Konflik
Demokrat Bisa Menulari Parpol Lain
Mulharnetti
Syas ; Dekan Fikom dan Dosen Pascasarjana
Ilmu Komunikasi IISIP Jakarta
MEDIA INDONESIA, 03 Juli 2012
KONFLIK
internal di tubuh Partai Demokrat tak kunjung berhenti. Perang pernyataan
antarkader terus bergulir dan itulah fakta telanjang yang diperlihatkan ke
hadapan publik. Kader Demokrat terpecah. Setiap pihak saling melontarkan
pernyataan yang bertentangan. Tidak ada kesamaan pendapat, baik di antara
sesama pengurus dewan pimpinan pusat (DPP) ataupun dewan pembina. Demokrat
gagal melakukan komunikasi internal dengan baik.
Konflik
berawal ketika Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat,
terjerat kasus korupsi. Nyanyian Nazaruddin menyeret beberapa kader lainnya
seperti anggota Komisi X DPR RI Angelina Sondakh dan Ketua Umum Partai Demokrat
Anas Urbaningrum.
Kubu
yang menginginkan Anas mundur antara lain anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul
dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman. Ruhut bersuara nyaring
dan mendesak Anas agar mundur dari jabatannya saat ini karena nama Anas sering
disebut Nazaruddin terlibat kasus proyek Hambalang. Ruhut berdalih apa yang
dilakukannya itu untuk menyelamatkan Partai Demokrat yang tingkat elektabilitas
dan popularitasnya menurun terus. Atas pernyataannya, Ruhut ditegur Ketua
Fraksi Partai Demokrat DPR Nurhayati Ali Assegaf.
Lalu,
Hayono menyarankan agar partainya mengambil langkah politik yang penting dan
drastis, bahkan tidak perlu mengambil langkah hukum. Itu untuk menyelamatkan
partai agar tidak gagal di Pemilu 2014.
Di
kubu Anas antara lain ada Sekretaris DPD Partai Demokrat DKI Jakarta Irfan Gani
yang menyarankan Ruhut dan Hayono keluar dari Demokrat karena dinilai seperti
duri dalam daging.
Jika
dicermati, pernyataan petinggi Demokrat yang bertentangan itu akan memperkeruh
keadaan di partai pemenang Pemilu 2009 itu. Konflik internal tersebut tidak
kalah berbahaya jika dibandingkan dengan masalah kasus korupsi beberapa
kadernya. Dampak yang tidak bisa terelakkan ialah popularitas Demokrat semakin
menurun dan itu tentunya merugikan mereka.
Puncak
silang pendapat itu terjadi karena pengurus Demokrat resah setelah mengetahui
hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang diselenggarakan Juni 2012.
LSI melansir pernyataan elektabilitas Demokrat turun dari 13,7% (survei Januari
2012) menjadi 11,3%. Posisi pertama ditempati Partai Golkar (20,9%) dan posisi
kedua PDI Perjuangan (14%). Adapun hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) tidak jauh berbeda dengan LSI,
yakni Demokrat di posisi ketiga (10,7%), urutan pertama Partai Golkar (23%),
dan kedua PDIP (19,6%).
Kurang Tegas
Konflik
internal berkepanjangan di tubuh Demokrat tersebut juga disebabkan kurang
tegasnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku ketua dewan pembina terhadap
kader partainya yang terjerat masalah korupsi. Karena tidak ada ketegasan,
terutama menyangkut Anas, kader Demokrat menyatakan pendapat dan berbuat
sendiri-sendiri tanpa koordinasi. Konflik internal itu mempertontonkan kepada
publik adanya faksi dalam Demokrat. Padahal, SBY memiliki posisi sentral yang
dapat menentukan arah kebijakan partai.
Tidak
berlebihan jika beberapa pengamat politik menilai SBY gagal mengatasi konflik
internal. Komunikasi dalam internal Demokrat macet. Pada pidato politik di
Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat pekan lalu, SBY
mengimbau politisi Demokrat agar menjalankan politik santun dan beretika. Itu
pun dinilai pengamat tidak jelas siapa yang dituju.
SBY
sebagai tokoh sentral harus berani mengambil langkah tegas dan pasti. Semua
kader partainya yang terindikasi korupsi jangan dipertahankan, tetapi
dinonaktifkan dulu dan tidak perlu dibuktikan secara hukum. Kalau SBY tidak
mau, itu tentu akan merugikan Demokrat, merusak citra partai, dan yang lebih
parah lagi, perolehan suara pada Pemilu 2014 akan menurun drastis.
Dalam
pandangan Joseph Frankel (1988), konflik akan timbul apabila dua orang atau
sekelompok orang, termasuk negara, ingin menjalankan berbagai tindakan yang
tidak selaras satu sama lain. Menurut Donald H Weiss (1994), konfl ik biasanya
meletus karena ketidaksepakatan, ketidakterbukaan, tidak bersahabat, atau tidak
kooperatif sehingga berubah menjadi kata ‘perang’.
Konflik
juga dapat diartikan suatu interaksi yang ditandai dengan bentrokan atau
tubrukan antarkepentingan, gagasan, kebijakan individu, atau persoalan dasar
lainnya yang bertentangan (JC Plano, RE Giggs, dan HS Robin, 1985). BA Most dan
HStar (1989) mengartikan konflik sebagai suatu situasi kompetitif di saat
pihak-pihak yang terlibat sadar akan posisi mereka yang bertentangan atau
sebagai suatu situasi ketika setiap pihak yang ada berusaha meraih posisi yang
bertentangan dengan kepentingan dan keinginan pihak lain.
Terkait
dengan konflik di partai politik, konflik internal sebetulnya lazim terjadi.
Namun, konflik di tubuh Demokrat sangat luar biasa parah. Jika dibiarkan, itu
akan menulari kader partai lain.
Komunikasi Internal
Walaupun
konflik di internal Demokrat mungkin merupakan setting dan bertujuan mengukur
sejauh mana loyalitas kader, fakta menunjukkan komunikasi politik tidak
berjalan dengan baik.
Jadi,
Demokrat harus secepatnya menyelesaikan konflik internal. Salah satu caranya
dengan duduk bersama untuk melakukan komunikasi internal. Itu kalau mereka
tidak ingin melihat perolehan suara di bawah 10% pada Pemilu 2014.
Jika
tidak segera diselesaikan, konflik internal dikhawatirkan akan mengganggu
komunikasi politik antarsesama elite politik partai itu. Dampak seriusnya akan
mengganggu infrastruktur partai secara keseluruhan sampai pada basis yang
terendah.
Yang
lebih drastis lagi, kalau kecewa dengan konflik internal berkepanjangan itu,
para kader dan simpatisan amat mungkin berpindah kapal pada 2014, termasuk
berlabuh ke partai anyar seperti Partai NasDem.
Ketegasan
SBY dalam komunikasi internal tersebut sangat mungkin bisa mengatasi persoalan.
Hal itu akan memberikan kepastian tentang kebijakan yang diambil terhadap
masalah yang sedang dihadapi Demokrat.
Walau
sulit, jika masih ingin menjadi partai yang elektabilitasnya tinggi pada Pemilu
2014, kuncinya ada di tangan SBY. Sudah saatnya SBY memimpin komunikasi
internal, konsolidasi, menyamakan persepsi dan tindakan, menyatukan suara, dan
membuat deklarasi bersama. SBY harus mampu menyelesaikan konflik dengan
bijaksana karena kader dan simpatisan menunggu sikap tegas dan tindakan nyata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar