Melawan Korupsi
di Hari Fitri
|
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia,
Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM
|
SINDO,
22 Agustus 2012
Ikhtiar melawan korupsi harus terus digalakkan, kapanpun,
dimanapun. Maka, sambil mudik lebaran di Banjarbaru (Kalsel), sambil menuju
hari fitri yang suci, saya kirimkan pesan antikorupsi melalui twitter.
Beberapa tanggapan mengatakan, topiknya terlalu berat untuk hari
lebaran. Namun mayoritas sepakat, justru di hari fitri, ikhtiar antikorupsi
lebih layak digaungkan. Tetapi, media twitter
140 karakter tentu ruang yang sempit untuk menjelaskan seluruh gagasan
antikorupsi. Maka, untuk menghindari kesalahpahaman yang timbul, izinkan saya menuliskannya
dalam kolom Novum kali ini. Banyak
yang merespon topik tweet saya
tentang advokat yang membela kasus korupsi, bisa terjebak menjadi koruptor itu
sendiri.
Lebih banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang mengatakan saya menyerang profesi advokat dan melakukan generalisasi. Respons yang negatif tersebut lebih karena maksud saya, sengaja ataupun tidak, disalahpahami. Ketika saya menulis advokat yang membela kasus korupsi dapat menjadi koruptor itu sendiri, sederhananya yang saya maksud adalah, “oknum advokat yang maju tak gentar membela yang bayar”. Maka, saya tidak memaksudkan seluruh advokat, apalagi mengkritik profesi advokat yang sangat terhormat.
Karenanya, saya mendefinisikan oknum advokat korup tersebut minimal dengan dua batasan. Sayangnya, batasan yang saya berikan dengan sengaja tidak dibaca utuh, sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Dua batasan itu adalah, oknum advokat yang membela membabi-buta; dan oknum advokat yang tanpa malu menerima saja bayaran dari uang hasil korupsi. Membela membabi buta yang saya maksudkan adalah menutupi kesalahan klien, dengan berbagai dalih, dengan berbagai cara.
Padahal tindakan koruptif klien sudah sangat jelas, sudah sangat terang-benderang. Tidak jarang sang klien tertangkap tangan, tertangkap basah menerima uang suap, dengan fakta dan bukti yang tak terbantahkan, namun pembelaan yang dilakukan tetap menyatakan sang klien tidak bersalah dan menuntut divonis bebas. Pola hubungan yang tidak sehat demikian adalah bentuk malpraktik oleh oknum advokat.
Sebagaimana malpraktik yang juga terjadi di profesi lain, misalnya dilakukan oknum konsultan politik yang menerima bayaran untuk merekayasa hasil polling untuk kepentingan kliennya dalam pemilu. Hal demikian, di negara yang penegakan hukumnya sudah lebih baik, tidak dapat ditoleransi. Pelanggaran etika demikian dapat berujung dengan dicabutnya izin sang oknum advokat. Bahkan terkait legal fee yang diterimanya, sang oknum advokat dapat saja dijerat dengan tindak pidana pencucian uang. Agar lebih jelas, izinkan saya menceritakan pengalaman pribadi berikut.
Saya sendiri pernah menjadi advokat. Pernah pula datang calon klien yang ayahnya terjerat kasus korupsi. Kepada sang anak, saya minta diceritakan secara rinci dan sejujurnya kasus yang menjerat ayahnya. Setelah mendengarkan dengan seksama, saya katakan, “Saya bersedia menjadi advokat ayahmu, dengan dua syarat. Pertama, menurut saya ayahmu memang korupsi. Maka saya akan bela, jika di persidangan dia mengakui secara jujur telah melakukan korupsi. Kedua, pembelaan saya tidak boleh dibayar. Saya akan membela maksimal agar ada pengurangan hukuman, namun secara gratis.
”Dapat diduga, sang anak kemudian tidak mau meminta saya menjadi advokat ayahnya. Dia pergi bersama uang yang telah direncanakan untuk membayar jasa advokasi saya. Tentang tidak menangani kasus korupsi, saya tahu persis beberapa advokat yang juga memegang prinsip yang sama. Mereka tidak mau sembarangan menangani kasus korupsi, atau bahkan tidak mau sama sekali menangani kasus korupsi. Sikap demikian bukanlah pelanggaran kode etik advokat, yang sering diargumenkan tidak boleh menolak kasus yang datang padanya. Argumen demikian tidaklah tepat, bahkan menyesatkan.
Jika kita tahu klien kita misalnya tertangkap tangan korupsi, dia pun misalnya mengakui memang korupsi, namun meminta untuk dibela bebas dari hukuman, biasanya dengan iming-iming bayaran yang mahal, maka sang advokat justru wajib untuk tidak menangani kasus tersebut. Itulah etika profesi advokat yang sangat terhormat dan wajib dijunjung tinggi. Pelanggaran atas kode etik demikian sebenarnya dapat dihukum dengan pencabutan izin advokatnya, atau bahkan dijerat dengan tindak pidana pencucian uang.
Karena, dengan sadar maju tak gentar membela yang bayar, padahal uang yang digunakan untuk membayar adalah uang hasil korupsi. Etika itulah yang minim diterapkan dalam beberapa kasus korupsi kita, sehingga yang muncul adalah relasi advokat-klien minus etika. Lebih jauh tidak hanya dalam relasi advokat-klien, di negara maju, etika juga dijaga ketat untuk saksi ahli yang memberikan pendapatnya.
Seorang ahli sebelum menyampaikan pendapat ahlinya harus mendapatkan kasus posisi dan fakta kasusnya (statement of facts), pertanyaan yang harus dijawab, perjanjian saksi ahli (engagement letter) dan menandatangani kode etik selaku ahli (code of conduct).Pelanggaran atas kode etik tidak hanya menyebabkan pendapat ahlinya akan diabaikan, ahli yang bersangkutan bisa saja dijerat sanksi pidana karena memberikan keterangan ahli bohong, atau menghalangi proses hukum (obstruction of justice).
Perhatikan perbedaannya dengan sistem kita yang masih sangat longgar mengatur kode etik para ahli, sehingga tidak jarang “pendapat ahlinya sesuai pendapatan” atau dalam bahasa Prof. Moh.Mahfud MD, “logika ahlinya sesuai logistik”. Jadi, mestinya jelas, tidak benar saya mengkritik profesi advokat. Saya justru sedang berusaha menjaga kehormatan profesi advokat dari ulah beberapa oknum advokat yang melakukan malpraktik secara koruptif. Tidak benar juga saya menolak tersangka kasus korupsi untuk didampingi pembela hukum.
Saya sendiri, pernah menawarkan diri untuk menjadi advokat kasus korupsi, tapi dengan dua syarat tersebut: sang tersangka mengakui kesalahannya telah korupsi; dua, jasa advokasi saya tidak dibayar. Itulah twit saya terkait advokat, di samping itu, saya juga mengirimkan twit lain, terkait remisi bagi terpidana korupsi. Banyak yang menyayangkan pemberian remisi tersebut, karena dianggap tidak sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi. Memang situasinya tidak mudah.
Sebenarnya, agenda pertama kemenkumham dibawah pimpinan Menteri Amir Syamsudin adalah melakukan pengetatan pemberian hak-hak napi dengan kejahatan luar biasa, termasuk korupsi. Namun, sebagaimana diketahui, kebijakan itu kemudian mendapatkan tantangan dari berbagai kalangan. Termasuk ada beberapa terpidana korupsi —dengan dibantu advokat Yusril Ihza Mahendra— menggugat pembatalan pembebasan bersyarat mereka di PTUN Jakarta. Gugatan itu mereka menangkan.
Kemenangan itu tentunya berdampak signifikan atas dasar hukum kebijakan pengetatan. Maka, kami kemudian kembali fokus kepada perubahan aturan main terkait hak-hak napi, yang sebelum gugatan tersebut dikabulkan juga telah dipersiapkan. Saat ini, ada triple track strategies perubahan aturan untuk memperkuat kebijakan pengetatan. Pertama adalah perubahan UU Pemasyarakatan, kedua perubahan PP 28 tahun 2006 tentang hak-hak napi, serta penyempurnaan seluruh SOP pemasyarakatan— termasuk yang terkait dengan hak-hak napi. Namun karena proses penyempurnaan peraturan tersebut masih belum selesai, maka untuk 17 Agustus tahun ini, serta perayaan Idul Fitri saat ini, remisi masih diberikan berdasarkan aturan hukum yang lama.
Jadi, jelaslah kemenkumham masih terus memperjuangkan kebijakan pengetatan, tetapi tantangan dan tentangannya memang tidak pernah mudah. Untuk itulah dimanapun, kapanpun perlawanan antikorupsi harus terus diikhtiarkan. Tidak terkecuali disaat peringatan hari Idul Fitri sekalipun. Untuk Indonesia yang lebih baik. Untuk Indonesia yang lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Lebih banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang mengatakan saya menyerang profesi advokat dan melakukan generalisasi. Respons yang negatif tersebut lebih karena maksud saya, sengaja ataupun tidak, disalahpahami. Ketika saya menulis advokat yang membela kasus korupsi dapat menjadi koruptor itu sendiri, sederhananya yang saya maksud adalah, “oknum advokat yang maju tak gentar membela yang bayar”. Maka, saya tidak memaksudkan seluruh advokat, apalagi mengkritik profesi advokat yang sangat terhormat.
Karenanya, saya mendefinisikan oknum advokat korup tersebut minimal dengan dua batasan. Sayangnya, batasan yang saya berikan dengan sengaja tidak dibaca utuh, sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Dua batasan itu adalah, oknum advokat yang membela membabi-buta; dan oknum advokat yang tanpa malu menerima saja bayaran dari uang hasil korupsi. Membela membabi buta yang saya maksudkan adalah menutupi kesalahan klien, dengan berbagai dalih, dengan berbagai cara.
Padahal tindakan koruptif klien sudah sangat jelas, sudah sangat terang-benderang. Tidak jarang sang klien tertangkap tangan, tertangkap basah menerima uang suap, dengan fakta dan bukti yang tak terbantahkan, namun pembelaan yang dilakukan tetap menyatakan sang klien tidak bersalah dan menuntut divonis bebas. Pola hubungan yang tidak sehat demikian adalah bentuk malpraktik oleh oknum advokat.
Sebagaimana malpraktik yang juga terjadi di profesi lain, misalnya dilakukan oknum konsultan politik yang menerima bayaran untuk merekayasa hasil polling untuk kepentingan kliennya dalam pemilu. Hal demikian, di negara yang penegakan hukumnya sudah lebih baik, tidak dapat ditoleransi. Pelanggaran etika demikian dapat berujung dengan dicabutnya izin sang oknum advokat. Bahkan terkait legal fee yang diterimanya, sang oknum advokat dapat saja dijerat dengan tindak pidana pencucian uang. Agar lebih jelas, izinkan saya menceritakan pengalaman pribadi berikut.
Saya sendiri pernah menjadi advokat. Pernah pula datang calon klien yang ayahnya terjerat kasus korupsi. Kepada sang anak, saya minta diceritakan secara rinci dan sejujurnya kasus yang menjerat ayahnya. Setelah mendengarkan dengan seksama, saya katakan, “Saya bersedia menjadi advokat ayahmu, dengan dua syarat. Pertama, menurut saya ayahmu memang korupsi. Maka saya akan bela, jika di persidangan dia mengakui secara jujur telah melakukan korupsi. Kedua, pembelaan saya tidak boleh dibayar. Saya akan membela maksimal agar ada pengurangan hukuman, namun secara gratis.
”Dapat diduga, sang anak kemudian tidak mau meminta saya menjadi advokat ayahnya. Dia pergi bersama uang yang telah direncanakan untuk membayar jasa advokasi saya. Tentang tidak menangani kasus korupsi, saya tahu persis beberapa advokat yang juga memegang prinsip yang sama. Mereka tidak mau sembarangan menangani kasus korupsi, atau bahkan tidak mau sama sekali menangani kasus korupsi. Sikap demikian bukanlah pelanggaran kode etik advokat, yang sering diargumenkan tidak boleh menolak kasus yang datang padanya. Argumen demikian tidaklah tepat, bahkan menyesatkan.
Jika kita tahu klien kita misalnya tertangkap tangan korupsi, dia pun misalnya mengakui memang korupsi, namun meminta untuk dibela bebas dari hukuman, biasanya dengan iming-iming bayaran yang mahal, maka sang advokat justru wajib untuk tidak menangani kasus tersebut. Itulah etika profesi advokat yang sangat terhormat dan wajib dijunjung tinggi. Pelanggaran atas kode etik demikian sebenarnya dapat dihukum dengan pencabutan izin advokatnya, atau bahkan dijerat dengan tindak pidana pencucian uang.
Karena, dengan sadar maju tak gentar membela yang bayar, padahal uang yang digunakan untuk membayar adalah uang hasil korupsi. Etika itulah yang minim diterapkan dalam beberapa kasus korupsi kita, sehingga yang muncul adalah relasi advokat-klien minus etika. Lebih jauh tidak hanya dalam relasi advokat-klien, di negara maju, etika juga dijaga ketat untuk saksi ahli yang memberikan pendapatnya.
Seorang ahli sebelum menyampaikan pendapat ahlinya harus mendapatkan kasus posisi dan fakta kasusnya (statement of facts), pertanyaan yang harus dijawab, perjanjian saksi ahli (engagement letter) dan menandatangani kode etik selaku ahli (code of conduct).Pelanggaran atas kode etik tidak hanya menyebabkan pendapat ahlinya akan diabaikan, ahli yang bersangkutan bisa saja dijerat sanksi pidana karena memberikan keterangan ahli bohong, atau menghalangi proses hukum (obstruction of justice).
Perhatikan perbedaannya dengan sistem kita yang masih sangat longgar mengatur kode etik para ahli, sehingga tidak jarang “pendapat ahlinya sesuai pendapatan” atau dalam bahasa Prof. Moh.Mahfud MD, “logika ahlinya sesuai logistik”. Jadi, mestinya jelas, tidak benar saya mengkritik profesi advokat. Saya justru sedang berusaha menjaga kehormatan profesi advokat dari ulah beberapa oknum advokat yang melakukan malpraktik secara koruptif. Tidak benar juga saya menolak tersangka kasus korupsi untuk didampingi pembela hukum.
Saya sendiri, pernah menawarkan diri untuk menjadi advokat kasus korupsi, tapi dengan dua syarat tersebut: sang tersangka mengakui kesalahannya telah korupsi; dua, jasa advokasi saya tidak dibayar. Itulah twit saya terkait advokat, di samping itu, saya juga mengirimkan twit lain, terkait remisi bagi terpidana korupsi. Banyak yang menyayangkan pemberian remisi tersebut, karena dianggap tidak sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi. Memang situasinya tidak mudah.
Sebenarnya, agenda pertama kemenkumham dibawah pimpinan Menteri Amir Syamsudin adalah melakukan pengetatan pemberian hak-hak napi dengan kejahatan luar biasa, termasuk korupsi. Namun, sebagaimana diketahui, kebijakan itu kemudian mendapatkan tantangan dari berbagai kalangan. Termasuk ada beberapa terpidana korupsi —dengan dibantu advokat Yusril Ihza Mahendra— menggugat pembatalan pembebasan bersyarat mereka di PTUN Jakarta. Gugatan itu mereka menangkan.
Kemenangan itu tentunya berdampak signifikan atas dasar hukum kebijakan pengetatan. Maka, kami kemudian kembali fokus kepada perubahan aturan main terkait hak-hak napi, yang sebelum gugatan tersebut dikabulkan juga telah dipersiapkan. Saat ini, ada triple track strategies perubahan aturan untuk memperkuat kebijakan pengetatan. Pertama adalah perubahan UU Pemasyarakatan, kedua perubahan PP 28 tahun 2006 tentang hak-hak napi, serta penyempurnaan seluruh SOP pemasyarakatan— termasuk yang terkait dengan hak-hak napi. Namun karena proses penyempurnaan peraturan tersebut masih belum selesai, maka untuk 17 Agustus tahun ini, serta perayaan Idul Fitri saat ini, remisi masih diberikan berdasarkan aturan hukum yang lama.
Jadi, jelaslah kemenkumham masih terus memperjuangkan kebijakan pengetatan, tetapi tantangan dan tentangannya memang tidak pernah mudah. Untuk itulah dimanapun, kapanpun perlawanan antikorupsi harus terus diikhtiarkan. Tidak terkecuali disaat peringatan hari Idul Fitri sekalipun. Untuk Indonesia yang lebih baik. Untuk Indonesia yang lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar