Akhir
Kekuasaan al-Assad
Zuhairi Misrawi ; Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah
SINDO,
21 Juli 2012
Situasi
politik di Suriah semakin memanas.Bom yang mengguncang Pusat Pertahanan
Nasional, yang menewaskan Menteri Pertahanan Assaf Sawkat, merupakan sinyal
buruk bagi rezim Bashar al-Assad. Damaskus, ibu kota Suriah, merupakan lokus
utama dari pertarungan antara kubu oposisi dan kubu rezim.
Demonstrasi
yang digelar kubu oposisi di sejumlah kota,seperti Homs, Hama, dan Latakia,
tidak mampu menuntaskan kekuasaan al-Assad. Pilihan untuk melakukan perlawanan
di Damaskus akan menjadi pertarungan yang sesungguhnya dalam melanjutkan misi
revolusi.
Ada dua alasan kuat yang dapat menjadi sinyal kuat tentang goyahnya kursi kekuasaan al-Assad: Pertama, masifnya pembelotan pasukan yang sebelumnya loyal terhadap pemimpin tiran itu. Orang lingkaran dalam al- Assad yang membelot, Manaf Tlas,yang diikuti oleh sejumlah pimpinan militer lainnya.Duta Besar Suriah untuk Irak juga mengambil langkah “murtad” dari rezim.Kabar pembelotan tersebut semakin memuncak tatkala Pusat Pertahanan Nasional Suriah berhasil diluluhlantakkan oleh mereka (David Lesch,CNN,19/7).
Menurut Burhan Gholyun, salah satu pimpinan oposisi, bom yang diledakkan di Pusat Pertahanan Nasional merupakan aksi terencana yang dilakukan tentara yang membelot. Artinya, sejumlah militer yang selama ini menjadi tameng bagi rezim al-Assad telah melakukan migrasi dukungan kepada pihak oposisi. Dalam seminggu ini, mereka telah merencanakan perlawanan yang sistematis terhadap rezim al-Assad.
Kedua, dukungan yang terus mengalir dari dunia internasional agar Bashar al-Assad menyerahkan kekuasaan secara damai kepada pihak oposisi. Pengerahan militer yang dikerahkan al-Assad tidak akan mampu membendung perlawanan dari pihak oposisi. Petinggi militer dan sejumlah pihak yang selama ini loyal terhadap al-Assad telah menarik dukungan terhadap rezim sehingga dapat menambah amunisi bagi oposisi.
Di samping itu, dukungan dari Muhammad Morsi, presiden Mesir terpilih, kepada pihak oposisi semakin menambah kekuatan moral agar misi revolusi terus dipancangkan. Intinya, Bashar al-Assad sudah kehilangan legitimasi politik dari dunia internasional, terutama dari negara-negara Arab yang selama ini menjadi mitra mereka. Kedua hal di atas me-rupakan faktor mendasar dari realitas defisit dukungan politik serius yang dihadapi oleh al-Assad, yang dapat mengancam kursi empuk kekuasaannya.
Perang kota yang terjadi di Damaskus akan semakin memuluskan misi oposisi untuk melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan. Memang, rezim al-Assad masih bisa bernafas lega karena Rusia dan China berpihak kepada dirinya.Dalam sidang DK PBB yang ketiga kalinya dalam menyikapi karut-marut politik di Suriah, kedua negara tersebut masih menggunakan veto untuk mendukung rezim al-Assad.
Di satu sisi,dukungan China dan Rusia terhadap al-Assad sangat disayangkan karena kepentingan ekonomi dan politik diutamakan dari kepentingan kemanusiaan. Kedua negara ini bersikukuh untuk merangkul al-Assad sebagai simpati terhadap Iran. Di samping itu, rezim al-Assad dalam sejarahnya juga merupakan kakitangan kedua negara tersebut di Timur Tengah.Persenjataan yang digunakan oleh rezim al- Assad yang telah membunuh ribuan warganya bahkan senjata buatan Rusia.
Meskipun demikian, dukungan tersebut tidak bermakna apa-apa di tengah kuatnya pihak oposisi di Suriah. Dukungan Rusia dan China hanya mampu menghambat upaya intervensi militer dari AS dan sekutunya, sebagaimana terjadi di Libya yang berhasil mencampakkan rezim Moammar Qaddafi. Tetapi, harus diakui, semangat perlawanan oposisi dari hari ke hari semakin membuncah.
Kalangan intelektual,aktivis,dan militer mempunyai kesepakatan untuk melanjutkan misi revolusi dalam rangka menggulingkan rezim al-Assad. Saat ini Bashar al-Assad sedang menghadapi dua dilema serius: Pertama,mempercepat transisi politik kepada pihak oposisi agar secepatnya dilakukan pemilu yang demokratis dalam rangka membentuk konstitusi baru dan memilih pemimpin baru, sebagaimana dilakukan Yaman.
Skenario ini mempunyai dilema tersendiri karena al- Assad tidak mempunyai dukungan politik yang cukup. Sekte Alawite yang selama ini berada di belakang dirinya hanya sekitar 11%.Tidak ada jaminan bahwa al-Assad setelah diganti akan mendapatkan perlakuan hukum yang baik mengingat banyaknya korban sipil yang telah dibunuh oleh tentaranya.
Kedua, mempertahankan “perang bersaudara”, sebagaimana terjadi sekarang.Bashar al-Assad menggunakan segala upaya untuk meredam oposisi meskipun dengan menumpahkan darah. Langkah ini jauh lebih dilematis karena akan membuat pihak oposisi semakin militan. Jatuhnya korban sipil dalam jumlah yang besar hanya akan menarik simpati dari para loyalisnya untuk keluar dari barisannya.
Jika tidak hati-hati, skenario Libya bahkan akan terulang kembali, yaitu saat rakyat yang dulu mencintainya akan membunuhnya. Jika skenario ini yang terjadi, ini sama sekali tidak hanya akan menjadi akhir dari rezim al-Assad yang telah berkuasa lebih dari enam dekade. Sekte Alawite yang selama ini menikmati kekuasaan bahkan akan termarginalkan. Keluarga al-Assad pun akan menjadi sasaran empuk agar menghadapi peradilan, sebagaimana terjadi di Libya.
Maka itu,idealnya al-Assad memilih skenario yang pertama dengan melakukan transisi kekuasaan secepatnya kepada pihak oposisi dengan berbagai kesepakatan. Proposal ini sebenarnya telah disodorkan oleh oposisi setahun yang lain,bahkan mereka menjamin impuniti politik. Nasi belum menjadi bubur. Solusi politik belum terlambat. Bola politik ada di kaki Rusia dan China.Peran kedua negara ini sangat sentral, terutama dalam rangka membujuk Bashar al-Assad agar bersikap legawa.
Langkah ini penting bagi stabilitas politik dan ekonomi. Jika tetap dibiarkan seperti ini, akan terjadi perang saudara, yang hampir bisa dipastikan akan berujung dengan rapuhnya kekuasaan al-Assad yang akan berakhir pada penggulingannya. ●
Ada dua alasan kuat yang dapat menjadi sinyal kuat tentang goyahnya kursi kekuasaan al-Assad: Pertama, masifnya pembelotan pasukan yang sebelumnya loyal terhadap pemimpin tiran itu. Orang lingkaran dalam al- Assad yang membelot, Manaf Tlas,yang diikuti oleh sejumlah pimpinan militer lainnya.Duta Besar Suriah untuk Irak juga mengambil langkah “murtad” dari rezim.Kabar pembelotan tersebut semakin memuncak tatkala Pusat Pertahanan Nasional Suriah berhasil diluluhlantakkan oleh mereka (David Lesch,CNN,19/7).
Menurut Burhan Gholyun, salah satu pimpinan oposisi, bom yang diledakkan di Pusat Pertahanan Nasional merupakan aksi terencana yang dilakukan tentara yang membelot. Artinya, sejumlah militer yang selama ini menjadi tameng bagi rezim al-Assad telah melakukan migrasi dukungan kepada pihak oposisi. Dalam seminggu ini, mereka telah merencanakan perlawanan yang sistematis terhadap rezim al-Assad.
Kedua, dukungan yang terus mengalir dari dunia internasional agar Bashar al-Assad menyerahkan kekuasaan secara damai kepada pihak oposisi. Pengerahan militer yang dikerahkan al-Assad tidak akan mampu membendung perlawanan dari pihak oposisi. Petinggi militer dan sejumlah pihak yang selama ini loyal terhadap al-Assad telah menarik dukungan terhadap rezim sehingga dapat menambah amunisi bagi oposisi.
Di samping itu, dukungan dari Muhammad Morsi, presiden Mesir terpilih, kepada pihak oposisi semakin menambah kekuatan moral agar misi revolusi terus dipancangkan. Intinya, Bashar al-Assad sudah kehilangan legitimasi politik dari dunia internasional, terutama dari negara-negara Arab yang selama ini menjadi mitra mereka. Kedua hal di atas me-rupakan faktor mendasar dari realitas defisit dukungan politik serius yang dihadapi oleh al-Assad, yang dapat mengancam kursi empuk kekuasaannya.
Perang kota yang terjadi di Damaskus akan semakin memuluskan misi oposisi untuk melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan. Memang, rezim al-Assad masih bisa bernafas lega karena Rusia dan China berpihak kepada dirinya.Dalam sidang DK PBB yang ketiga kalinya dalam menyikapi karut-marut politik di Suriah, kedua negara tersebut masih menggunakan veto untuk mendukung rezim al-Assad.
Di satu sisi,dukungan China dan Rusia terhadap al-Assad sangat disayangkan karena kepentingan ekonomi dan politik diutamakan dari kepentingan kemanusiaan. Kedua negara ini bersikukuh untuk merangkul al-Assad sebagai simpati terhadap Iran. Di samping itu, rezim al-Assad dalam sejarahnya juga merupakan kakitangan kedua negara tersebut di Timur Tengah.Persenjataan yang digunakan oleh rezim al- Assad yang telah membunuh ribuan warganya bahkan senjata buatan Rusia.
Meskipun demikian, dukungan tersebut tidak bermakna apa-apa di tengah kuatnya pihak oposisi di Suriah. Dukungan Rusia dan China hanya mampu menghambat upaya intervensi militer dari AS dan sekutunya, sebagaimana terjadi di Libya yang berhasil mencampakkan rezim Moammar Qaddafi. Tetapi, harus diakui, semangat perlawanan oposisi dari hari ke hari semakin membuncah.
Kalangan intelektual,aktivis,dan militer mempunyai kesepakatan untuk melanjutkan misi revolusi dalam rangka menggulingkan rezim al-Assad. Saat ini Bashar al-Assad sedang menghadapi dua dilema serius: Pertama,mempercepat transisi politik kepada pihak oposisi agar secepatnya dilakukan pemilu yang demokratis dalam rangka membentuk konstitusi baru dan memilih pemimpin baru, sebagaimana dilakukan Yaman.
Skenario ini mempunyai dilema tersendiri karena al- Assad tidak mempunyai dukungan politik yang cukup. Sekte Alawite yang selama ini berada di belakang dirinya hanya sekitar 11%.Tidak ada jaminan bahwa al-Assad setelah diganti akan mendapatkan perlakuan hukum yang baik mengingat banyaknya korban sipil yang telah dibunuh oleh tentaranya.
Kedua, mempertahankan “perang bersaudara”, sebagaimana terjadi sekarang.Bashar al-Assad menggunakan segala upaya untuk meredam oposisi meskipun dengan menumpahkan darah. Langkah ini jauh lebih dilematis karena akan membuat pihak oposisi semakin militan. Jatuhnya korban sipil dalam jumlah yang besar hanya akan menarik simpati dari para loyalisnya untuk keluar dari barisannya.
Jika tidak hati-hati, skenario Libya bahkan akan terulang kembali, yaitu saat rakyat yang dulu mencintainya akan membunuhnya. Jika skenario ini yang terjadi, ini sama sekali tidak hanya akan menjadi akhir dari rezim al-Assad yang telah berkuasa lebih dari enam dekade. Sekte Alawite yang selama ini menikmati kekuasaan bahkan akan termarginalkan. Keluarga al-Assad pun akan menjadi sasaran empuk agar menghadapi peradilan, sebagaimana terjadi di Libya.
Maka itu,idealnya al-Assad memilih skenario yang pertama dengan melakukan transisi kekuasaan secepatnya kepada pihak oposisi dengan berbagai kesepakatan. Proposal ini sebenarnya telah disodorkan oleh oposisi setahun yang lain,bahkan mereka menjamin impuniti politik. Nasi belum menjadi bubur. Solusi politik belum terlambat. Bola politik ada di kaki Rusia dan China.Peran kedua negara ini sangat sentral, terutama dalam rangka membujuk Bashar al-Assad agar bersikap legawa.
Langkah ini penting bagi stabilitas politik dan ekonomi. Jika tetap dibiarkan seperti ini, akan terjadi perang saudara, yang hampir bisa dipastikan akan berujung dengan rapuhnya kekuasaan al-Assad yang akan berakhir pada penggulingannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar