Jumat, 10 Agustus 2012

Pelajaran dari Bangsa Lain


Pelajaran dari Bangsa Lain
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 10 Agustus 2012

Penegakan kerukunan dan toleransi merupakan suatu keniscayaan bagi kelangsungan demokrasi Pancasila di Republik ini."

ISU SARA yang dihembuskan menjelang pemilu kada DKI putaran kedua dan sweeping tak berketentuan dalam rangka Ramadan di DKI dan sekitarnya menggambarkan lemahnya kerukunan di antara kita. Jakarta sebagai miniatur Indonesia mencerminkan bahwa bangsa yang mengaku memiliki falsafah luhur Pancasila ini belum menunjukkan keutuhan dan solidaritas. Konsep Bhinneka Tunggal Ika baru sebatas cita-cita. Bangkitnya sikap individualistis bisa jadi karena pengaruh globalisasi. Akan tetapi, mungkin juga karakter bangsa ini sejak dahulu memang lemah hingga gampang diombang-ambingkan sejarah.

Pertanyaannya, siapa penentu sejarah? Selain para pemimpin, para pendatang dari luar tentu ikut menentukan. Kita terjajah karena sikap ‘nrimo’ penduduk wilayah ini menghadapi kaum pendatang sejak berabad-abad lalu dari China, India, dan, sejak abad ke-16, dari Barat. Banyak di antara mereka kemudian menetap secara turun-menurun. Mereka datang dengan tradisi dan agama-agama besar ke suatu wilayah yang penduduk aslinya semula menganut paham animisme; tersebar di lebih dari 17 ribu pulau dengan lebih dari 700 bahasa daerah. Pluralisme pun terbentuk.

Kita merdeka karena sekelompok orang kuat berpendidikan Barat mengajak berjuang memerdekakan diri. Kita membangun karena jajaran pimpinan memutuskan untuk menggerakkan pembangunan. Di masa reformasi ini, kita pun selalu menunggu yang diteladankan para pemimpin. Tradisi bangsa ini belum memungkinkan prakarsa bisa datang mentah-mentah dari bawah. Rasanya selalu perlu pengatur dan penganjur karena rendahnya pendidikan masyarakat pada umumnya.

Konstelasi Sosial-Politik

Isu SARA secara berkala mengemuka terutama apabila situasi sosial-politik-ekonomi dirasa membutuhkan. Seperti yang terjadi di banyak negara lain, asimilasi kaum pendatang dengan penduduk setempat memang tidak selancar yang diinginkan cita-cita kebangsaan. Di Myanmar, misalnya, yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, terbukti kaum minoritas, di antaranya umat Islam, mendapat perlakuan diskriminatif.
Pola sosial-politik seperti itu berlaku di banyak negara Asia Tenggara. Di Thailand, yang mayoritas beragama Buddha, umat Islam juga terkucilkan.
 
Begitu pula di Filipina, yang mayoritasnya beragama Katolik. Sebaliknya di Indonesia yang merupakan negara berpenduduk umat Islam terbesar, adakalanya terjadi perlakuan diskriminatif terhadap umat beragama lain, bahkan dari agama sama yang beraliran lain. Gejala-gejala negatif terhadap semangat kebangsaan dan kebersamaan itu sejak awal sudah diperkirakan akan terjadi oleh para pendiri Republik ini. Maka lahirlah Pancasila dan UUD'45.

Bagaimana menegakkan falsafah kita? Itulah yang menjadi pekerjaan rumah kalangan politisi, terutama para pemimpinnya. Maka, tentu tidak masuk akal apabila isu SARA justru dijadikan alat politik. Itu mengingkari cita-cita persatuan dan kesatuan. Komitmen terhadap bangsa dan negara perlu dipertanyakan.

Tradisi Bullying

Myanmar menjadi sorotan masyarakat internasional karena ‘bullying’ oleh mayoritas umat Buddha terhadap minoritas-minoritas dari agama lain. Karena terjadi ketika masyarakat dunia sedang giat-giatnya menyebarkan konsep HAM, itu tentu menjadi sorotan dunia internasional. Bahkan ada wacana untuk mengeluarkan Myanmar dari ASEAN--kelompok negara Asia Tenggara yang bermasyarakat plural sesuai dengan perjalanan sejarah.

Adanya asumsi sikap bullying bukan ciri penduduk asli wilayah tersebut patut dikaji. Kenyataannya, penduduk asli pada dasarnya ramah dan terbuka; terbukti dengan kerelaan mereka menyerap tradisi dan agama-agama besar yang dibawa pendatang, bahkan kerelaan mereka ketika kekayaan wilayah itu dijarah selama berabad-abad.

Sekarang adakalanya masih terjadi bullying di antara kita, khususnya oleh mayoritas terhadap minoritas. Kita patut menggali kembali nilai-nilai asli bangsa ini. Kita juga patut mencari unsur-unsur negatif apa yang berpengaruh dan mengakibatkan terjadinya pengotak-ngotakan--suatu bukti bahwa rasa kebangsaan masih sumir.

Sekadar pembanding, kita ingat ungkapan Kennedy, “Jangan bertanya apa yang dapat dilakukan negara untuk dirimu. Tanyakan apa yang bisa kamu lakukan untuk negerimu.” Dua bersaudara Kennedy, John dan Robert, menjadi pemimpin hebat Amerika Serikat. Namun dua bersaudara beragama Katolik Roma keturunan Irlandia itu tidak serta-merta mendapat dukungan seluruh masyarakat Amerika yang lebih dari separuhnya kaum Protestan (53%), sedangkan umat Katolik Roma hanya sekitar seperempatnya (26%). John F Kennedy, presiden AS beragama Katolik Roma untuk pertama kalinya (1961-1963), menjadi korban pembunuhan di Dallas (1963). Begitu juga adiknya, Robert, ketika dinominasikan Partai Demokrat untuk menjadi calon presiden, menjadi korban pembunuhan di Los Angeles (1968). Apakah mereka korban diskriminasi SARA? Ataukah isu SARA hanya dimanfaatkan? Peristiwaperistiwa itu menjadi noktahnoktah hitam dalam sejarah Amerika.

Pelajaran yang bisa dipetik: isu SARA ada di mana-mana karena selalu ada individu dan kelompok yang ingin memaksakan kehendak; apa pun dalihnya. Sering terjadi, isu SARA dimanfaatkan sebagai alat politik. Demi keutuhan NKRI, janganlah kita melakukan pembiaran terhadap gejala tersebut. Penegakan kerukunan dan toleransi merupakan suatu keniscayaan bagi kelangsungan demokrasi Pancasila di Republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar