Diplomasi
Kemanusiaan Mencairkan Kebekuan
|
Pascal S Bin Saju ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
15 Agustus 2012
Sejak awal Juni 2012 dunia
dikejutkan oleh kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap etnis minoritas
Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat. Beberapa negara di Asia
Tenggara—termasuk Indonesia—dan Australia, turut dipusingkan oleh gelombang
imigran Rohingya ke wilayah mereka.
Berita yang tersebar di
dunia maya, termasuk media sosial, menyebutkan telah terjadi pembantaian
besar-besaran terhadap etnis minoritas Rohingya, meskipun dibantah oleh
sumber-sumber resmi.
Dalam rapat konsultasi yang
digelar Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan dihadiri 40 utusan lembaga
swadaya masyarakat dari negara-negara anggota OKI, di Kuala Lumpur, Malaysia,
awal Agustus, terungkap pula kekhawatiran itu. Pemerintah Myanmar didesak
bertangung jawab. Komunitas internasional juga diminta memberi tekanan
politik—atau diplomatik—kepada salah satu anggota ASEAN itu.
Persoalannya, bagaimana
caranya memberikan tekanan politik kepada Myanmar? Gampang menuding, tetapi
sulit untuk membuktikan bahwa negara itu telah melakukan ”pembersihan etnis”,
seperti diisukan, jika tidak didukung bukti otentik yang kuat. Tidak cukup
hanya merujuk pada gelombang migrasi, serta berita di media sosial.
Menurut laporan sebuah LSM,
ratusan warga Rohingya tewas pada Juni 2012. Lebih dari 90.000 orang mengungsi
setelah 300 kampung etnis Rohingya dibakar. Informasi itu sulit diverifikasi.
Adapun versi pemerintah Myanmar, ada 78 orang tewas, 87 orang terluka, dan
64.000 orang mengungsi.
Apa yang sesungguhnya
terjadi di Myanmar? Itulah gugatan yang mendorong Ketua Palang Merah Indonesia
Jusuf Kalla, yang juga ikut dalam rapat konsultasi OKI itu, ingin masuk ke
lokasi konflik. Hal itu tidak mudah masuk karena Myanmar masih menuntup pintu
bagi orang atau lembaga asing.
Menurut Kalla, wajar jika
Myanmar bersikap tertutup, sama halnya juga dengan Indonesia terkait kasus
Sampit, Poso, dan Ambon. Setiap konflik sektarian, tidak boleh ditangani secara
sektarian pula kecuali pendekatan harmoni.
Begitulah prinsip yang
dibawa Kalla ketiga mulai membuka dialog dengan otoritas Myanmar, pekan lalu.
Presiden Thein Sein akhirnya membuka akses itu bagi Kalla setelah menerimanya
di Naypyitaw. ibu kota baru Myanmar.
Kalla dinilai sebagai orang
yang tepat karena pengalamannya menangangi konflik Aceh, Ambon, dan Poso.
Dengan diplomasi yang perlahan masuk ke inti permasalahan, pendekatan
kemanusiaan yang simpel dan bersahabat, bergerak tanpa beban dan pretensi
politik, kecuali rasa kemanusiaan itu.
Thein Sein sempat
menyampaikan keluhan tentang pemberitaan di internet dan situs jejaring sosial
tentang konflik komunal itu, yang banyak menyudutkan Myanmar. Dia meminta saran
dan langkah konkret apa yang sebaiknya dilakukan dalam mengatasi konflik. Kata
Kalla, pemberitaan bisa meluas jika kesan ketertutupan atas kasus Rohingya
sengaja dijaga.
Menurut Kalla, jalan keluar
paling baik ialah membuka pintu informasi, dan memberikan akses kepada orang,
lembaga atau organisasi kemanusiaan masuk. Kesan Myanmar sebagai negara
tertutup mencair setelah Thein Sein membuka akses bagi Kalla dan pihak asing
lain untuk membantu korban konflik. Pintu dibuka setelah Kalla memulai pembicaraan
tentang adanya hubungan sejarah antara Myanmar dan Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar