Menyongsong
UU PT Hakiki
Satryo
Soemantri Brodjonegoro ; Dirjen
Dikti (1999–2007); Anggota AIPI
KOMPAS, 07 Juli 2012
Universities’
unique combination of autonomy and decentralization creates exactly the modern
type of institution which is able to innovate–in a far more effective way than
either government bureaucracy or corporate hierarchy.
(Dr Michal Stevenson, President of
Simon Fraser University, Canada)
Ungkapan di atas menggambarkan betapa
rumitnya tata kelola sebuah perguruan tinggi. Bukan semata-mata besar kecilnya
jumlah mahasiswa dan dosen, bukan pula karena banyak atau sedikitnya jurusan
atau program studi. Tata kelola perguruan tinggi kecil sama rumitnya dengan
tata kelola perguruan tinggi besar karena pada dasarnya tata kelola perguruan
tinggi jauh lebih rumit daripada pemerintahan, bahkan perusahaan multinasional.
Mengapa demikian? Perguruan tinggi di
Indonesia menjalankan Tri Darma, yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian
masyarakat, yang kodratnya sangat berbeda satu sama lain. Perguruan tinggi juga
menjalankan program-program yang sifatnya penugasan pemerintah dalam rangka
pembangunan nasional ataupun program yang dibutuhkan masyarakat, baik yang
bersifat laba maupun nirlaba. Ini masih ditambah lagi dengan misi sosial, yang
tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat, baik secara langsung melalui kiprah
kelembagaan maupun secara tidak langsung melalui kiprah lulusannya.
Semua itu berimplikasi pada kerumitan tata
kelola perguruan tinggi, yang juga dicirikan dengan keunikan tata organisasi
karena tidak menganut kaidah struktur organisasi yang umum. Organisasi
perguruan tinggi tidak hierarkis dan tidak birokratis, dan dengan demikian
tidak seragam antar-perguruan tinggi.
Hal ini sangat berbeda dengan sebuah kantor,
jawatan, atau birokrasi pemerintahan yang hierarkis, seragam, dan terstruktur.
Di perguruan tinggi kita tidak mengenal atasan dan bawahan karena yang ada
adalah hubungan kolegial antarsesama civitas academica. Dengan demikian,
seluruh civitas academica mempunyai
kedudukan sama meskipun tugas dan fungsinya berbeda. Setiap anggota civitas academica mempunyai peluang sama
mencapai karya tertingginya—sengaja penulis menggunakan istilah karya dan bukan
karier—karena sejatinya yang harus dicapai insan kampus adalah karya terbaik,
bukan karier tertinggi.
Jabatan Amanah
Jabatan rektor atau dekan di perguruan tinggi
hendaknya dimaknai sebagai amanah untuk memajukan prestasi perguruan tinggi
dengan cara memberdayakan para kolega civitas
academica-nya. Jabatan tersebut bukan pencapaian karier, melainkan amanah
untuk menghasilkan suatu karya. Hubungan rektor dan dekan dengan civitas academica tetap berbentuk
kolegial. Perguruan tinggi memerlukan kepemimpinan yang mumpuni agar seluruh
civitas academica berdaya dan mampu mencapai karya terbaiknya. Pertanyaannya,
mungkinkah memimpin secara kolegial?
Jawabannya adalah sangat mungkin kalau kita
menerapkan pola kepemimpinan yang tepat, yaitu pola kepemimpinan yang ”loosely coupled”. Suatu pola yang
mengutamakan ikatan yang tidak kaku. Artinya, ruang gerak pelaku masih leluasa,
tetapi ada rambu-rambu yang mengikat dan telah disepakati bersama. Dalam hal
ini terjadi kebersamaan dengan tidak mengurangi kebebasan masing-masing. Pola
inilah yang kemudian diadopsi oleh perguruan tinggi sebagai tata kelola yang
otonom. Kalau kita cermati, kewibawaan perguruan tinggi justru dicirikan oleh
otonomi yang dimilikinya.
Otonomi tidak semata-mata diartikan sebagai
kebebasan mutlak, tetapi sebagai kebebasan yang bertanggung jawab. Mohon diingat
bahwa misi perguruan tinggi sangat mulia sehingga tidak mungkin perguruan
tinggi akan menyalahgunakan kebebasannya. Jika ada perguruan tinggi yang
menyalahgunakan kebebasan tersebut, dia tidak lagi layak dikategorikan sebagai
perguruan tinggi.
Kepastian Hukum
Eksistensi perguruan tinggi di suatu negara
memerlukan status hukum yang pasti. Kepastian bahwa perguruan tinggi dapat
berfungsi sesuai kodratnya yang hakiki, yaitu sebagai institusi yang otonom,
yang diwujudkan dalam bentuk perangkat perundang-undangan yang atributif
terhadap otonomi perguruan tinggi dalam wilayah hukum negara.
Atribut sebagai institusi yang otonom perlu
diberikan kepada perguruan tinggi karena otonomi merupakan suatu keniscayaan
dan melekat dengan ruh perguruan tinggi. Ketiadaan otonomi menyebabkan
perguruan tinggi kehilangan ruhnya, dia hanya menjadi wujud tanpa jiwa.
Dalam waktu dekat, RUU Pendidikan Tinggi (PT)
akan disidangkan paripurna oleh DPR untuk kemudian disahkan sebagai UU
Pendidikan Tinggi. UU PT tersebut akan menjadi landasan hukum beroperasinya
perguruan tinggi di Indonesia dan akan menentukan arah perkembangan perguruan
tinggi di Indonesia.
Maka, sudah seharusnya bahwa perguruan tinggi
di Indonesia mempunyai tata kelola yang otonom, seperti layaknya perguruan
tinggi di sejumlah negara. Oleh karena itu, UU PT seyogianya memberi atribut
otonom bagi perguruan tinggi.
UU PT sebaiknya tidak berisikan pasal-pasal
yang mengatur kewenangan pemerintah dalam mengelola perguruan tinggi, tetapi
lebih berisikan kewajiban negara untuk menyediakan akses pendidikan tinggi bagi
rakyatnya dan untuk mendukung perguruan tinggi agar mampu menyejahterakan
rakyatnya. Ruh perguruan tinggi yang otonom harus tecermin dengan tegas dalam
UU PT.
Hakikat undang-undang adalah memberikan
kepastian terhadap hak dan kewajiban ataupun terhadap fungsi dan tanggung jawab
yang diamanahkan. Apabila UU PT tidak mencerminkan ruh otonomi seperti
dijelaskan di atas, perguruan tinggi akan terbelenggu dan tidak mampu
mengeksekusi kebijakannya. Perguruan tinggi tidak bisa optimal dalam berkarya
karena pola kepemimpinan yang hierarkis-birokratis diterapkan dalam organisasi
yang kolegial.
Otonomi dalam UU PT adalah otonomi yang
bertanggung jawab. Maka, perguruan tinggi sebagai entitas publik harus
mempunyai akuntabilitas terhadap masyarakat dan pemangku kepentingan, bukan
terhadap pemerintah. Pemerintah sebagai pendukung perguruan tinggi seharusnya
juga mempunyai akuntabilitas terhadap publik dan pemangku kepentingan.
Masyarakat harus mengetahui persis manfaat
apa yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Masyarakat harus merasakan dampak
adanya perguruan tinggi terhadap peningkatan kesejahteraannya karena perguruan
tinggi menggunakan uang masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Maka,
diperlukan suatu perubahan paradigma tata kelola, yaitu otonomi sebagai amanah
dan tugas pemerintah memberikan dana yang cukup. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar