Lebaran Egaliter
|
M Bashori Muchsin ; Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang, Penulis buku ‘Pendidikan
Islam Kontemporer’
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Agustus 2012
LEBARAN merupakan pekan strategis yang mempertemukan golongan alit dan elite. Kedua kekuatan sosial
itu berbaur dalam kultur bersalaman, bertegur sapa, bertukar berita, membagi
riwayat perjalanan hidup, atau saling mengungkap agenda sejarah pergulatan
mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Masalahnya, kita masih sering bertanya, apakah komunitas elite dan
alit mampu mewujudkan konstruksi sosial yang benar-benar harmonis, menyemaikan
kenyamanan, dan menguatkan keinklusifan? Mampukah kedahsyatan dampak sosial
kesenjangan gaya hidup yang diniscayakan menyulut terjadinya kekacauan,
kriminalitas, dan booming pola-pola
destruktif di tengah masyarakat dapat dicegah dengan pola mengawinkan komunitas
elite dan ‘wong alit’?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Turmudzi dan Ahmad
diceritakan, ketika Allah menciptakan bumi, planet kita ini bergetar, lalu
Allah menciptakan gunung dengan kekuatan yang diberikan kepadanya. Ternyata
bumi pun terdiam. Para malaikat akhirnya kagum atas penciptaan gunung tersebut.
Malaikat bertanya, “Ya Allah, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu
yang lebih kuat daripada gunung?” Allah menjawab, “Ada, yaitu besi.” Malaikat
bertanya lagi, “Ya Allah, adakah yang lebih kuat daripada besi?” Allah
menjawab, “Ada, yaitu api, besi dapat meleleh kalau dipanaskan.” Para malaikat
bertanya lagi, “Adakah yang lebih kuat daripada api?” Allah menjawab, “Ada,
yaitu air, api akan padam kalau disiram air.”
Malaikat bertanya lagi, “Ya Allah, adakah penciptaan Engkau yang
lebih hebat daripada air?” Allah menjawab, “Ada, yaitu angin, angin dapat
membawa awan dalam perjalanan yang amat jauh, bahkan badai juga dapat
menyebabkan ombak besar yang mampu merobohkan rumah-rumah di pantai.” Para
malaikat bertanya lagi, “Ya Allah, adakah yang lebih kuat daripada semua ini?”
Allah menjawab, “Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah, tangan
kanannya memberi, sedangkan tangan kirinya tidak mengetahui.” Ikhlas dalam
bersedekah tanpa pamer dan dipuji ternyata lebih dahsyat
daripada gunung, besi,
air, dan angin.
Dialektika tersebut menunjukkan bahwa sumber daya alam yang
kelihatannya sangat kuat atau tak tergoyahkan sebenarnya masih kalah kuat bila
dibandingkan dengan konstruksi sosial yang dibangun atau diwujudkan melalui
pola karitas (kedermawanan/kebaikan membagikan kelebihan ekonomi) kepada sesama
secara egaliter.
Prinsip egaliter merupakan bentuk pengakuan secara inklusif, yang
bersih (fitri) dari anasir tendensi kepentingan politik, penghambaan atau
pertuanan, dan polapola diskriminasi. Prinsip tersebut memberi peluang bagi
setiap elemen yang berlebaran untuk diakui keberadaan etnik, agama, ideologi,
taraf pendidikan, dan dimensi lainnya, tanpa perlu dibedakan, apalagi sampai
dimarginalkan.
Wong alit yang diperlakukan orang kaya atau korporasi dengan cara
memanusiakan, merelakan, dan memartabatkan, seperti anak-anaknya diberi
beasiswa, kebutuhan pangannya dicukupi, keperluan pengobatan anak-anaknya
dibiayai, atau berbagai hak-haknya dimediasi, akan mendukung terwujudnya
persaudaraan kemasyaraka tan (ukhuwah
basyariyah) dan persaudaraan ke manusiaan (ukhuwah insaniyah) yang erat, saling menghormati, memberdayakan,
dan melindungi. Akselerasinya bisa lebih cepat jika dilakukan pada momentum
Lebaran. Pasalnya Lebaran merupakan momentum yang terbilang longgar untuk
bertemu atau ‘mengawinkan’ emosi diri.
Terwujudnya persaudaraan ideal itu dapat mencegah keniscayaan
terjadinya berbagai bentuk kecemburuan, kedengkian, dendam, dan tragedi sosial
berdarah. Wong alit yang merasa
diperlakukan bermartabat tentulah di dalam hatinya tumbuh keinginan membalas
memartabatkannya, meski tanpa diminta sekalipun. Bahkan boleh jadi keinginan wong alit itu lebih besar dalam
memedulikan dan melindungi seseorang inginan membalas memartabatkannya, meski
tanpa diminta sekalipun. Bahkan boleh jadi keinginan wong alit itu lebih besar dalam memedulikan dan melindungi
seseorang yang telah berjasa dalam hidupnya.
Sebaliknya, bila wong alit
yang sedang hidup susah atau menghadapi akumulasi keprihatinan dan berada dalam
kondisi tertekan terus-menerus oleh desakan kebutuhan hidup, sedangkan di sisi
lain mereka tidak mendapatkan perlakuan dari sesamanya secara simpatik,
manusiawi, dan memartabatkan dirinya, mereka bisa menjadi kelompok sosial
rentan yang tergiring melakukan kejahatan-kejahatan konvensional seperti
mencuri, merampok, membunuh, dan mengani balisasi. Tidak sedikit kasus mencuat
di masyarakat bertajukkan pembalasan dendam bercorak banjir darah (pembantaian)
dari pembantu rumah tangga (PRT) kepada maji kannya. Itu bukan semata akibat
hak PRT yang `disunat' majikannya, me lainkan juga aki bat sikap, ucapan, dan
perilaku yang menghinakannya.
Dalam beberapa kasus yang sering terjadi misalnya, ketika majikan
(keluarga) sedang pergi, pem bantu rumah tangga menguras barang-barang berharga
milik majikannya dengan dalih sebagai kompensasi atas perilaku majikannya yang
kikir dan sering memperlakukannya secara tidak manusiawi, tidak memartabatkan,
memperbudak, atau nonegaliter.
Memang ada sejumlah ahli memprediksi, di tengah kondisi
perekonomian masyarakat yang semakin sulit ini, indeks kejahatan yang pelakunya
berasal dari kalangan akar rumput (the
grass root community) cenderung terus semakinItu berarti dibutuhkan
kekuatan sosial elitis yang sedang berlebaran yang tidak membutakan nurani,
untuk membangun pola karitas yang didasari kerelaan, tidak diikuti kata caci
maki, tendensi politik, apalagi dengan perlakuan-perlakuan yang bercorak
memperbudak dan mendiskriminasikan. Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan
manfaat bagi manusia lainnya.“ Itu berarti derajat terbaik dalam ranah
keagamaan ditentukan ucapan, sikap, dan perilaku bernapaskan humanisasi atau
memartabatkan sesama.
Perilaku yang berpola pembiaran masyarakat atau sekelompok orang
dalam ketidakberdayaan dan kesengsaraan, apalagi diikuti dengan caracara yang
menghinakan atau tidak memanusiakan, akan membuat terbukanya keran maraknya
kriminalitas atau perilaku-perilaku dehumanisasi manusia atas manusia lainnya.
Masyarakat kecil tidak selalu cukup diberi dan apalagi diledek uang. Mereka
juga wajib hukumnya dimartabatkan. Momentum pemartabatan `wong alit' salah satunya saat Lebaran ini.
Dalam momentum fitri ini, kedaulatan `wong alit' bisa ditegakkan dan disejarahkan komunitas elitis atau
segelintir orang yang pintar meningratkan status sosial mereka. Komunitas
elitis wajib mengalahkan egoisme dan keeksklusifan demi terbentuknya
kolektivitas berbasis kesederajatan, saling menyayangi dan melindungi dengan
cara menempatkan wong cilik sebagai
saudara sederajat di sisi mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar