Kang
Moeslim dan Tenda Kultural
David
Krisna Alka ; Peneliti
Maarif Institute for Culture and Humanity,
Anggota Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
KOMPAS, 09 Juli 2012
Indonesia kembali kehilangan tokoh
terbaiknya. Cendekiawan Muhammadiyah, Moeslim Abdurrahman, menyusul kepergian
sahabatnya, Abdurrahman Wahid.
Sebelum wafat, Moeslim Abdurrahman yang akrab
disapa Kang Moeslim lebih banyak bergelut dalam ranah budaya. Setelah
Kuntowijoyo, memang belum tampak lagi tokoh Muhammadiyah yang aktif mendalami
kebudayaan.
Muhammadiyah memang telah menghasilkan banyak
intelektual dan aktivis kreatif yang mampu menjalankan organisasi Muhammadiyah
dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Bagaimana
dengan kebudayaan?
Strategi Kebudayaan
Minimnya perhatian terhadap kajian dan
gerakan kebudayaan mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah perlu mengkaji ulang
gerakan dakwah kulturalnya. Selama ini, gerakan kebudayaan yang dilakukan
Muhammadiyah belum begitu membumikan kebudayaan Indonesia: kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Maka, menjadi pertanyaan, apakah Muhammadiyah
telah mengidentifikasi nilai-nilai budaya yang signifikan dengan cita-cita
bangsa? Karena itu, perjuangan penggiat seni dan kebudayaan di Muhammadiyah
seharusnya dikonsolidasi. Mereka acap kali terpinggirkan dan tak diperhatikan.
Muhammadiyah malah tampak lebih banyak menjalankan rutinitas organisasi semata.
Ungkapan Kang Moeslim bahwa Muhammadiyah adalah tenda kultural tampaknya belum
mendarat pada praksisnya.
Bidikan strategi kebudayaan Muhammadiyah
dalam konteks kekinian adalah fasilitasi berbagai dinamika budaya, ekspresi,
dan gagasan yang beragam. Tidak bisa semua kebudayaan dan ekspresinya
disamakan. Kebudayaan adalah sesuatu yang harus diuji oleh masa dan zaman.
Kebebasan berekspresi akan tersaring oleh berbagai filter, seperti agama, nilai
sosial, adat, dan seterusnya.
Strategi kebudayaan Muhammadiyah semestinya
memiliki watak kebudayaan yang progresif. Jika tak punya watak budaya, gerakan
Muhammadiyah cenderung terlena oleh rutinitas kerja ormas seperti biasanya. Di
samping itu, Muhammadiyah perlu ideologi kebudayaan. Tanpa itu, Muhammadiyah
akan terombang-ambing dalam lintas zaman yang hampir tak bertuan.
Muhammadiyah lahir di Indonesia, oleh orang
Indonesia, dan dalam keragaman budaya Indonesia. Maka, ideologi Pancasila mesti
dikedepankan untuk melakukan gerakan kebudayaan.
Sebagai ormas sosial keagamaan yang
landasannya keislaman dan keindonesiaan, Muhammadiyah perlu mengembangkan budaya
lokal, menjaga kedaulatan budaya bangsa, menumbuh-kembangkan kebebasan berpikir
dan berekspresi dengan tetap dalam bingkai keimanan.
Wajah Muhammadiyah
Yang dapat mengubah keadaan tentu saja adalah
pimpinan dan warga Muhammadiyah. Pernyataan ini adalah ekspresi otokritik
terhadap keringnya kajian dan aktivitas kebudayaan di tubuh Muhammadiyah.
Kerja kebudayaan dapat mengekspresikan zaman
sekaligus dapat mengkritik zaman. Kebudayaan berkembang seiring perubahan
zaman. Namun, hal ini tak mesti meniadakan ”ibu kebudayaan” bangsa ini. Sejalan
dengan spirit teologi al-Maun yang sering disuarakan Kang Moeslim, gerakan
kebudayaan Muhammadiyah hendaknya mampu membebaskan dan memberikan pencerahan
kepada rakyat dan adat yang tertindas.
Selain itu, gerakan kebudayaan Muhammadiyah
juga hendaknya menjadi pembela moralitas ketika kesadaran elite dan kesadaran
rakyat kian menurun akibat sempitnya nurani solidaritas. Hal ini menjadi
penting terutama karena sebagian anggota legislatif ataupun pejabat eksekutif
telah menjadikan kebudayaan sebagai alat legitimasi kepentingan golongannya.
Muhammadiyah juga berkewajiban melapangkan
ruang sempit nurani solidaritas sebagai kontribusi baru bagi bangsa. Terutama,
generasi muda Muhammadiyah yang sekarang mulai lupa substansi gerakan
pencerahan. Jangan sampai Indonesia dan juga Muhammadiyah seakan mengalami
seperti apa yang pernah dikatakan Mochtar Lubis, wajah lama tak keruan di kaca,
wajah baru belum jua jelas.
Akhirnya, diperlukan peran strategis
kebudayaan Muhammadiyah sebagai tenda kultural yang meliputi kesadaran untuk
mengakui dan menghormati seni dan budaya sebagai tulang punggung peradaban
bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar