Pendidikan
yang Membebaskan
Saratri
Wilonoyudho ; Dosen
Universitas Negeri Semarang,
Anggota Dewan Riset dan Ketua Koalisi Kependudukan Jateng
KOMPAS, 02 Juli 2012
Sudah berapa puluh kali Kompas dan media
massa lain mengabarkan kehebatan sosok-sosok pembaru yang cerdas dan
berdedikasi tinggi di bidang pendidikan.
Kompas (4/6/2012), misalnya, menggambarkan
sosok Suyudi, sukarelawan yang mendirikan sekolah alam di Klaten. Anak didik
tidak diperlakukan sebagai obyek, namun subyek yang turut menentukan nasibnya
sendiri. Melalui sekolah alam, ia ingin menunjukkan bahwa pendidikan yang
sesungguhnya adalah memperlakukan anak agar menjadi manusia yang utuh. Tidak
sekadar menjejalkan aneka informasi dan ilmu, tetapi juga bagaimana mengajak
anak didik menemukan dirinya.
Dalam bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan adalah pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan. Sekolah alam
ala Suyudi, dan yang bertebaran di tempat lain, ingin mengoreksi sistem
pembelajaran terutama di tingkat dasar dan menengah yang cenderung satu arah.
Pendidikan pada dasarnya adalah upaya penanaman sikap hidup, pandangan hidup,
nilai-nilai tentang kehidupan, dan keterampilan hidup.
Pertanyaannya, kalau seorang Suyudi saja bisa
mengembangkan pendidikan yang kreatif dan menyenangkan seperti ini, mengapa
pemerintah tidak mengembangkannya juga? Yang terjadi di dunia persekolahan
formal kita adalah suasana stres karena anak-anak dikejar ketuntasan pelajaran
yang membosankan, yang tidak terkait dengan kebutuhan dan realitas keseharian,
serta ujian nasional yang menekan saraf psikologisnya.
Dunia pendidikan harus menciptakan peluang
bagi pembudayaan individu agar kapasitasnya berkembang, demikian pakar-pakar
seperti Bertrand Russell, Paulo Freire, Ivan Illich, Montessori, Neil Postman,
Ki Hadjar Dewantara, Moch Sjafei, dan Dewi Sartika. Mereka berbicara tentang
pendidikan dari kacamata yang berbeda dan luas, terutama berkaitan dengan
”pemerdekaan” dari ”kebudayaan bisu”.
Dalam teori konflik, tampak bahwa peran
sekolah disadari atau tidak juga melegitimasi dominasi elite sosial, bahkan
sekolah merupakan bagian dari kepentingan masyarakat untuk mempertahankan
struktur sosial, stratifikasi sosial, dan melayani kelas sosial tertentu. Dapat
dipahami jika kelompok masyarakat miskin adalah pihak yang paling susah
mengikuti irama pendidikan.
Perkembangan Berbeda
Meski penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa rata-rata IQ bayi berumur kurang dari dua tahun tak berbeda
signifikan, faktor-faktor ketika anak berangkat besar, seperti kekurangan gizi
dan sarana pendidikan, membuat anak dari golongan miskin jauh tertinggal. Orang
kaya sanggup ”menghadirkan” sekolah di rumah: ada guru les piano, komputer, dan
seterusnya.
Umumnya, anak-anak orang miskin bersekolah di
lingkungan kumuh, terbelakang, dan akrab dengan kekerasan. Lingkungan yang
tidak ramah ataupun rasa percaya diri yang rendah menjadikan anak miskin
cenderung agresif, mudah terprovokasi, dan mudah tersinggung.
Relevansi sekolah alam ala Suyudi juga terkait
dengan meredupnya pamor IQ sebagai salah satu ukuran kecerdasan. Mengutip David
Brooks dalam The Waning of IQ, Ninok
Leksono (Kompas, 19/9/2007) menulis: ”Sementara psikometrika menawarkan daya
tarik semu fakta obyektif, sains baru membawa kita kembali ke dalam kontak
dengan sastra, sejarah, dan kemanusiaan, dan—pada akhirnya—ke keunikan
individu”.
Banyak orang yang tinggi IQ-nya tetapi tidak
sukses meniti karier, bahkan untuk sekadar bergaul. Buku Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, Howard Gardner
(Basic Books, 1983) menyebut ada tujuh macam kecerdasan.
Kecerdasan-kecerdasan itu adalah 1.
kecerdasan linguistik (kecakapan dan kepekaan terhadap arti dan tata kata); 2.
Kecerdasan logika-matematika; 3. Kecerdasan musikal (untuk memahami dan
mencipta musik); 4. Kecerdasan spasial (kecerdasan berpikir dalam gambar atau
visual); 5. Kecerdasan tubuh-kinestetik (keterampilan olah tubuh untuk
berekspresi seperti penari, olahragawan); 6. Kecerdasan antarpribadi atau
interpersonal, yakni kecakapan untuk memahami individu lain; serta 7.
Kecerdasan intrapersonal, yakni kecakapan untuk memahami diri dan menggunakan
pengalamannya untuk membimbing orang lain. Masih ada kecerdasan lain, yaitu
kepemimpinan edukasional.
Dalam proses tersebut semestinya semua aspek
pendidikan dikaji secara kritis sehingga menghasilkan suatu bentuk sekolah yang
merupakan ajang interaksi berbagai latar belakang masyarakat untuk saling
memahami dalam suasana kesetaraan, keadilan, dan penghormatan. Sekolah menjadi
bangunan budaya dalam arti luas.
Gagasan pendidikan multikultural ini sangat
menarik jika dikaitkan dengan negeri multietnis seperti Indonesia. Sebagaimana
disinggung Huntington sebelumnya, masalah integrasi nasional menjadi persoalan
serius bagi negara yang baru merdeka dengan multietnis-nya.
Saat ini tugas mendidik anak diserahkan
sepenuhnya kepada sekolah. Kalau anaknya tidak berhasil dalam menempuh
kehidupan, sadar atau tidak, pihak sekolah yang disalahkan. Padahal orangtua
yang sibuk mengejar karier. Kenyataan ini merupakan buah kehidupan keluarga
pada zaman modern. Ini yang banyak mendatangkan stres, terutama bagi anak-anak,
karena perubahan pola kerja orangtua.
Pranata Sosial Retak
Dalam artikelnya berjudul ”Go East Young Man” di Far Eastern Economic Review (1994),
Mahbubani menunjukkan gejala retaknya pranata sosial di Barat seperti
peningkatan angka bunuh diri, kehamilan remaja, dan kriminalitas.
Sekolah, yang mestinya merupakan tempat
belajar, bermain, berteman, dan mengembangkan jati diri, pada akhirnya tidak menjadi
tempat yang menyenangkan bagi anak. Bahkan tidak jarang anak justru takut
kepada gurunya. Beban pekerjaan rumah, guru yang otoriter, orangtua yang
terlalu memaksa agar anaknya berprestasi menjadikan anak trauma untuk pergi
bersekolah. Kasus anak-anak yang bunuh diri gara-gara dimarahi guru atau
diolok-olok temannya lalu menjadi berita keseharian.
Fakta seperti itu disebut oleh Prof Kurt
Singer dari Universitas Munchen, Jerman, sebagai fenomena ”sekolah yang sakit”
atau Wenn schule krank macht. Sekolah
menjadi tempat penuh sensor, guru yang selalu mengawasi dengan tanpa batas
etika-psikologis, perintah sekolah yang selalu menjadi diktator dan mematikan
bakat, sekolah menjadi pengadilan yang selalu penuh hukuman sehingga
mengakibatkan kegelisahan, ketakutan, penuh ancaman. Semua fenomena ini disebut
Kurt Singer sebagai schwarzer paedagogik atau ”pedagogi hitam” (Sindhunata,
2001).
Indonesia tampaknya perlu segera menata
kembali sistem pendidikannya agar mencetak anak-anak yang bahagia menjalani
proses belajarnya, baik di sekolah maupun di rumah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar