Kang
Moeslim dan Muhammadiyah
Ahmad
Najib Burhani ; Kandidat
Doktor Universitas California-Santa Barbara; Peneliti LIPI
KOMPAS, 09 Juli 2012
Kang Moeslim Abdurrahman berencana
mengumpulkan anak-anak muda Muhammadiyah yang sepanjang 2002-2006 dia kumpulkan
dan bina dalam wadah Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Mereka kemudian
bisa belajar ke sejumlah negara untuk program master atau doktor.
Di antara mereka yang telah atau hampir
selesai adalah Tuti Alawiyah (PhD, Universitas Texas-Austin), Hilman Latief
(PhD, Universitas Utrecht), Alpha Amirrachman (PhD, Universitas Amsterdam), Ai
Fatima (PhD, Universitas Leeds), Nur Hidayah (PhD, Universitas Melbourne), Boy
Pradana (PhD, NUS), Andar Nubowo (PhD, Sorbonne), dan saya (PhD, Universitas
California-Santa Barbara).
Namun, ketika kami murid-murid Kang Moeslim
pulang dan berniat bertemu dengannya, menghidupkan lagi jaringan yang dulu
dibangun, Kang Moeslim meninggalkan kami untuk menghadap Ilahi. Dia
meninggalkan kami sebelum kami sempat mengucapkan terima kasih dan membalas
jasa-jasanya.
Orang Pinggiran
Banyak hal yang telah Kang Moeslim ajarkan
kepada kami. Di antaranya adalah tiga prinsip dalam mereformasi Muhammadiyah:
hermeneutika, teori sosial, dan gerakan sosial baru. Berbulan-bulan kami digembleng
untuk memahami dan membumikan ketiganya dalam tubuh Muhammadiyah.
Hal lain yang Kang Moeslim wariskan kepada
kami anak-anak dan organisasi Muhammadiyah adalah pengembangan ”dakwah
kultural” dan kepedulian kepada buruh, petani, dan nelayan. Dua bidang ini
sebelumnya tak banyak disentuh Muhammadiyah. Muhammadiyah terlihat sebagai
organisasi puritan yang tak bersahabat dengan kultur lokal di Indonesia,
seperti seni tradisional dan adat-istiadat. Kang Moeslim mengajak kami
merangkul kultur lokal sebagai bagian dari Muhammadiyah.
Demikian pula dengan buruh, petani, dan
nelayan. Kang Moeslim terus mengingatkan dan mengajak anak-anak Muhammadiyah
bahwa doktrin al-Ma’un (Q. 107: 1-7) yang ditanamkan pendiri Muhammadiyah, KH
Ahmad Dahlan, adalah untuk membebaskan orang-orang tertindas, secara kultural
ataupun struktural, termasuk buruh, tani, nelayan. Semangat ini terkesan telah
diabaikan Muhammadiyah.
Hak Minoritas
Tentu tak semua pesan dan nasihat mulia Kang
Moeslim bisa kita wujudkan. Saya pribadi hanya bisa menekuni satu pesan Kang
Moeslim, yaitu membela, dalam konteks akademik, nasib dan hak-hak kelompok
agama minoritas. Inilah salah satu alasan mengapa saya mengambil program doktor
dengan keahlian agama-agama minoritas pecahan dari Islam, seperti Ahmadiyah,
Baha’i, Isma’ili, Yazidi, dan Druze. Nasib dan posisi mereka dalam masyarakat
Muslim belakangan sangat memprihatinkan.
Ahmadiyah di Indonesia, misalnya, adalah yang
paling mengalami persekusi. Menurut Setara Institute (2008), dari 265 kasus
intoleransi keagamaan 2008, 193 kasus (73 persen) berkaitan dengan Ahmadiyah.
Nasib mereka bahkan lebih buruk dari non-Muslim secara keseluruhan.
Di negeri ini, tak banyak yang menekuni
secara akademik persoalan teologi agama-agama minoritas pecahan Islam itu dan membuat
pembelaan akademik terhadap hak-hak mereka. Mengikuti kepedulian Kang Moeslim,
saya memilih bidang ini sebagai karier akademik dan sosial.
Selamat
jalan Kang Moeslim. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar