Rabu, 01 Agustus 2012

Kemelut Pangan Kita

Kemelut Pangan Kita
Sapuan Gafar ; Sekretaris Menteri Pangan 1993-1999
KOMPAS, 01 Agustus 2012


Pada awal Reformasi, ada ”kesepakatan bersama” bahwa pemerintah tidak boleh lagi campur tangan terlalu banyak dan terlalu dalam pada urusan pangan. Karena itu muncul berbagai kebijakan seperti deregulasi beberapa komoditas yang dikelola pemerintah via Bulog.

Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya boleh mengurus beras dengan tugas terbatas: impor beras dengan bea masuk 0 persen. Artinya, urusan pangan diserahkan pada pasar dengan konsekuensi kita menerima apa yang terjadi di pasar; kalau harga turun, ya, harus diterima; kalau harga naik, ya, jangan marah.

Apa yang terjadi di pasar dunia berimbas langsung di pasar dalam negeri. Kebetulan pada waktu itu harga pangan dunia sedang rendah: beras, gandum, jagung, kedelai, dan gula. Dengan begitu kita dininabobokan dan produksi pangan dalam negeri akhirnya hancur, tinggal beras yang masih dapat dipertahankan.

Setelah Reformasi berlangsung hampir 15 tahun dengan berbagai produk undang-undang dan peraturan—termasuk otonomi luas kepada daerah untuk urusan pangan—guncangan harga pangan tetap saja terjadi seperti tahun 2008 dan 2012. Urusan pangan ternyata rentan gejolak harga dunia karena ketergantungan pangan impor semakin besar, sementara kesejahteraan petani belum membaik.

Kesalahan Kita

Apa yang salah dengan pangan kita?

Kesalahan pertama adalah salah pola makan. Pola makan ideal adalah seperti di Jepang yang berbentuk segitiga sama sisi: seimbang antara karbohidrat, protein, dan lemak. Di Amerika, segitiganya menjorok ke arah lemak, sedangkan di Indonesia segitiganya menjorok ke arah karbohidrat.

Urusan pola makan sebenarnya bergantung pada kesadaran dan pendapatan masyarakat. Karena itu, tanpa upaya pemahaman pola makan yang sehat, kita harus menghadapi konsekuensi mutu sumber daya manusia (SDM) rendah.

Tahun 1993, Menteri Negara Urusan Pangan diangkat untuk mengoordinasikan arah pembangunan pangan dengan peningkatan mutu SDM. Setelah dibubarkan Presiden Gus Dur tahun 1999, tidak ada yang mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan, apalagi sekarang produksi pangan domestik lebih banyak diurus oleh daerah. Konon pembahasan revisi RUU Pangan mandek karena terbentur masalah kelembagaan, siapa yang nanti bertanggung jawab, sementara Menteri Pangan sudah tidak ada lagi.

Kesalahan kedua, kebijakan pangan lebih didominasi orientasi pasar. Orientasi ini tidak salah kalau infrastrukturnya sudah baik, petaninya sudah sejahtera, dan pendapatan konsumennya sudah tahan guncangan pasar. Kenyataannya, untuk menyediakan infrastruktur terkait pangan seperti penambahan jalan, pelabuhan, irigasi, pasar yang terintegrasi, sarana perdagangan (gudang, pendingin), listrik dan sarana komunikasi, pemerintah seperti menunggu kesediaan swasta. Untuk sektor yang tidak menarik swasta, pemerintah seharusnya turun tangan sendiri. Keterlambatan sarana akan menghambat produksi dan penyediaan pangan.

Selain itu, perlu juga kita dorong agar tidak terjadi pemiskinan di pedesaan dengan mencegah aliran dana keluar dari pedesaan. Sebagaimana kita ketahui, perbankan di pedesaan lebih banyak menarik dana ketimbang menyalurkannya.

Proyek pemerintah untuk pedesaan pun nyaris tidak ada. Salah satu indikatornya adalah penerima beras untuk rakyat miskin (raskin) yang lebih banyak di pedesaan dan ironisnya sebagian besar berada di daerah lumbung beras. Untung keadaan tersebut sedikit diredam aliran dana dari buruh migran. Dengan begitu, peningkatan pendapatan di pedesaan penting untuk menunjang perkembangan industri kita.

Kesalahan ketiga adalah salah kaprah. Seperti telah disinggung di depan, kewenangan urusan pangan diserahkan pada daerah mengikuti konsep otonomi daerah. Kita lihat peta jalan (road map) swasembada pangan dari pusat yang ditanggapi berbeda-beda oleh daerah. Harus ada pembagian kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Sebaiknya untuk pangan pokok, termasuk pangan strategis dan pangan penting tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Perlu dicontoh Uni Eropa, yang hanya memiliki satu kebijakan pertanian.

Kesalahan keempat, kita berpikir sepihak. Dalam urusan pertanian dan pangan, ada dua pihak yang perlu kita pikirkan. Kalau harga cabai turun menjadi Rp 2.500 per kilogram, tidak ada yang memikirkan nasib petani. Namun, begitu harga cabai naik di atas Rp 20.000 per kg, banyak orang ribut.

Di satu sisi, perajin tahu dan tempe meminta agar harga kedelai stabil sekitar Rp 5.000 per kg. Di sisi lain, petani kedelai dengan harga seperti itu tidak akan terdorong untuk menanam kedelai. Petani ingin harga kedelai mencapai 2,5 kali harga gabah seperti era awal tahun 1990-an, saat produksi kedelai dalam negeri pernah mencapai 1,8 juta ton.

Kesalahan kelima, kita tidak memikirkan konsekuensi atas keberhasilan suatu kebijakan. Dengan prinsip bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik, mari kita simak pengalaman swasembada beras dan gula tahun 1984. Saat Indonesia mencapai swasembada beras, petani sebenarnya tidak diuntungkan karena harga dasar gabah/beras stabil rendah, tidak dapat dinaikkan seperti tahun-tahun sebelumnya (harga riil turun). Bulog menghadapi situasi dilematis, stok beras sulit ke luar dari gudang karena tidak ada operasi pasar.

Untuk menghindari kerusakan, akhirnya stok beras tersebut diekspor. Karena Indonesia terjun ke pasar dunia, harga beras dunia turun dari 250 dollar AS per ton menjadi 150 dollar AS per ton, Bulog pun bertambah rugi.

Demikian juga soal gula. Bank Bumi Daya yang saat itu menjadi holding stock gula Perusahaan Negara Perkebunan (PNP)—sekarang Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP)—rugi karena barangnya lambat keluar, akhirnya gula diserahkan ke Bulog. Untuk itu, perlu dipikirkan tujuan swasembada itu sampai batas mana? Untuk mengurangi ketergantungan pada impor memang perlu dan harus, tetapi sampai 90 persen atau 100 persen? Kalau ada kerugian, siapa yang menanggung?

Perlu Keberpihakan

Pemecahan karut-marut urusan pangan ini kuncinya hanya satu: keberpihakan, berpihak terhadap produksi sendiri mulai dari pemerintah sampai masyarakat. Konsumen kita harus mencintai, membeli, dan menggunakan produk dalam negeri. Jepang dan Korea menjadi maju karena mereka fanatik terhadap buatan sendiri. Orang Korea, walaupun mampu membeli mobil impor, memilih mobil produk Korea.

Apabila ada keberpihakan dan tidak hanya pura-pura, penyelesaian masalah selanjutnya lebih mudah. Semua peraturan dan kebijakan harus memihak pada pemberdayaan produksi dalam negeri.

Namun, kita masih pesimistis untuk ”menggugah” para penyelenggara negara dan masyarakat untuk berpihak terhadap produksi negeri sendiri. Mereka mudah terbius oleh argumentasi yang tampak ilmiah atau kepentingan sesaat. Pakaian bekas impor dijual di mana-mana, padahal ada larangan impor pakaian bekas. Mestinya kita marah, negara kita dipakai untuk membuang sampah. Mudah-mudahan semakin banyak yang peduli. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar