Moral Ekonomi
Korupsi
|
Amich Alhumami ; PhD Bidang
Antropologi Sosial dari University of Sussex, Inggris; Bekerja di Bappenas
|
SINDO,
22 Agustus 2012
Tak terbantahkan,korupsi sudah menjadi epidemi politik karena
terjadi secara sistematis, terstruktur, dan berulang-ulang.
Praktik korupsi menjelma dalam bentuk persekongkolan antara
aktor-aktor yang memangku kekuasaan di semua cabang pemerintahan dan
aktor-aktor swasta (pebisnis, makelar proyek). Korupsi berlangsung dalam suatu
relasi kuasa untuk kepentingan ekonomi-politik, memobilisasi sumber daya
ekonomi guna memperebutkan posisi dan kekuasaan politik. Meski sudah tak
terhitung lagi pelaku korupsi—mulai dari pejabat rendahan sampai pejabat tinggi
setingkat (mantan) menteri— yang dikirim ke bui, namun ancaman penjara tak
membuat ciut nyali para koruptor untuk menggangsir uang negara.
Selama ini, diskusi publik yang membahas mengenai masalah korupsi lebih menggunakan pendekatan hukum. Karena itu,korupsi semata-mata dilihat sebagai tindakan kejahatan luar biasa, sehingga cara penanganannya pun berpijak pada perspektif legalistik. Ilmu antropologi menawarkan perspektif lain dalam mengkaji dan menganalisis masalah korupsi, yang selama ini luput dari observasi para ahli hukum, pengamat sosial, dan aktivis antikorupsi.
Mereka melihat praktik korupsi dengan mendasarkan pada prosecutorial approach and legal sanction semata. Korupsi mengakar sangat kuat dalam struktur kekuasaan negara dan mengalami pelembagaan di dalam birokrasi pemerintahan dan badan-badan politik negara. Hal ini terjadi karena praktik korupsi mengandung suatu nilai yang sangat fundamental: moral ekonomi. Moral ekonomi adalah konsep klasik yang menjadi tema kajian akademis dalam ilmu antropologi ekonomi dan sosiologi ekonomi.
Moral ekonomi merujuk pada suatu tradisi kuno yang dianut oleh dan berlaku di dalam masyarakat prakapitalis. Pada masyarakat prakapitalis, kegiatan ekonomi berlangsung dalam suatu komunitas kecil dan terbatas, yang ditopang oleh jaringan sosial yang sangat kuat dan hubungan personal yang hangat. Moral ekonomi yang mendasari aktivitas ekonomi dalam masyarakat pra-kapitalis merujuk pada norma-norma etik yang berbasis pada tiga hal pokok yang saling berkaitan: mutuality, reciprocity, solidarity.
Kegiatan ekonomi dalam masyarakat pra-kapitalis bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bersama dan memberikan kemanfaatan timbalbalik di antara sesama warga masyarakat. Ini dilakukan dalam rangka merawat dan memperkuat solidaritas sosial,yang dibangun di atas landasan nilai dan spirit saling tolong-menolong antarwarga. Karena itu, seluruh aktivitas ekonomi digerakkan dengan menggunakan jaringan patronase terutama dalam dua hal: (1) mengalokasikan sumber daya ekonomi dan (2) memberi proteksi agar sumber daya ekonomi hanya berputar pada lingkaran anggota jaringan saja.
Melalui jaringan patronase, pihak-pihak yang memperoleh keuntungan finansial dan manfaat sosial dari kegiatan perekonomian adalah orang-orang yang punya hubungan dengan penguasa sumber daya ekonomi dan mereka yang berada dalam lingkaran paling dekat dengan sangpatron. Dalam kajian antropologi ekonomi, pendekatan demikian lazim disebut patronage allocation and protection over economic resources. Moral ekonomi yang berlaku di masyarakat pra-kapitalis ini ditransformasikan ke dalam praktik korupsi, yang berselubung pengelolaan proyekproyek pembangunan yang bersumber dari anggaran negara (state-funded development projects).
Simaklah, praktikkorupsi berlangsung dalam suatu relasikuasa yang amat kompleks, berlapis-lapis, berpola sama, dan melibatkan segi-tiga hubungan antara pihak-pihak yang saling membutuhkan. Pertama, pejabat negara/birokrat selaku pembuat kebijakan publik dan pengusul anggaran pembangunan. Kedua, anggota DPR selaku penentu dan pemberi persetujuan anggaran pembangunan yang tertuang dalam APBN. Ketiga, pebisnis yang berkepentingan mendapatkan proyek-proyek pembangunan yang didanai APBN.
Relasi-kuasa antara ketiga pihak ini sepenuhnya bersifat transaksional untuk kepentingan ekonomi-bisnis-politik. Pola hubungan antara ketiga pihak ini sangat eksklusif, tertutup, dan personal, sehingga hanya dapat ditembus oleh orang-orang yang punya akses ke dalam lingkaran jaringan saja. Relasi individual dalam jaringan dibangun dengan pola patron-clientage: politisi/pejabat negara—selaku patron— yang punya akses ke sumber daya ekonomi (baca: proyek APBN) mendistribusikannya ke klien-klien mereka: para pebisnis. Mereka lalu berbagi economic dividend dalam bentuk uang pelicin, uang terima kasih, uang lelah, dan aneka sebutan lain.
Mereka pun berupaya saling melindungi agar praktik korupsi dengan pola seperti ini tidak terendus oleh masyarakat, terutama pekerja media massa, aktivis antikorupsi, dan terlebih lagi KPK. Jaringan para pelaku korupsi berlapis-lapis dengan strategi pengamanan yang superketat. Bahkan jika pun salah satu pelaku tertangkap oleh aparat penegak hukum, proses peradilan belum tentu mampu menembus aktor utama dan membongkar tuntas mata rantai jaringan dalam praktik korupsi.
Jadi, praktik korupsi mengandung moral ekonomi dalam bentuk: (i) keuntungan finansial bersama, (ii) jaringan patronase yang kuat dan terproteksi, dan (iii) solidaritas antaranggota jaringan yang kokoh. Kesemuanya ini kemudian dijadikan modal untuk mengakumulasi kekuasaan dalam rangka merambah dan memperluas praktik korupsi. Contoh paling nyata adalah megaskandal korupsi Wisma Atlet dan Hambalang, yang melibatkan aktor-aktor politik pemangku kekuasaan.
Dengan moral ekonomi yang melekat, praktik korupsi akan menjadi fenomena abadi alias berlangsung sepanjang masa. Tanpa memahami dan mendalami makna esensial moral ekonomi dalam praktik korupsi, pemberantasan korupsi hanya akan berkutat pada tindakan rutin penangkapan dan proses pengadilan para koruptor yang bernasib sial belaka. Namun, ikhtiar ini tidak akan mampu membendung lahirnya koruptor- koruptor baru. ●
Selama ini, diskusi publik yang membahas mengenai masalah korupsi lebih menggunakan pendekatan hukum. Karena itu,korupsi semata-mata dilihat sebagai tindakan kejahatan luar biasa, sehingga cara penanganannya pun berpijak pada perspektif legalistik. Ilmu antropologi menawarkan perspektif lain dalam mengkaji dan menganalisis masalah korupsi, yang selama ini luput dari observasi para ahli hukum, pengamat sosial, dan aktivis antikorupsi.
Mereka melihat praktik korupsi dengan mendasarkan pada prosecutorial approach and legal sanction semata. Korupsi mengakar sangat kuat dalam struktur kekuasaan negara dan mengalami pelembagaan di dalam birokrasi pemerintahan dan badan-badan politik negara. Hal ini terjadi karena praktik korupsi mengandung suatu nilai yang sangat fundamental: moral ekonomi. Moral ekonomi adalah konsep klasik yang menjadi tema kajian akademis dalam ilmu antropologi ekonomi dan sosiologi ekonomi.
Moral ekonomi merujuk pada suatu tradisi kuno yang dianut oleh dan berlaku di dalam masyarakat prakapitalis. Pada masyarakat prakapitalis, kegiatan ekonomi berlangsung dalam suatu komunitas kecil dan terbatas, yang ditopang oleh jaringan sosial yang sangat kuat dan hubungan personal yang hangat. Moral ekonomi yang mendasari aktivitas ekonomi dalam masyarakat pra-kapitalis merujuk pada norma-norma etik yang berbasis pada tiga hal pokok yang saling berkaitan: mutuality, reciprocity, solidarity.
Kegiatan ekonomi dalam masyarakat pra-kapitalis bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bersama dan memberikan kemanfaatan timbalbalik di antara sesama warga masyarakat. Ini dilakukan dalam rangka merawat dan memperkuat solidaritas sosial,yang dibangun di atas landasan nilai dan spirit saling tolong-menolong antarwarga. Karena itu, seluruh aktivitas ekonomi digerakkan dengan menggunakan jaringan patronase terutama dalam dua hal: (1) mengalokasikan sumber daya ekonomi dan (2) memberi proteksi agar sumber daya ekonomi hanya berputar pada lingkaran anggota jaringan saja.
Melalui jaringan patronase, pihak-pihak yang memperoleh keuntungan finansial dan manfaat sosial dari kegiatan perekonomian adalah orang-orang yang punya hubungan dengan penguasa sumber daya ekonomi dan mereka yang berada dalam lingkaran paling dekat dengan sangpatron. Dalam kajian antropologi ekonomi, pendekatan demikian lazim disebut patronage allocation and protection over economic resources. Moral ekonomi yang berlaku di masyarakat pra-kapitalis ini ditransformasikan ke dalam praktik korupsi, yang berselubung pengelolaan proyekproyek pembangunan yang bersumber dari anggaran negara (state-funded development projects).
Simaklah, praktikkorupsi berlangsung dalam suatu relasikuasa yang amat kompleks, berlapis-lapis, berpola sama, dan melibatkan segi-tiga hubungan antara pihak-pihak yang saling membutuhkan. Pertama, pejabat negara/birokrat selaku pembuat kebijakan publik dan pengusul anggaran pembangunan. Kedua, anggota DPR selaku penentu dan pemberi persetujuan anggaran pembangunan yang tertuang dalam APBN. Ketiga, pebisnis yang berkepentingan mendapatkan proyek-proyek pembangunan yang didanai APBN.
Relasi-kuasa antara ketiga pihak ini sepenuhnya bersifat transaksional untuk kepentingan ekonomi-bisnis-politik. Pola hubungan antara ketiga pihak ini sangat eksklusif, tertutup, dan personal, sehingga hanya dapat ditembus oleh orang-orang yang punya akses ke dalam lingkaran jaringan saja. Relasi individual dalam jaringan dibangun dengan pola patron-clientage: politisi/pejabat negara—selaku patron— yang punya akses ke sumber daya ekonomi (baca: proyek APBN) mendistribusikannya ke klien-klien mereka: para pebisnis. Mereka lalu berbagi economic dividend dalam bentuk uang pelicin, uang terima kasih, uang lelah, dan aneka sebutan lain.
Mereka pun berupaya saling melindungi agar praktik korupsi dengan pola seperti ini tidak terendus oleh masyarakat, terutama pekerja media massa, aktivis antikorupsi, dan terlebih lagi KPK. Jaringan para pelaku korupsi berlapis-lapis dengan strategi pengamanan yang superketat. Bahkan jika pun salah satu pelaku tertangkap oleh aparat penegak hukum, proses peradilan belum tentu mampu menembus aktor utama dan membongkar tuntas mata rantai jaringan dalam praktik korupsi.
Jadi, praktik korupsi mengandung moral ekonomi dalam bentuk: (i) keuntungan finansial bersama, (ii) jaringan patronase yang kuat dan terproteksi, dan (iii) solidaritas antaranggota jaringan yang kokoh. Kesemuanya ini kemudian dijadikan modal untuk mengakumulasi kekuasaan dalam rangka merambah dan memperluas praktik korupsi. Contoh paling nyata adalah megaskandal korupsi Wisma Atlet dan Hambalang, yang melibatkan aktor-aktor politik pemangku kekuasaan.
Dengan moral ekonomi yang melekat, praktik korupsi akan menjadi fenomena abadi alias berlangsung sepanjang masa. Tanpa memahami dan mendalami makna esensial moral ekonomi dalam praktik korupsi, pemberantasan korupsi hanya akan berkutat pada tindakan rutin penangkapan dan proses pengadilan para koruptor yang bernasib sial belaka. Namun, ikhtiar ini tidak akan mampu membendung lahirnya koruptor- koruptor baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar