Mencegah
Pemanasan Ekonomi
Mirza
Adityaswara ; Ekonom; Pengurus ISEI
SUMBER
: KOMPAS,
25 Mei 2012
Industri kendaraan bermotor, pengusaha
properti, dan lembaga pembiayaan mendesak agar aturan Bank Indonesia dan Badan
Pengawas Pasar Modal tentang ”uang muka” yang akan diterapkan Juni 2012
ditunda, bahkan dibatalkan.
BI dan Bapepam telah mengatur, pemberian
kredit untuk kepemilikan rumah dan kendaraan bermotor maksimum hanya sampai
70-80 persen dari nilai rumah atau kendaraan. Artinya, debitor harus
menyediakan uang muka 20-30 persen dari nilai rumah atau kendaraan bermotor.
Regulasi ini biasa disebut aturan loan to value (LTV).
Kalangan pengusaha sektor ritel sulit
mengerti mengapa perlu ada aturan LTV dalam pembelian rumah dan kendaraan
bermotor yang dibiayai dengan kredit bank dan lembaga pembiayaan karena mereka
memang tidak berkecimpung di bidang pengendalian stabilitas makroekonomi.
Bahkan, ada pengusaha kendaraan bermotor yang mengancam menunda investasi
ekspansi pabrik jika aturan tetap dilaksanakan.
Mereka tak mengerti sebenarnya kebijakan LTV
justru dibuat untuk menopang sektor riil agar dapat tumbuh sehat dan
berkelanjutan. Inilah tantangan BI dan Bapepam sebagai bagian dari Forum
Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK) dalam sosialisasi kebijakan
sektor keuangan kepada masyarakat. Anggota FKSSK terdiri dari Menteri Keuangan,
Gubernur BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Ketua FKSSK adalah Menkeu. Bapepam saat ini bagian dari Kementerian Keuangan
(Kemkeu). Namun, mulai 1 Januari 2013, Bapepam akan melebur ke dalam OJK.
Seperti menyetir mobil di jalan raya, dalam
mengendalikan laju perekonomian kita juga tidak boleh terus-menerus menginjak
gas. Kadang kala kita juga harus menginjak rem atau mengganti gigi persneling.
Mesin ekonomi akan melaju kencang jika iklim investasi bagus dan tersedia
bensin dalam bentuk dana kredit. Jika ekonomi dibiarkan terus melaju kencang
tetapi didanai utang dan kita harus menguras devisa untuk membiayai impor dan
membayar utang luar negeri, tinggal menunggu waktu saja ekonomi akan jatuh dan
akhirnya menyengsarakan masyarakat.
Ini yang terjadi pada Indonesia, Thailand,
dan Korea Selatan 1994-1996, yakni membiarkan ekonomi berlari kencang tanpa
kendali sehingga kemudian terpuruk pada 1997-1998. Ekonomi AS dan Eropa juga
dibiarkan berlari kencang dibiayai utang dan subsidi pada 2004-2006 sehingga
kolaps pada 2007-2008. Bahkan, kondisi ekonomi Eropa saat ini semakin memburuk.
Rem vs Stimulus
Ekonomi yang melaju kencang secara tak sehat
disebut ekonomi yang panas atau overheating. Di situlah tugas otoritas sektor
keuangan untuk mulai mengerem sedikit demi sedikit pada saat ada gejala ekonomi
memanas agar ekonomi tumbuh sehat. Rem moneter dan fiskal harus mulai diinjak
saat sektor riil sedang berpesta pora. Di sini otoritas sektor keuangan akan
diuji, apakah mereka memiliki independensi dan keberanian menginjak rem karena
pasti akan diprotes pelaku sektor riil dan politisi. Dituntut kedewasaan pelaku
sektor riil dan politisi untuk bisa memahami kebijakan pengetatan oleh otoritas
sektor keuangan.
Sebaliknya, dalam kondisi di mana ekonomi
diprediksikan akan menuju resesi, tugas otoritas sektor keuangan untuk segera
memberikan stimulus agar ekonomi tidak jatuh. Kebijakan seperti ini disebut
counter cyclical, artinya kebijakan antisipatif, yaitu mencegah ekonomi
mengalami pemanasan (overheating) dan mencegah resesi.
Untuk melakukan kebijakan seperti ini
dibutuhkan kemampuan analisis ke depan (forward looking), tidak hanya di
otoritas moneter (BI), tetapi juga di otoritas pengawasan (OJK), otoritas
penjaminan deposit perbankan (LPS), serta otoritas fiskal (Kemkeu). Artinya,
koordinasi menjadi penting di antara anggota FKSSK, apalagi fungsi pengawasan
perbankan akan berpindah dari BI ke OJK pada 1 Januari 2014.
Pada 2014, BI tetap akan mempunyai instrumen
untuk menaikkan dan menurunkan suku bunga dan giro wajib minimum, tetapi
kehilangan wewenangnya dalam pengawasan perbankan. LPS sebagai lembaga yang
menjamin dana deposit masyarakat berkepentingan perbankan dikelola dengan
hati-hati agar dana likuid penjaminan LPS (saat ini sekitar Rp 23 triliun)
tidak tersedot untuk penyelamatan bank yang salah kelola.
Karena itu, LPS melalui UU LPS yang diperkuat
UU OJK diberi kewenangan melakukan pemeriksaan bank. Kemkeu mewakili pemerintah
sebagai otoritas fiskal menopang stabilitas sistem perbankan jika dana LPS tak
cukup. Artinya, Kemkeu berkepentingan agar sektor riil tak panas; bank,
asuransi, lembaga pembiayaan, perusahaan pengelola investasi, dan perusahaan
sekuritas harus dikelola secara sehat.
Apakah ekonomi Indonesia sudah overheating? Jawabannya, ekonomi
Indonesia yang baru tumbuh moderat 6,3 persen belum overheating. Namun, sudah
ada gejala awal menuju overheating sehingga otoritas fiskal dan moneter perlu
mulai injak rem sedikit agar tak lepas kendali.
Gejala Pemanasan
Gejala awal pemanasan ekonomi ditunjukkan
oleh harga properti yang melambung didorong para spekulan karena didanai oleh
kredit. Kenaikan harga tanah 20 persen per tahun tidak baik bagi masyarakat
berpenghasilan menengah dan rendah karena pendapatan mereka rata-rata hanya
naik sebesar inflasi per tahun (4-7 persen).
Gejala awal pemanasan juga ditunjukkan oleh
kenaikan impor yang terus-menerus sehingga kita mengalami defisit neraca barang
dan jasa (neraca berjalan) 2,9 miliar dollar AS di kuartal I-2012. Meski pelaku
sektor riil mengeluh suku bunga tinggi, kredit per Maret 2012 masih tumbuh 25
persen, dua kali lipat pertumbuhan PDB nominal. Harga BBM bersubsidi yang
terlalu murah, plus iklim kredit yang longgar mendorong konsumsi BBM terus
melonjak. Neraca barang dan jasa 2012 diperkirakan defisit 1,3 persen dari PDB.
Ini belum berbahaya karena batasnya 3 persen PDB, tetapi harus diwaspadai
karena ini tahun pertama kita mengalami defisit neraca barang dan jasa setelah
selalu surplus sejak krisis 1998.
Karena pemerintah dan DPR belum bersedia
mengendalikan konsumsi BBM ataupun menaikkan harga BBM, terpaksa otoritas
sektor keuangan yang melakukan pengendalian terhadap pemanasan ekonomi. Aturan
LTV bagi pembelian rumah dan kendaraan bermotor yang didanai kredit adalah
salah satunya. Maksudnya agar bank dan lembaga pembiayaan mulai mengerem
pemberian kredit konsumtif, termasuk kredit perumahan yang meningkat 35 persen.
Jika aturan ini tidak efektif mengendalikan
pemanasan ekonomi, BI terpaksa menaikkan giro wajib minimum. Dan jika masih
juga belum jitu meredakan overheating, langkah selanjutnya BI akan menaikkan
bunga. BI sudah mulai menaikkan bunga lelang SBI berjangka 9 bulan dari 3,9
persen ke 4,2 persen. Jika perbankan dan lembaga pembiayaan dibiarkan
memberikan kredit terus-menerus tanpa rem dengan kompetisi uang muka yang
mendekati nol persen, 3-4 tahun lagi ekonomi kita akan mengalami gelembung aset
seperti kondisi 1995-1996 yang kemudian kolaps pada 1997/1998. Kebijakan LTV
dibuat dalam rangka mencegah overheating
pada 2013-2015 agar ekonomi tak kolaps pada 2016-2018. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar