Myanmar Masih
seperti Dulu?
|
Wisnu Dewa Brata ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
12 Agustus 2012
Pemerintahan ”sipil” Myanmar
saat ini boleh-boleh saja mengklaim diri jauh lebih reformis dan demokratis
ketimbang pemerintahan masa lalu mereka, terutama ketika junta militer masih
sangat berkuasa.
Sejumlah langkah maju memang
terjadi, mulai dari pembebasan ratusan tahanan politik, pemberian akses dan
kebebasan lebih besar kepada media massa, hingga penyusunan dan pengesahan
beberapa produk undang-undang yang lebih reformis.
Selain itu, dunia juga
mengakui kesuksesan Pemerintah Myanmar menggelar pemilihan umum sela yang
mengantarkan tokoh oposisi dan pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi masuk ke dalam
lembaga parlemen negeri itu.
Sejumlah kesuksesan itu
kemudian mendatangkan sejumlah ”ganjaran” dari dunia internasional. Ganjaran
itu, misalnya, berbentuk penangguhan sanksi ekonomi serta aliran dana investasi
asing ke negeri itu.
Akan tetapi, berbagai
kesuksesan itu seolah menjadi tak berarti begitu pecah insiden kerusuhan
berdarah awal Juni lalu di Rakhine (Arakan), Myanmar barat.
Konflik horizontal pecah dan
melibatkan dua kelompok yang berseteru sejak lama, yakni etnis Arakan dan warga
etnis minoritas Rohingya. Data resmi Pemerintah Myanmar menyebutkan, 80 orang
tewas akibat insiden tersebut.
Selain itu, ribuan rumah,
bangunan, tempat ibadah, dan harta benda lain hangus terbakar. Puluhan ribu
warga dari kedua belah pihak mengungsi ke kamp-kamp pengungsian. Sebagian
kalangan, termasuk organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights
Watch (HRW), meyakini angka korban tewas sebenarnya jauh lebih besar lagi.
Dalam penyelidikannya, HRW
menemukan kondisi jauh lebih mengenaskan yang dialami warga minoritas Rohingya.
Selain mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM, mereka juga
kembali terusir dari Myanmar.
Tak Diakui
Sejak lama warga Rohingya
tak pernah diakui status dan keberadaannya oleh Pemerintah Myanmar. Hal itu
tampak jelas ketika Presiden Myanmar Thein Sein menerima delegasi Komisi Tinggi
Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) yang dipimpin Antonio Guterres, 11 Juli lalu.
Secara terang-terangan Thein
Sein menegaskan bahwa pemerintahannya tidak mengakui keberadaan warga Rohingya
sebagai warga negaranya. Bahkan, tanpa tedeng aling-aling Thein Sein menyebut
keberadaan 800.000 warga Rohingya di negerinya sebagai ”ancaman terhadap
keamanan nasional” Myanmar.
”Mereka, para warga Bengali
(suku di Banglades) itu, masuk Myanmar ketika penjajah Inggris mempekerjakan
mereka di pertanian sebelum negeri kami merdeka tahun 1948. Sesuai hukum kami,
hanya generasi ketiga keturunan para (imigran) Bengali, yang masuk ke Myanmar
sebelum 1948, akan diakui sebagai warga negara,” ujar Thein Sein.
Thein Sein bahkan seolah
”menantang” dengan mempersilakan UNHCR mengambil alih keberadaan ratusan ribu
warga Rohingya. Dia mempersilakan UNHCR menampung lalu mencarikan negara ketiga
yang bersedia menerima mereka menjadi warga negara.
Dengan sikap seperti itu,
tak mengherankan jika dalam kerusuhan bernuansa sektarian tersebut warga
Rohingya menjadi pihak yang sangat menderita dan terusir dari Myanmar. Mereka
melarikan diri ke negara tetangga, Banglades.
”Dalam kerusuhan kemarin,
Pemerintah (Myanmar) gagal hadir dan menjalankan tugasnya menghadirkan
kepastian hukum dan ketertiban,” ujar Wakil Direktur Asia HRW Phil Robertson
dalam jumpa pers di Perpustakaan Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat,
Jumat (10/8).
Aparat Myanmar, kata
Robertson, dilaporkan menembaki warga sipil Rohingya bahkan memobilisasi warga
Arakan untuk mengejar, menangkap, menyiksa, memerkosa, bahkan membunuh warga
Rohingya. Banyak saksi menyebut truk-truk aparat keamanan justru mengangkut
warga sipil Rakhine bersenjata.
Robertson juga menyoroti
diskriminasi yang dilakukan kepolisian Myanmar dalam menangani akar persoalan
pemicu kerusuhan. Polisi menangkap tiga pelaku kriminal yang merampok,
memerkosa, dan membunuh seorang perempuan etnis Arakan di kota Ramri, 28 Mei,
yang kemudian menjadi awal kerusuhan.
Dua dari tiga pelaku
dijatuhi hukuman mati, sementara seorang lagi disebut-sebut tewas bunuh diri.
Namun, langkah hukum serupa tak dilakukan terhadap ratusan warga etnis Arakan
yang terlibat dalam amuk massa di kota Toungop, 3 Juni.
Saat itu ratusan warga etnis
Arakan yang mengamuk mencegat sebuah bus lalu menyeret keluar 10 warga
minoritas lalu memukuli mereka secara brutal hingga tewas. Dua kejadian itu
yang kemudian memicu kerusuhan besar-besaran di Sittwe, ibu kota Rakhine, dan
kota Maungdaw, 8-9 Juni.
Dari kronologi itu, tambah
Robertson, aparat keamanan terlihat tak mampu mengatasi dan meredam konflik
yang terjadi. Belakangan diketahui mereka malah terlibat aktif menjadi pelaku
pelanggaran HAM atas warga Rohingya, terutama ketika pasukan paramiliter NaSaKa
ikut diterjunkan ke lapangan.
Peraturan Diskriminatif
Sikap penolakan dan
ketidakpedulian yang ditunjukkan Thein Sein saat bertemu Guterres ironisnya
justru secara legal dilindungi sebuah aturan perundang-undangan tentang
kewarganegaraan Myanmar tahun 1982.
Dalam UU itu dinyatakan,
seseorang atau kelompok etnis hanya diakui sebagai warga asli Myanmar dan
berhak atas status kewarganegaraan hanya jika bisa membuktikan mereka punya
nenek moyang yang tinggal dan hidup di wilayah Myamar sejak tahun 1823.
Ketentuan tersebut
menetapkan 135 etnis di Myanmar diakui sebagai penduduk dan warga asli Myanmar. Jumlah itu lebih
sedikit dibandingkan ketentuan serupa yang diatur dalam produk hukum pemerintah
sebelumnya, yakni 144 etnis.
Dalam UU tahun 1982 itu,
etnis Rohingya dan beberapa etnis minoritas lain, seperti Panthay, Ba Shu, dan
enam etnis lainnya tidak diakui.
Produk hukum itu dihasilkan
di masa junta militer masih sangat berkuasa. Jauh sebelum UU itu dibuat dan
disahkan, Pemerintah Myanmar juga berkali-kali mengeluarkan kebijakan keras
terhadap warga Rohingya yang mengarah pada pelanggaran HAM berat dengan tujuan
mengusir mereka keluar dari Myanmar.
Kebijakan itu berdampak
sangat mengerikan terhadap warga Rohingya. Lantaran keberadaan mereka tak
diakui, warga Rohingya kehilangan banyak hak dasar sebagai warga negara,
seperti hak mendapat atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan
kesejahteraan.
Kehidupan warga Rohingya pun
sangat dibatasi. Mereka dilarang menikah tanpa mengantongi izin resmi. Setelah
menikah, mereka tidak diperbolehkan punya anak lebih dari dua orang. Mobilitas
warga Rohingya juga sangat dibatasi dan tidak memiliki paspor.
Dengan status mereka itu,
anak-anak Rohingya juga kehilangan hak dan akses terhadap pendidikan serta
kesehatan.
Tak heran, dengan kondisi
seperti itu, UNHCR mengategorikan Rohingnya sebagai etnis minoritas paling
teraniaya di dunia.
Semua itu menunjukkan,
konflik yang melibatkan warga etnis Rohingya bukanlah konflik sektarian
antaretnis ataupun antar-pemeluk agama tertentu.
Berbagai bentuk kekejaman,
diskriminasi, serta pengusiran yang dialami warga Rohingya dilakukan secara
konsisten dan sistematis oleh Pemerintah Myanmar, bahkan di bawah kepemimpinan
Presiden Thein Sein yang sebelumnya dipuji reformis dan progresif.
Boleh jadi, dalam masalah
Rohingya ini, Pemerintah Myanmar memang belum berubah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar