Selasa, 21 Agustus 2012

Diplomasi Kemanusiaan Mencairkan Kebekuan


Diplomasi Kemanusiaan Mencairkan Kebekuan
Pascal S Bin Saju ; Wartawan Kompas
KOMPAS, 15 Agustus 2012

Sejak awal Juni 2012 dunia dikejutkan oleh kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap etnis minoritas Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat. Beberapa negara di Asia Tenggara—termasuk Indonesia—dan Australia, turut dipusingkan oleh gelombang imigran Rohingya ke wilayah mereka.

Berita yang tersebar di dunia maya, termasuk media sosial, menyebutkan telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap etnis minoritas Rohingya, meskipun dibantah oleh sumber-sumber resmi.

Dalam rapat konsultasi yang digelar Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan dihadiri 40 utusan lembaga swadaya masyarakat dari negara-negara anggota OKI, di Kuala Lumpur, Malaysia, awal Agustus, terungkap pula kekhawatiran itu. Pemerintah Myanmar didesak bertangung jawab. Komunitas internasional juga diminta memberi tekanan politik—atau diplomatik—kepada salah satu anggota ASEAN itu.

Persoalannya, bagaimana caranya memberikan tekanan politik kepada Myanmar? Gampang menuding, tetapi sulit untuk membuktikan bahwa negara itu telah melakukan ”pembersihan etnis”, seperti diisukan, jika tidak didukung bukti otentik yang kuat. Tidak cukup hanya merujuk pada gelombang migrasi, serta berita di media sosial.

Menurut laporan sebuah LSM, ratusan warga Rohingya tewas pada Juni 2012. Lebih dari 90.000 orang mengungsi setelah 300 kampung etnis Rohingya dibakar. Informasi itu sulit diverifikasi. Adapun versi pemerintah Myanmar, ada 78 orang tewas, 87 orang terluka, dan 64.000 orang mengungsi.

Apa yang sesungguhnya terjadi di Myanmar? Itulah gugatan yang mendorong Ketua Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla, yang juga ikut dalam rapat konsultasi OKI itu, ingin masuk ke lokasi konflik. Hal itu tidak mudah masuk karena Myanmar masih menuntup pintu bagi orang atau lembaga asing.

Menurut Kalla, wajar jika Myanmar bersikap tertutup, sama halnya juga dengan Indonesia terkait kasus Sampit, Poso, dan Ambon. Setiap konflik sektarian, tidak boleh ditangani secara sektarian pula kecuali pendekatan harmoni.

Begitulah prinsip yang dibawa Kalla ketiga mulai membuka dialog dengan otoritas Myanmar, pekan lalu. Presiden Thein Sein akhirnya membuka akses itu bagi Kalla setelah menerimanya di Naypyitaw. ibu kota baru Myanmar.

Kalla dinilai sebagai orang yang tepat karena pengalamannya menangangi konflik Aceh, Ambon, dan Poso. Dengan diplomasi yang perlahan masuk ke inti permasalahan, pendekatan kemanusiaan yang simpel dan bersahabat, bergerak tanpa beban dan pretensi politik, kecuali rasa kemanusiaan itu.

Thein Sein sempat menyampaikan keluhan tentang pemberitaan di internet dan situs jejaring sosial tentang konflik komunal itu, yang banyak menyudutkan Myanmar. Dia meminta saran dan langkah konkret apa yang sebaiknya dilakukan dalam mengatasi konflik. Kata Kalla, pemberitaan bisa meluas jika kesan ketertutupan atas kasus Rohingya sengaja dijaga.

Menurut Kalla, jalan keluar paling baik ialah membuka pintu informasi, dan memberikan akses kepada orang, lembaga atau organisasi kemanusiaan masuk. Kesan Myanmar sebagai negara tertutup mencair setelah Thein Sein membuka akses bagi Kalla dan pihak asing lain untuk membantu korban konflik. Pintu dibuka setelah Kalla memulai pembicaraan tentang adanya hubungan sejarah antara Myanmar dan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar