoh politik yang termasyhur di Amerika ini menolak dicalonkan lagi. Padahal, prestasinya hebat. Namun, dia telanjur amat rindu untuk segera ke Montecello, kampung halamannya yang terletak di pedalaman.
Berbeda dengan penggantinya, James Madison, yang tampak gemetar ketika menerima tongkat estafet darinya, Jefferson terlihat santai dan enjoy. Pada pesta di malam harinya, dia begitu antusias berdansa. Padahal, kata orang, sejak istrinya meninggal, dia jarang berdansa. Ketika ditanya mengapa dia begitu gembira, dijawab dengan ringan: Beban itu sekarang telah hilang dari pundakku, dan kini aku mendapatkan sesuatu yang sangat kurindukan, yakni bebas dari borgol kekuasaan. Jefferson kemudian menulis seakan dia mengadili dirinya sendiri, dan kata-kata itu ditulis dengan nada puitis: Bolehkah saya bertanya di hadapan seluruh masyarakat Amerika, sapi siapa yang pernah saya ambil? Siapa yang pernah saya rampas hak-hak pribadinya? Siapa yang pernah saya tindas? Atau siapa yang telah saya terima uangnya hingga mata dan hati saya menjadi tertutup?
Kutipan sejarah dari otobiografi Thomas Jefferson yang ditulis Fawn M. Brodie dalam Thomas Jefferson, An Intimate History (1975), yang dipetik Goenawan Mohamad, ini sangat menyentuh siapa saja yang merindukan bersihnya sebuah kekuasaan; kekuasaan yang melayani.
Banyak orang yang berteriak kegirangan ketika mendapat kekuasaan atau jabatan. Di zaman Orde Baru, Pak Harto punya kebiasaan menelepon para calon menteri. Seperti halnya reality show saat ini, wartawan TV sudah siap di rumah sang calon menteri. Begitu Pak Harto mengumumkan namanya masuk daftar anggota kabinet, melonjaklah dia beserta seluruh keluarga, bersorak, kegirangan seakan menang lotere.
Padahal, mereka yang berkuasa akan dihadang aneka masalah. Karena itu, tidak ada alasan untuk menyambut kekuasaan dengan kata alhamdulillah, melainkan yang tepat adalah innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin. ●
Sadar atau tidak, acara semacam itu menunjukkan bahwa secara psikologis, sang pejabat merasa dalam posisi super. Seolah pula dia merasa tidak memiliki kesalahan kepada rakyat atau kepada yang dia pimpin. Padahal, semestinya, sang pejabatlah yang harus turun untuk meminta maaf kepada rakyat atau bawahannya. Logikanya, dia yang diamanahi melayani rakyat, dialah yang lebih banyak berbuat kesalahan, karena posisi rakyat adalah dilayani.
Bagaimana mungkin orang yang dilayani justru diminta datang untuk meminta maaf kepada yang diamanahi untuk melayani? Ini adalah logika terbalik. Hal yang kelihatan sederhana ini, jika tidak dihayati secara benar oleh pejabat, akan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan. Sesungguhnya halalbihalal hanyalah metode silaturahmi setelah setahun sebelumnya berusaha maksimal untuk berbuat kebaikan. Bagi pejabat, kebaikan itu harus lebih banyak wujudnya karena selain diamanahi, dia dibayar dengan gaji dan fasilitas amat mahal.
Salah kaprah ala halalbihalal ini juga tampak dalam setiap kali pemilihan kepala daerah. Para calon umumnya menawarkan diri dengan memajang foto di jalanan, bahkan menggunakan uang (money politic) untuk "memaksa" rakyat mengamanahi dirinya. Logika terbalik ini membawa kepada suasana psikologis bahwa pejabat adalah orang yang harus dihormati (dalam arti posisinya lebih tinggi daripada rakyat).
Mestinya kekuasaan bukan sesuatu yang menyenangkan, namun sebuah amanah dari rakyat. Pertanggungjawabannya tidak hanya kepada rakyat, namun terlebih kepada Tuhan. Kalau rakyat disakiti, Tuhan yang akan marah karena rakyat adalah milik-Nya. Dia mestinya selalu menangis meratapi, apakah sudah berbuat baik kepada yang mengamanahi, yakni rakyat. Kalaupun dia menyelenggarakan open house, itu hanya salah satu teknik untuk mengundang rakyat, dan selanjutnya dia yang mendatangi rakyat satu per satu. Bukan menyuruh mereka mengantre. Dia akan menangis untuk memohon maaf atas pelayanannya selama ini, dan berjanji melayani rakyat dengan lebih baik.
Dengan kata lain, mental pejabat itu mestinya seperti yang digambarkan Cak Nun, yakni memiliki perilaku: Jika musuh datang menyerang, kamu yang paling depan menyongsongnya/Jika rumah kamu terbakar, kamu yang paling belakangan menyelamatkan diri/Jika panen berlimpah, kamu yang paling akhir memakannya.
Itulah pejabat/pemimpin sejati. Kini dalam banyak kasus ungkapan tersebut dibalik. Akibatnya, rakyat sengsara dan banyak pejabat tidak mampu menjadi pemimpin, bahkan ratusan antre masuk bui.
Dalam sejarah hanya sedikit orang yang mampu menjadi pejabat sekaligus pemimpin. Kisah Thomas Jefferson menarik untuk dicermati. Ketika cuaca buruk pada Maret 1809, seorang lelaki tua tampak mengendarai kuda dari Washington. Umurnya 66 tahun, tapi tubuhnya yang jangkung masih gagah -cukup kuat untuk tegak di atas pelana kuda selama delapan jam.
Dia melintasi salju yang merintangi pandang. Dia seharusnya naik kereta. Namun, karena cuaca buruk, berkali-kali roda kereta selip. Padahal, dia sudah tidak sabar lagi ingin segera pulang. Masa jabatannya telah usai. Dia adalah Thomas Jefferson. Dia baru saja merampungkan masa jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat selama delapan tahun yang melelahkan.
Sebenarnya dia dapat dipilih kembali. Namun, penulis Deklarasi Kemerdekaan Amerika, pemikir, sekaligus tokoh politik yang termasyhur di Amerika ini menolak dicalonkan lagi. Padahal, prestasinya hebat. Namun, dia telanjur amat rindu untuk segera ke Montecello, kampung halamannya yang terletak di pedalaman.
Berbeda dengan penggantinya, James Madison, yang tampak gemetar ketika menerima tongkat estafet darinya, Jefferson terlihat santai dan enjoy. Pada pesta di malam harinya, dia begitu antusias berdansa. Padahal, kata orang, sejak istrinya meninggal, dia jarang berdansa. Ketika ditanya mengapa dia begitu gembira, dijawab dengan ringan: Beban itu sekarang telah hilang dari pundakku, dan kini aku mendapatkan sesuatu yang sangat kurindukan, yakni bebas dari borgol kekuasaan. Jefferson kemudian menulis seakan dia mengadili dirinya sendiri, dan kata-kata itu ditulis dengan nada puitis: Bolehkah saya bertanya di hadapan seluruh masyarakat Amerika, sapi siapa yang pernah saya ambil? Siapa yang pernah saya rampas hak-hak pribadinya? Siapa yang pernah saya tindas? Atau siapa yang telah saya terima uangnya hingga mata dan hati saya menjadi tertutup?
Kutipan sejarah dari otobiografi Thomas Jefferson yang ditulis Fawn M. Brodie dalam Thomas Jefferson, An Intimate History (1975), yang dipetik Goenawan Mohamad, ini sangat menyentuh siapa saja yang merindukan bersihnya sebuah kekuasaan; kekuasaan yang melayani.
Banyak orang yang berteriak kegirangan ketika mendapat kekuasaan atau jabatan. Di zaman Orde Baru, Pak Harto punya kebiasaan menelepon para calon menteri. Seperti halnya reality show saat ini, wartawan TV sudah siap di rumah sang calon menteri. Begitu Pak Harto mengumumkan namanya masuk daftar anggota kabinet, melonjaklah dia beserta seluruh keluarga, bersorak, kegirangan seakan menang lotere.
Padahal, mereka yang berkuasa akan dihadang aneka masalah. Karena itu, tidak ada alasan untuk menyambut kekuasaan dengan kata alhamdulillah, melainkan yang tepat adalah innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar