PERGURUAN
TINGGI DI INDONESIA :
Anggaran
Perguruan Tinggi, Mencari Formula Terbaik
Laporan Khusus Tim Kompas (Orin
Basuki)
KOMPAS,
22 Juli 2012
Biaya kuliah di Indonesia sama sekali tidak
murah. Yang termurah setara 38 persen dari pendapatan per kapita. Bandingkan
dengan di Finlandia yang cuma 1 persen dari pendapatan per kapita.
Ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada
Maret 2010, langsung buyar juga status badan hukum milik negara (BHMN) yang
disandang tujuh perguruan tinggi negeri. Ketujuh perguruan tinggi itu adalah
Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada,
Institut Pertanian Bogor, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas
Airlangga, dan Universitas Sumatera Utara.
Padahal, dengan menyandang status BHMN itulah
ketujuh perguruan tinggi negeri tersebut memiliki otonomi akademis dan
nonakademis. Untuk yang terakhir, nonakademis, meliputi juga otonomi keuangan.
Anggota Komisi X DPR sekaligus mantan Ketua
Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Tinggi, Rully Chairul
Azwar, melihat adanya kesenjangan antara daya beli masyarakat yang rendah dan
biaya kuliah yang tinggi. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia sekitar Rp 26,3
juta per tahun, sedangkan biaya kuliah paling murah—di jurusan sosial—Rp 10
juta per tahun.
Biaya akan lebih mahal jika masuk jurusan
teknik, yakni Rp 14 juta-Rp 20 juta per tahun. Apalagi, jurusan kedokteran yang
dapat menyedot ongkos Rp 32 juta hingga Rp 62 juta per tahun.
Mengapa biaya tinggi itu terjadi? Masalahnya,
tiga sumber penerimaan perguruan tinggi yang ada tidak satu pun yang berfungsi
maksimal. Sumber penerimaan itu adalah, pertama, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kedua,
masyarakat (berupa dana abadi) dan industri. Ketiga, usaha yang dirintis
perguruan tinggi sendiri.
”Mahasiswa memang salah satu sumber, tetapi
jangan dieksploitasi dengan tarif tinggi. Ketujuh BHMN itu mengambil sumber
dari mahasiswa karena sumber penerimaan lain tidak jalan. Sumber dari APBN
tidak masuk dan dana abadi tidak lancar karena dana abadi belum berkembang di
Indonesia. Sementara industri belum percaya mendanai penelitian di
universitas,” ujar Rully, di Jakarta, pekan lalu.
Kondisi itu menyebabkan biaya pendidikan
tinggi di Indonesia tergolong mahal
dibandingkan dengan negara lain. Sebagai
contoh, ongkos kuliah di Jepang dan Amerika Serikat masing-masing sekitar 29
persen dan 26 persen dari pendapatan per kapita penduduknya. Biaya kuliah
paling murah ada di Finlandia yang menetapkan 1 persen dari pendapatan per
kapitanya, sekitar 271 dollar AS per tahun (setara Rp 2,5 juta).
Sementara
biaya kuliah paling murah di Indonesia setara 38 persen dari pendapatan per
kapita.
Subsidi
Ketimpangan antara daya beli dan biaya kuliah
itu idealnya ditutup oleh intervensi pemerintah, yakni dengan subsidi, seperti
diamanatkan Pasal 89 Ayat 2 RUU Pendidikan Tinggi. Pada saat yang sama,
pemerintah, masyarakat, dan kalangan industri dapat memberikan beasiswa untuk
menumbuhkan kekuatan mahasiswa agar mampu membayar biaya kuliahnya.
Soal beasiswa ini, pemerintah baru memulai
terobosan, yakni memanfaatkan penerimaan minyak dan gas yang meningkat seiring
dengan kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional. Dana ini dihimpun
dan dikelola sebuah Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
”Lembaga ini ada di bawah koordinasi
Kementerian Keuangan dan mendapatkan modal bukan hanya dari dana abadi yang
dipisahkan dari kenaikan anggaran belanja tahun 2009, melainkan juga dari
kenaikan anggaran belanja pada beberapa APBN Perubahan (APBN-P),” kata Direktur
Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Herry Purnomo, di Jakarta, awal Juli.
Dalam nota keuangan APBN-P 2012 tercatat,
lembaga tersebut mengelola dana pengembangan pendidikan nasional (DPPN) sebesar
Rp 7 triliun, lebih besar dari alokasi sebelumnya yang ditetapkan Rp 1 triliun.
Bahkan, data Kementerian Kesejahteraan Rakyat dalam sebuah paparan pada 26
April 2012 menargetkan akan ada tambahan DPPN senilai Rp 2,5 triliun untuk
2013.
Dengan DPPN ini, anggaran pendidikan yang
tersedia dalam APBN menjadi lebih besar, yakni Rp 289,9 triliun untuk 2012
(belum termasuk tambahan Rp 6 triliun pada DPPN) dan ditargetkan Rp 316,5
triliun pada 2013. Namun, sebagian besar tidak digunakan untuk mendanai
operasional pendidikan, tetapi untuk gaji guru melalui mekanisme dana alokasi
umum ke daerah.
Belum Layak
Wakil Ketua Majelis Wali Amanat Institut
Teknologi Bandung Djoko Suharto di Jakarta, pekan lalu, menyebutkan, anggaran
pendidikan dalam APBN itu memang mencapai 20 persen dari anggaran belanja
negara, tetapi masih pada kisaran 3,7 persen produk domestik bruto (PDB).
Jumlah itu belum layak menopang investasi pendidikan yang disetarakan dengan
negara-negara besar di dunia, seperti China. Anggaran pendidikan idealnya
setara 10 persen PDB atau sekitar Rp 600 triliun.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Johannes Gunawan di Jakarta juga menangkap pertentangan antara cita-cita
mendasar penyelenggaraan pendidikan tinggi dan kehendak UU perguruan tinggi. Di
satu sisi, otonomi pendidikan tinggi adalah kodrat perguruan tinggi sehingga
negara (pemerintah) bertanggung jawab menjamin keberadaan otonomi itu.
Namun, dalam RUU Pendidikan Tinggi versi 10
Juli 2012 muncul pengaturan bahwa pelaksanaan otonomi perguruan tinggi diatur
dalam peraturan pemerintah, yang notabene disusun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
”Jika otonomi perguruan tinggi adalah
kewenangan asli yang secara atribusi diperoleh dari undang-undang, peraturan
perundang-undangan lain yang menghendaki otonomi perguruan tinggi harus
diberikan oleh Mendikbud jelas bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal
50 Ayat (6) UU Sistem Pendidikan Nasional,” kata Johannes.
Lihat pengalaman Universitas Edinburgh,
Skotlandia, pada 1990. Universitas dengan 11.500 mahasiswa ini mengalami
defisit neraca 1 juta poundsterling karena kontribusi pemerintah merosot
drastis. Solusinya adalah memangkas semua kegiatan yang tak ada kaitannya
dengan pendidikan dan penelitian.
Kendati ada pemangkasan, semua sumber daya
yang tersisa tetap dialokasikan untuk memperkuat identitasnya sebagai pusat
pendidikan tinggi dan riset terkemuka di Inggris. Artinya, kodrat perguruan
tinggi sebagai penyelenggara pendidikan dan riset yang otonom tidak bisa
ditawar-tawar lagi dalam kondisi sesulit apa pun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar