Bersih-Bersih
Badan Anggaran
Febri Diansyah ; Peneliti
Hukum Indonesia Corruption Watch
KORAN
TEMPO, 13 Juli 2012
Lagi, seorang anggota Badan
Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat RI ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Ia diduga menerima aliran dana terkait dengan pengadaan
Al-Quran dan proyek lainnya di Kementerian Agama. Kader Partai Golkar ini
menambah panjang deretan anggota DPR RI yang diproses dengan tuduhan korupsi
oleh KPK. Sebuah jabatan yang sebelumnya nyaris tak tersentuh hukum.
Penetapan tersangka ini membuat
kita ingat akan salah satu perdebatan yang alot dalam rapat kerja PPATK dengan
Komisi III DPR RI, Februari 2012. Saat itu Ketua PPATK mengatakan lembaganya
sedang menelusuri lebih dalam 2.000 transaksi keuangan mencurigakan yang
terkait dengan anggota Badan Anggaran DPR. Sempat pula terekam sebuah kejadian
yang janggal, karena laporan PPATK untuk menjawab pertanyaan DPR dicoret dengan
tinta hitam tepat pada halaman 21 di bagian yang menyebutkan soal 2.000 transaksi.
Meskipun belum tentu semua
transaksi tersebut bermasalah secara pidana, tampaknya satu per satu temuan
tersebut mulai diungkap KPK. Setelah sebelumnya WON dari Fraksi PAN diajukan ke
persidangan dengan dakwaan korupsi dan pencucian uang, sekarang proses terhadap
ZD tinggal menunggu waktu.
Terlepas dari kemarahan dan
sensitifnya kasus yang menjerat kader Partai Golkar ini, publik diharapkan juga
ikut mengawal proses hukum yang terjadi nantinya. Perlu dipastikan agar KPK
tidak berhenti pada pelaku personal, karena sulit rasanya kita percaya korupsi
seperti ini dilakukan secara perorangan. Hal ini mengingat, proses pembahasan
hingga persetujuan alokasi anggaran untuk proyek tertentu tidaklah dapat
diputuskan oleh satu orang.
Selain itu, proses hukum terhadap
WON perlu dijadikan pelajaran bagi KPK untuk memproses ZD. Jika dalam kasus WON
ini KPK tidak berhenti pada dugaan suap/gratifikasi terkait dengan beberapa
proyek DPPID, tapi juga menggunakan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian
Uang karena menemukan transaksi yang janggal dengan jumlah signifikan di
rekening Bank Mandiri senilai lebih dari Rp 50 miliar, maka hal yang sama dapat
diterapkan pada ZD. Tentu, jika dalam perjalanan penyidikan ditemukan indikasi
adanya dugaan pencucian uang.
Sesuai dengan Pasal 74, KPK tentu
saja punya ruang untuk melakukan penyidikan pencucian uang, jika menemukan
bukti permulaan yang cukup saat melakukan penyidikan korupsi. Hal ini tidak
benar-benar baru. Ada dua kasus yang sudah diterapkan oleh KPK, yaitu terhadap
Bendahara Umum Partai Demokrat, dan anggota Banggar dari Fraksi PAN yang baru
saja melewati agenda persidangan pembacaan putusan sela oleh hakim.
KPK juga perlu diingatkan agar
menggunakan Undang-Undang Pencucian Uang secara maksimal. Meskipun harus diakui mindset “penyidik korupsi” tidak mudah diubah
dengan cepat, dan sumber daya KPK juga tidak tak terbatas, peluang UU TPPU ini
seharusnya disambut KPK secara antusias. Betapa tidak, aset seperti rumah dan
kendaraan mewah yang dinilai janggal dibanding penghasilan yang sah dan juga
dana mencurigakan di rekening tersangka dapat dengan mudah disita. Aliran dana
haram pun dapat ditelusuri sehingga pihak penerima atau pelaku pencucian uang
pasif dapat diproses.
Pemiskinan Koruptor
Dalam persidangan, beban pembuktian
bagi jaksa penuntut umum tidak sesulit ketika membuktikan tindak pidana
korupsi. Dalam Pasal 77 UU No. 8/2010 ditegaskan, “Untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Dengan kata lain, tugas JPU
adalah membuktikan bahwa kekayaan terdakwa tersebut merupakan milik atau
dikuasai oleh terdakwa, meskipun belum tentu atas nama terdakwa. Selanjutnya,
hakim akan memerintahkan terdakwa membuktikan bahwa hartanya bukan hasil
korupsi (pembalikan beban pembuktian).
Memang, KPK perlu menguraikan
fakta-fakta dengan konsep pembuktian circumstance evidence bahwa memang
setidaknya patut diduga kekayaan tersebut berasal dari korupsi. Dilihat dari
sejumlah kasus yang sudah divonis di persidangan, hal ini biasanya dilakukan
dengan menunjukkan berapa sesungguhnya estimasi kekayaan jika berasal dari
penghasilan yang sah. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), yang
database-nya berada di KPK, dapat menjadi salah satu petunjuk tentang
kepemilikan aset. Konsep pengisian LHKPN yang terletak pada kejujuran pelapor
dapat menjadi salah satu petunjuk kuat jika ada aset lain yang tidak dilaporkan
alias disembunyikan. Estimasi penghasilan resmi pun dapat dihitung dan dibuktikan
JPU, termasuk jika ada penghasilan dari usaha yang dilakukan oleh terdakwa.
Melalui kombinasi yang tepat
penggunaan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencucian Uang oleh penegak hukum,
kita berharap upaya pemberian efek jera melalui pemiskinan koruptor tidak lagi
menjadi wacana an sich. Sebab, jika di persidangan nantinya terdakwa gagal
meyakinkan hakim dengan bukti-bukti yang cukup bahwa kekayaan yang disita
penyidik dan JPU bukan berasal dari korupsi, aset tersebut dapat dirampas oleh
negara.
Jika selama ini terdapat asumsi yang berkembang bahwa biasanya
“koruptor” hanya tertangkap untuk satu kasus, sementara tidak tertutup
kemungkinan ia sudah melakukan sejumlah korupsi namun tak tersentuh, dengan UU
Pencucian Uang ini aset hasil kejahatan (proceeds of crime) yang selama
ini tak tersentuh bisa dibongkar kembali.
Persoalannya, dapatkah hal ini
diterapkan terhadap semua anggota Badan Anggaran DPR terkait dengan 2.000
transaksi keuangan mencurigakan yang sudah ditemukan PPATK? Jawabnya, ya dan
tidak. Pertama, karena memang belum tentu semua transaksi tersebut ada indikasi
pidana. Dan, kedua, yang terpenting adalah masih menjadi perdebatan selama ini
apakah KPK dapat langsung memproses dengan UU Pencucian Uang dan menuntut
dengan dakwaan TPPU di persidangan tanpa perlu ada tindak pidana korupsi?
Mengacu pada penjelasan Pasal 74
UU Nomor 8 Tahun 2010, tampaknya hal ini tidak dimungkinkan. Dengan kata lain,
indikasi adanya tindak pidana korupsi (awal) masih diperlukan KPK. Hal ini
sangat membutuhkan bantuan PPATK agar, dalam setiap temuan aliran dana dan
transaksi mencurigakan, PPATK juga memaksimalkan kewenangan baru untuk
melakukan pengumpulan informasi seperti diatur dalam Pasal 41 ayat (1), serta
fungsi analisis dan pemeriksaan di Pasal 44 ayat (1) yang bahkan mencakup juga
permintaan sejak awal dilakukannya penyadapan pada lembaga berwenang.
Meskipun, dalam proses pembahasan
di DPR, kewenangan penyelidikan PPATK di RUU Pencucian Uang tersebut sempat
dikebiri, diharapkan PPATK dapat memaksimalkan kewenangan pemeriksaan dan
analisis tersebut. Dengan demikian, ribuan temuan PPATK lebih memberikan
dentuman dan membantu penegak hukum membongkar korupsi dan pencucian uang yang
sungguh kian meresahkan tersebut. Ini saatnya Banggar dibongkar. Bukan untuk
menghancurkan atau mendelegitimasinya, melainkan memperkuatnya dengan
membersihkan gedung rakyat tersebut dari hama korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar