Jumat, 03 Agustus 2012

Kurikulum Berbasis Kekerasan


Kurikulum Berbasis Kekerasan
Saifur Rohman ; Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan
KOMPAS, 03 Agustus 2012

Orangtua murid satu sekolah swasta di Pondok Indah, Jakarta Selatan, melapor ke polisi karena anaknya menjadi korban kekerasan dalam acara orientasi sekolah. Hasil visum membuktikan ada sundutan rokok ke kulit korban oleh para seniornya.

Orangtua korban semula meminta pertanggungjawaban sekolah, tetapi pihak sekolah menyatakan bahwa kejadian itu berada di luar lingkungan pengawasan sekolah. Kekerasan tersebut, menurut pihak sekolah, terjadi setelah program sekolah berakhir, Selasa (24 Juli 2012). Polisi menindaklanjutinya dengan menyatakan akan memproses kasus itu sebagai tindakan pidana.

Bila diletakkan dalam kerangka politik pendidikan di Indonesia, pertanyaan utamanya adalah soal mekanisme pembentukan karakter peserta didik. Setelah kita menyerahkan anak kita kepada pihak sekolah melalui mekanisme penjaringan dan pembayaran biaya operasional sekolah, lantas bagaimana sekolah membentuk mental anak kita selama ini?

Bila direfleksikan lebih luas lagi dalam sistem pendidikan nasional, bagaimana mekanisme perundang-undangan mengantisipasi salah bentuk karakter yang bisa saja terjadi di tengah-tengah proses belajar-mengajar?

Salah Bentuk Identitas

Kasus kekerasan di sekolah selama ini hanya dipandang melalui perspektif pencarian jati diri individu remaja. Hal itu sekurang-kurangnya menggunakan perspektif psikologi perkembangan. Bila mengikuti nalar disiplin ilmu tersebut, remaja digambarkan berada pada upaya mengidentifikasi diri melalui setumpuk pengalaman lingkungan sosial yang sudah ada.

Erik Erikson (1998: 231) menyebutkan delapan krisis dalam kehidupan manusia. Jika melihat tabel krisis tiap fase kehidupan, krisis remaja adalah krisis yang kelima, yakni antara umur 13-19 tahun. Nilai utamanya adalah penguatan keyakinan individu. Untuk memperoleh keyakinan itu, menurut dia, seorang remaja akan terombang-ambing pada dua hal: memperoleh identitas atau mengalami kebingungan peran.

Akan tetapi, teori ini mengalami kesulitan manakala harus berurusan dengan kasus salah bentuk identitas. Sebab, kebingungan peran juga membentuk identitas baru. Lagi pula, kekerasan di perguruan tinggi tak serta-merta menjadi sebab berganti teori perkembangan kepribadian karena fase pembentukan identitas itu dianggap sudah selesai saat kelulusan SMA.

Itulah kenapa kekerasan yang terjadi pada peserta didik tidak bisa dibidik melalui pencarian identitas. Persoalan yang sedang dibicarakan dalam diskusi ini adalah kesalahan membentuk identitas dalam mekanisme pendidikan sedang berjalan.

Buktinya, proses internalisasi kekerasan sebetulnya berlangsung dalam mekanisme pendidikan yang pincang. Suka atau tidak, isu besar pemerintah yang dirangkum dalam pembentukan watak sebetulnya masih jadi utopia. UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencantumkan tujuan pendidikan adalah menghasilkan orang yang cerdas dan berakhlak mulia. Namun, pada praktiknya, dalam sistem pendidikan di sekolah dasar dan menengah hanya mengenal kurikulum tingkat satuan pendidikan yang diterjemahkan melalui standar kompetensi dasar dan standar kompetensi lulusan.

Item-item standardisasi pengetahuan itu sudah terpola sedemikian rupa. Melenceng satu item saja berdampak terhadap skor siswa dalam kelulusan. Lihat saja, keberhasilan pendidikan selalu diukur dari skor kognitif yang mampu menjawab benar semua pertanyaan pilihan ganda. Skor tersebut dapat diperoleh bila guru mampu menyampaikan bahan ajar melalui pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan.

Pertanyaan sederhana yang selalu muncul, item-item apa yang bisa diturunkan dari definisi berakhlak mulia? Akronim apa yang bisa dipraktikkan secara mudah oleh para guru sebagai pelaksana? Tentulah bukan sekadar mampu menghafal ayat suci, mencium tangan, atau mempraktikkan cara beribadah yang benar. Karena itu, tidak sulit mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan tidak menjamin adanya indikator berakhlak mulia bisa beroperasi secara optimal. Hal yang sungguh-sungguh terjadi, mekanisme formal baru bisa berjalan manakala kejadian-kejadian yang terkait moralitas menimpa peserta didik, seperti hamil di luar pernikahan, tawuran antarpelajar, penyalahgunaan narkoba, serta kasus-kasus lain yang sejenis. Di luar itu, mekanisme pendidikan kembali pada orientasi mengejar standar kelulusan. Tidak aneh, pengejaran peserta didik baru ditentukan oleh reputasi sekolah yang mampu meluluskan semua peserta didiknya.

Kurikulum Siluman

Bila dilihat dari perspektif psikologi pendidikan, disadari atau tidak, kekerasan itu telah meresap ke dalam kesadaran peserta didik sebagai media sosial yang efektif. Melukai yunior dianggap kemampuan menunjukkan identitas dominasi dalam kelompok. Karena, sebagai media interaksi, kekerasan juga menjadi solusi atas problem-problem sosial yang muncul kemudian. Bertindak menyimpang dianggap unsur keberanian dalam pembentukan identitas. Kasus-kasus kekerasan dengan pelaku remaja yang tersebar di media massa, jejaring sosial, serta media sosial lain memperkuat pernyataan di atas.

Bila logika itu dipahami, cukuplah fakta-fakta tersebut menunjukkan betapa pemerintah telah gagap menerjemahkan visi sampai pada tingkat operasional yang mampu dipahami oleh para pelaksana. Pengembangan pendidikan kehilangan fokus. Konsentrasi di pusat pengembangan tenaga pendidikan seperti hilang prioritas. Pendeknya begini: organ-organ fungsional pendidikan tidak memiliki kemampuan mendeteksi salah bentuk karakter yang secara diam-diam sedang berlangsung. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar