Menghargai
Kemajemukan
Tarmizi
Taher ; Mantan Menteri Agama RI
SUMBER
: SUARA
KARYA, 25 Mei 2012
Kepekaan terhadap kesulitan orang lain dan penghargaan terhadap
perbedaan adalah barang mewah yang harus senantiasa dijaga. Sejarah memberikan
pelajaran kepada kita tentang perang dan pertikaian akibat hilangnya kedua hal
itu dalam kehidupan masyarakat. Maka, siapa pun yang berpotensi merusak
solidaritas kemanusiaan dan kerukunan umat beragama tidak bisa diterima sebagai
bagian dari bangsa ini. Pada dasarnya semua agama memiliki kesinambungan.
Perbedaan konteks sosial-kultural menyebabkan perbedaan penampilan agama.
Kemajemukan yang memegang nilai-nilai toleransi dan pengakuan
kesamaan substansi agama tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran
dan pengakuan itu hanyalah suatu upaya pencarian kalimatun sawa (titik temu)
semua ajaran agama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk saling
menghargai dan menghormati. Bahkan sejatinya antar-pemeluk agama itu mampu
membangun kerja sama yang sinergis dalam mewujudkan nilai-nilai kebajikan
sosial.
Telah terjadi kesalahpahaman di kalangan masyarakat luas bahwa
pluralisme akan mengacaukan akidah seseorang. Sebab, seakan-akan seorang
pluralis tidak meyakini secara penuh bahwa agamanya adalah yang paling benar.
Sungguh, kesalahpahaman itu adalah suatu kewajaran, disebabkan adanya
kesenjangan pemahaman, namun tidak bisa dibiarkan menjadi pandangan umum.
Pada dasarnya pluralisme memberikan seseorang untuk meyakini bahwa
ajaran agamanya adalah yang paling mulia, namun keyakinannya itu tidak harus
membuatnya arogan dan merendahkan agama lain. Dengan kata lain, dalam sisi yang
lebih substantif, pluralis mendorong untuk membuka diri terhadap dialog dan
saling menukar informasi tentang kebajikan dan anti terhadap permusuhan.
Diperlukan toleransi meski hampir semua masyarakat yang berbudaya
kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial dan agama. Namun, dalam
kenyataannya, permasalahan toleransi masih sering muncul. Sikap eksklusif dan
arogan yang menjadi pandangan dan keyakinan harus ditolak masuk ke Indonesia.
Jika pandangan eksklusif (fanatik dan arogan) semacam itu dibiarkan tumbuh
subur di Indonesia, bisa dipastikan kehidupan beragama di Indonesia akan makin
tidak harmonis.
Sebagai bangsa, kita dipersatukan oleh nilai-nilai luhur yang
sama, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan. Jangan lagi ada konflik berlatar
belakang agama. Jangan lagi ada kecurigaan antarpemeluk agama. Perbedaan agama
tidak boleh menjadi hambatan untuk menolong orang lain. Selain itu, pendidikan
agama tidak hanya sekadar proses belajar-mengajar agama saja. Tetapi, proses
inkulturasi dan akulturasi yaitu proses memperadabkan generasi.
Peneguhan toleransi umat beragama yang paling penting adalah aspek
proses belajar-mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan dan gerakan sosial
kemasyarakatan. Lebih dari itu, toleransi dan sikap toleran harus dimulai dari
cara berpikir para pimpinan kita dalam melakukan kerja-kerja konkret untuk
menguatkan kerukunan antarumat beragama di republik ini. Wallahualam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar