Tata
Niaga Baru dan KEN
Djasarmen
Purba ; Anggota DPD RI asal Kepri
SUMBER
: REPUBLIKA,
26 Mei 2012
Belum
lama ini, Menteri Koordinator Perekono mian Hatta Rajasa mengumumkan rencana pemerintah
menghentikan ekspor bahan mentah pada 2014. Langkah ini ditempuh guna
meningkatkan nilai tambah ekspor dan memperkuat ketahanan energi nasional
(KEN).
Sekilas,
kebijakan tampak begitu memesona, tetapi bila dilihat lebih jauh kebijakan ini
baru terbatas pada komoditas tertentu, yakni, nikel, timah, dan bauksit.
Sedangkan, bahan tambang lain yang jauh lebih strategis bagi ketahanan energi
nasional, seperti batu bara, belum mengalami hal serupa.
Padahal,
selama ini salah satu faktor utama kenaikan tarif dasar listrik (TDL) adalah
tingginya harga yang harus dibayar Perusahaan Listrik Negara (PLN) kepada
perusahaan pemasok batu bara. PLN membeli batu bara (bahan bakar primer
pembentuk energi listrik) di atas harga ekspor sehingga menyebabkan Biaya Pokok
Penyediaan (BPP) tenaga listrik lebih tinggi dari TDL. Dan, ini tentu menambah
beban pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Alokasi
subsidi listrik berdasarkan APBN 2012 sebesar Rp 64,97 triliun jauh melampaui
subsidi 2010 yang hanya sebesar Rp 55,1 triliun. Angka ini kemungkinan akan
terus meningkat seiring dengan kecenderungan penambahan kebutuhan energi
listrik di Indonesia hingga 2025 yang diproyeksi mencapai sekitar 90 ribu MW
(dalam kondisi beban puncak).
Saat
ini, kapasitas terpasang listrik baru mencapai 35 ribu MW dan konsumsi listrik
per kapita pada 2010 sebesar 714,5 kWh. Seiring dengan ambisi menjadikan
Indonesia sebagai kekuatan ekonomi dunia pada 2025 sebagaimana dirancangan
dalam dokumen Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI), kebutuhan akan listrik makin terus meningkat dari tahun ke tahun.
Namun,
tampaknya pemerintah belum mengantisipasi peningkatan konsumsi listrik nasional
secara maksimal. Terbukti sampai sejauh ini, PLN masih mengeluhkan kesulitan
mendapatkan pasokan batu bara karena produsen ba rang tambang itu cenderung
memilih menjualnya ke pasar ekspor.
Kebijakan Proteksi
Satu kebijakan utama yang digunakan pemerintah
untuk mengamakan pasokan batu bara bagi ketersediaan energi dalam negeri.
Yaitu, Kebijakan Batubara Nasional (KBN)—yang merupakan acuan bagi semua pihak
dalam pengembangan dan pemanfaatan batu bara di Indonesia untuk mendukung peningkatan
pemanfaatan batu bara.
Namun
sayangnya, KBN tidak mengatur secara spesifik tentang harga jual batu bara
dalam negeri. Akibatnya, PLN tidak memperoleh pasokan batu bara yang cukup,
bahkan harus membayar dengan harga yang terbilang mahal. Tingginya harga batu
bara yang harus dibayar PLN merupakan dampak dari kebijakan pemerinatah yang
melarang pengusaha menjual murah batu bara.
Pada
akhirnya, kebijakan pemerintah ini tampak seperti ambivalen. Pada satu sisi,
pemerintah ingin pasokan energi dalam negeri terjamin, tetapi di sisi lain
pemerintah mengharapkan peneri ma an negara dari pajak dan royalti batu bara
terus meningkat. Celakamya, pemerintah acap kali lebih mengutamakan kepentingan
penerimaan negara ketimbang pengamanan pasokan energi dalam negeri.
Akibatnya,
setiap tahun kenaikan harga TDL selalu menjadi opsi utama yang dipilih
pemerintah untuk mengatasi meningkatnya subsidi listrik pada APBN. Dan seperti
kita saksikan, pemerintah tampak berputar-putar dalam lingkaran masalah yang
tiada akhir, tanpa tahu jalan keluar.
PP DOM
Guna
keluar dari kemelut tiada akhir tersebut, sudah sejak lama sejumlah kalangan
mengusulkan agar pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang
Domestic Market Obligation (DMO) batu bara yang secara jelas dan tegas mengatur
tentang Harga Patokan Batubara (HPB) dalam negeri, khusus pada perusahaan
listrik negara.
DMO
memang bukan sesuatu yang baru, sejak 2009, Menteri ESDM (Energi dan Sumber
Daya Mineral) telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) No 34 Tahun 2009
Tentang DMO. Namun, kepmen ini tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai
HPB dalam negeri.
Sejalan
dengan kebijakan pemerintah untuk mengamankan pasokan batu bara bagi
ketersediaan listrik dalam negeri, PP DMO haruslah mengatur secara tegas bahwa
harga patokan batu bara di dalam negeri berada di bawah harga terendah ekspor.
Dengan adanya penetapan itu, seluruh harga jual batu bara akan relatif
“seragam“ (sesuai dengan kualitasnya) karena harus mengikuti HPB.
Selain
itu, PP DMO tersebut juga perlu secara tegas mengatur tentang pelarangan ekspor
batu bara untuk kalori tertentu (5.500-5.900 kalori) agar bisa dikonsumsi oleh
konsumen batu bara domestik, termasuk bagi BUMN listrik. Tidak kalah penting
lagi yang perlu diatur dalam PP DMO adalah kewajiban bagi perusahaan-perusahaan
pertambangan batu bara untuk tidak membayar dividen dalam bentuk uang kepada
pemerintah, tetapi dalam bentuk batu bara yang diserahkan kepada PLN oleh
pemerintah. Dengan demikian, PLN dan pemerintah bisa menghemat anggaran tanpa
perlu menaikkan TDL. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar