Negara
dan Kekerasan Ormas
Abdullah
Salam ; Mahasiswa STAIN Surakarta
SUMBER
: SUARA
KARYA, 25 Mei 2012
Aksi kekerasan
yang berlangsung di depan hidung aparat negara terus saja terjadi. Negara gamang
mengatasinya meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berulang kali
menekankan agar negara tidak boleh takhluk pada aksi kekerasan yang meresahkan
rakyat.
Lebih celaka karena aparat negara hanya menonton tindakan itu,
terkesan takut bertindak tegas. Bentrok antardesa bertetangga atau antarkelompok
masyarakat terus terjadi di nenerapa daerah yang mengakibatkan korban luka,
meninggal dunia, dan rusaknya rumah penduduk. Rentetan peristiwa kekerasan kian
menunjukkan negara tak berdaya. Padahal, eskalasi kekerasan massa dapat memicu
aksi yang lebih besar jika polisi tidak segera meredam pemicunya. Data yang
dicatat Setara Institute berkaitan dengan kekerasan terhadap kebebasan
beragama, dua tahun terakhir cukup mengagetkan. Pada 2011 terdapat 244 kasus
dan pada 2010 (117 kasus).
Belum termasuk aksi kekerasan geng motor, organisasi masyarakat
tertentu, dan tawuran pelajar. Data tersebut mengindikasikan, hampir semua
ruang publik tidak ada yang steril dari kekerasan. Rasa aman masyarakat laksana
barang mahal yang tidak mampu dibeli. Padahal, negara memiliki aparat yang
diberi tugas untuk melindungi masyarakat dari keterancaman kekerasan. Juga, ada
instrumen hukum seperti KUHP (Pidana) yang bisa dipakai polisi untuk menindak
tegas pelaku kekerasan dengan membawanya ke ruang pengadilan.
Terkesan polisi tidak berani menempuh risiko jika yang melakukan
kekerasan berbentuk 'massa' atau organisasi masyarakat tertentu. Berbeda jika
rakyat kecil mencuri sandal atau mencuri kakao. Polisi begitu sigap dan cekatan
menangkap dan membawanya ke pengadilan untuk dihukum.
Jaga Pluralisme
Kasus anarkisme massa, termasuk yang menekan aparat negara untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sudah masuk pada tahap membahayakan.
Eskalasinya begitu memprihatinkan dan mengancam kebhinekaan Indonesia. Kalau
tidak menimbulkan kerusakan fisik bangunan atau barang, aksi-aksi tersebut juga
berpotensi dapat menimbulkan korban luka dan meninggal dunia. Apa pun alasan
dan motif yang memicunya, aksi-aksi kekerasan tersebut termasuk tindakan barbar
yang tidak boleh diberi ruang.
Di alam demokrasi saat ini segala ketidakpuasan atau kekecewaan
boleh saja diungkapkan secara terbuka. Tetapi, tidak boleh dilandasi kekerasan
yang menyebabkan pihak lain terganggu atau dirugikan. Dalih apa pun, kekecewaan
terhadap kebijakan negara tidak boleh berwujud tindakan anarkistis. Apalagi,
jika dilakukan oleh sekumpulan orang yang berbentuk massa yang rawan
terprovokasi. Aksi anarkistis tidak boleh menjadi model untuk menumpahkan
segala bentuk kekecewaan ataupun aspirasi.
Tidak boleh dijadikan 'model perjuangan' karena akan menghancurkan
sistem nilai dan tatanan bernegara yang selama ini dijaga untuk merekatkan
pluralisme. Memang konstitusi negara menjamin kebebasan bagi publik untuk
berserikat, berhimpun, dan menyampaikan aspirasinya di ruang publik. Namun,
harus mengacu pada norma hukum dan norma sosial yang berlaku. Saat kekerasan
terus mewarnai penyaluran aspirasi, atau ketika ruang publik mengancam rasa
aman masyarakat untuk beraktivitas tanpa ada tindakan tegas, dipastikan negara
akan kehilangan substansinya sebagai pelindung rakyat.
Negara tidak boleh abai dari kewajibannya melindungi rakyat dari
ancaman, apalagi hanya jadi penonton karena takut berbenturan dengan massa.
Akibat tekanan ekonomi dan ketidakpastian hukum, masyarakat semakin mudah
tersulut marah dan tersinggung meski hanya persoalan sepele. Amuk massa terjadi
di mana-mana, termasuk bentrok antaraparat keamanan dengan meniru ulah pelajar
tingkat SLTP. Tak keliru jika ada yang menuding Presiden SBY gamang menindak
aksi kekerasan dengan membiarkan polisi takhluk pada tekanan ormas tertentu
atau pada tekanan massa.
Salah satu momok yang mengancam rasa aman masyarakat adalah masih
banyaknya warga sipil yang menguasai senjata api (senpi). Polisi gagal
mengawasi Surat Keputusan (SK) Kapolri Nomor: SKEP/ 82/II/ 2004 yang memberi
izin warga sipil tertentu memiliki senpi untuk kepentingan bela diri.
Selain banyak senpi berizin yang disalahgunakan, juga memicu warga
lain yang punya watak kriminal membeli senpi secara gelap atau merakit sendiri
lantaran merasa ditoleransi oleh pemberian izin itu. Masih banyaknya senpi
beredar luas di masyarakat memunculkan ketidakpercayaan rakyat pada kinerja
aparat kepolisian.
Dalam negara hukum, seharusnya sipil tidak diizinkan memiliki
senjata api karena rawan disalahgunakan. Maka, alasan pemberian izin untuk
membela diri merupakan indikasi kelemahan polisi melindungi masyarakat meskipun
polisi mulai menarik senpi yang telanjur diberi izin. Tanggung jawab polisi
sebagai alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang
ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 terabaikan, kalau tidak dikatakan
gagal. Menolong diri sendiri (self help) bagi warga masyarakat dengan
menggunakan senpi sudah pasti akan menimbulkan masalah baru.
Jika warga sipil diberi peluang melawan kekerasan dengan cara
kekerasan lewat senpi, itu membiarkan terjadinya kejahatan. Pemerintah tidak
boleh berdiam diri, membiarkan pemenuhan rasa aman masyarakat berjalan sendiri
tanpa ada program yang jelas dari pemimpin. Negeri ini harus dikelola secara
sistematis dan terprogram, bukan dibiarkan berjalan secara autopilot seperti
pesawat terbang. Jangan sampai rasa bosan masyarakat berubah menjadi rasa
antipati pada pemimpinnya sendiri.
Untuk menjamin ketenteraman masyarakat, izin pemilikan senpi
beralasan untuk dicabut.Tidak boleh ada warga sipil tertentu yang diberi
toleransi memiliki senpi, apalagi jatuh ke tangan yang berwatak koboi. Negara
tidak boleh gamang, apalagi takut melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku
aksi kekerasan. Tegakkan hukum sebagaimana mestinya, tanpa pilih kasih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar