Guru
Agama di Era Lady Gaga
Bagus
Mustakim ; Guru Agama Islam di SMKN 1 Ngawi (RSBI),
Alumnus Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga
SUMBER
: JAWA
POS, 25 Mei 2012
SAYA seratus persen setuju
dengan Iwan Fals yang menyatakan dalam lagunya bahwa pencarian masalah moral
dan akhlak seharusnya diserahkan kepada masing-masing individu. Adapun yang
dibutuhkan masyarakat adalah peraturan yang sehat dan penegakan hukum
setegak-tegaknya. Melalui peraturan yang sehat dan penegakan hukum yang tegas,
moralitas dan akhlak masyarakat akan terjaga.
Saya juga setuju seratus persen bahwa turun tidaknya izin konser Lady Gaga seharusnya dibingkai dalam konteks penegakan hukum, bukan konteks moral ataupun akhlak. Kalau ternyata ada pro dan kontra, itu seharusnya diposisikan sebagai hal yang wajar. Apa pun alasan yang melatarbelakangi, baik masalah keagamaan ataupun sosial budaya, semua itu harus diletakkan dalam koridor perbedaan yang lumrah. Dengan demikian, kalau urusan perizinan berubah menjadi kontroversi seperti sekarang ini, itu berarti ada yang berhubungan dengan masalah profesionalisme kepolisian atau memang ada yang sengaja memancing di air keruh.
Tulisan ini hanya akan menyoroti dampak yang terjadi dari konser Lady Gaga terhadap pendidikan agama di sekolah. Lady Gaga, sebagaimana telah banyak dikenal, mengusung kebebasan ekstrem dalam lagu-lagunya. Beberapa kalangan menilai bahwa lagu-lagu Lady Gaga mengandung paham ideologi yang mengajarkan kebebasan seksual, keseronokan, dan pornoaksi.
Jika dikaitkan dengan pelajaran agama di sekolah, nilai-nilai yang termuat dalam diri Lady Gaga tentu sangat bertentangan dengan nilai yang diajarkan dalam pelajaran agama. Bandingkan saja nilai-nilai yang diusung Lady Gaga itu dengan pelajaran agama yang mengajarkan pernikahan yang terlembagakan hingga cara berpakaian yang sopan.
Di tengah gempuran budaya pop yang dibangun atas dasar liberalisme dan kapitalisme, mengajarkan agama di sekolah menjadi suatu pekerjaan yang tidak mudah. Misi guru agama adalah mengajarkan budaya agama di sekolah dalam membangun spiritualitas peserta didiknya. Sementara di luar sekolah, peserta didik digempur simbol-simbol gaul liberalisme yang memanjakan dan sangat menantang. Sangat sering simbol liberalisme itu bertentangan dengan budaya agama yang dibangun secara susah payah oleh guru agama.
Bisa dibayangkan, di kelas guru agama mengajarkan agar generasi muda menjauhkan diri dari pergaulan bebas dan mengganti dengan pergaulan yang bertanggung jawab dalam bingkai pernikahan. Tetapi, di luar kelas mereka digiring oleh budaya pop dengan lagu cinta-cintaan, film-film mesum, dan cerita-cerita perselingkuhan yang dilakukan remaja-remaja metropolitan. Di dalam kelas guru agama mengajarkan bahwa hidup harus memiliki visi jangka panjang, sementara di luar kelas budaya pop menawarkan kenikmatan yang dapat dirasakan saat ini juga (instan). Ini adalah bentuk pertarungan bebas yang sangat nyata.
Sayangnya dalam pertarungan itu tidak ada perlindungan apa pun yang diberikan oleh negara. Negara terkesan membiarkan pertarungan tersebut terjadi begitu saja. Padahal, lembaran-lembaran konstitusi negara secara tegas menempatkan agama secara khusus dan eksklusif, baik dalam Pancasila, UUD 1945, maupun dalam perundang-undangan yang lain. Nilai-nilai ketuhanan maupun budaya agama menempati posisi yang cukup kuat dalam lembaran-lembaran konstitusi itu.
Kalaupun moralitas atau akhlak yang subjektif itu tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam menerbitkan perizinan konser Lady Gaga, apakah nilai-nilai ketuhanan dan budaya agama yang jelas-jelas diakui oleh konstitusi negara juga tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan? Kalau tidak, lalu di mana peraturan yang sehat itu? Apakah peraturan yang sehat hanyalah peraturan yang didasarkan kepada pertimbangan pasar?
Kalau benar demikian, mengapa nilai-nilai ketuhanan dan agama tetap menghiasi konstitusi negara kita? Mengapa nilai-nilai itu tidak dihapus dan diganti dengan filosofi yang baru yang lebih modern dan lebih akrab dengan kebutuhan pasar? Mengapa pendidikan agama tetap diwajibkan untuk seluruh jenjang pendidikan? Mengapa guru agama tetap dibebani mengajarkan budaya agama di sekolah? Mengapa pendidikan agama tidak dihapus sekalian?
Dalam konteks paham yang diusung Lady Gaga, bagaimana seorang guru agama harus menjelaskan persoalan homoseksualitas dan keseronokan itu kepada peserta didiknya. Apakah memvonisnya secara tekstual dengan menyatakan haram meskipun sang guru tahu bahwa vonis itu mungkin tidak akan berpengaruh apa pun terhadap pengidolaan si artis tersebut. Ataukah mendekatinya dengan pendekatan psikologis, sosiologis, dan ekonomis yang bukan menjadi kompetensinya? Ataukah guru agama dilarang berkomentar karena belum terbukti kontribusinya dalam melawan praktik korupsi di negeri ini sehingga tidak memiliki legalitas moral untuk berbicara masalah moralitas semacam itu?
Jika bangsa ini masih komitmen dengan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan, sudah seharusnya nilai-nilai itu menjadi pertimbangan dalam menyusun perundang-undangan. Dengan demikian, akan lahir peraturan yang benar-benar sehat, yakni peraturan yang mampu mewadahi semua kepentingan bangsa. Diakui atau tidak, masing-masing elemen masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda. Apakah itu atas nama agama, ekonomi, budaya, kebebasan, HAM, dan lain-lain. Sejarah mencatat bahwa kelompok-kelompok kepentingan tersebut memiliki kontribusi yang besar dalam pendirian maupun pembangunan negara meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda.
Peraturan yang sehat tidak seharusnya meninggalkan salah satu kepentingan dari elemen-elemen yang berbeda itu, melainkan mampu menjembatani beragam kepentingan yang ada. Dengan demikian, diperlukan sebuah kecerdasan dalam memahami karakter bangsa yang memang plural ini. Sayangnya selama ini agamalah yang selalu dituntut untuk mengerti dan memahami perbedaan. Guru agama diminta untuk mengajarkan toleransi dan mengembangkan pendidikan agama berwawasan multikultural. Sementara budaya pop seolah menutup mata terhadap realitas plural itu. Budaya pop dikembangkan secara masif tanpa memiliki kepedulian dan toleransi terhadap budaya agama yang ada di masyarakat. ●
Saya juga setuju seratus persen bahwa turun tidaknya izin konser Lady Gaga seharusnya dibingkai dalam konteks penegakan hukum, bukan konteks moral ataupun akhlak. Kalau ternyata ada pro dan kontra, itu seharusnya diposisikan sebagai hal yang wajar. Apa pun alasan yang melatarbelakangi, baik masalah keagamaan ataupun sosial budaya, semua itu harus diletakkan dalam koridor perbedaan yang lumrah. Dengan demikian, kalau urusan perizinan berubah menjadi kontroversi seperti sekarang ini, itu berarti ada yang berhubungan dengan masalah profesionalisme kepolisian atau memang ada yang sengaja memancing di air keruh.
Tulisan ini hanya akan menyoroti dampak yang terjadi dari konser Lady Gaga terhadap pendidikan agama di sekolah. Lady Gaga, sebagaimana telah banyak dikenal, mengusung kebebasan ekstrem dalam lagu-lagunya. Beberapa kalangan menilai bahwa lagu-lagu Lady Gaga mengandung paham ideologi yang mengajarkan kebebasan seksual, keseronokan, dan pornoaksi.
Jika dikaitkan dengan pelajaran agama di sekolah, nilai-nilai yang termuat dalam diri Lady Gaga tentu sangat bertentangan dengan nilai yang diajarkan dalam pelajaran agama. Bandingkan saja nilai-nilai yang diusung Lady Gaga itu dengan pelajaran agama yang mengajarkan pernikahan yang terlembagakan hingga cara berpakaian yang sopan.
Di tengah gempuran budaya pop yang dibangun atas dasar liberalisme dan kapitalisme, mengajarkan agama di sekolah menjadi suatu pekerjaan yang tidak mudah. Misi guru agama adalah mengajarkan budaya agama di sekolah dalam membangun spiritualitas peserta didiknya. Sementara di luar sekolah, peserta didik digempur simbol-simbol gaul liberalisme yang memanjakan dan sangat menantang. Sangat sering simbol liberalisme itu bertentangan dengan budaya agama yang dibangun secara susah payah oleh guru agama.
Bisa dibayangkan, di kelas guru agama mengajarkan agar generasi muda menjauhkan diri dari pergaulan bebas dan mengganti dengan pergaulan yang bertanggung jawab dalam bingkai pernikahan. Tetapi, di luar kelas mereka digiring oleh budaya pop dengan lagu cinta-cintaan, film-film mesum, dan cerita-cerita perselingkuhan yang dilakukan remaja-remaja metropolitan. Di dalam kelas guru agama mengajarkan bahwa hidup harus memiliki visi jangka panjang, sementara di luar kelas budaya pop menawarkan kenikmatan yang dapat dirasakan saat ini juga (instan). Ini adalah bentuk pertarungan bebas yang sangat nyata.
Sayangnya dalam pertarungan itu tidak ada perlindungan apa pun yang diberikan oleh negara. Negara terkesan membiarkan pertarungan tersebut terjadi begitu saja. Padahal, lembaran-lembaran konstitusi negara secara tegas menempatkan agama secara khusus dan eksklusif, baik dalam Pancasila, UUD 1945, maupun dalam perundang-undangan yang lain. Nilai-nilai ketuhanan maupun budaya agama menempati posisi yang cukup kuat dalam lembaran-lembaran konstitusi itu.
Kalaupun moralitas atau akhlak yang subjektif itu tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam menerbitkan perizinan konser Lady Gaga, apakah nilai-nilai ketuhanan dan budaya agama yang jelas-jelas diakui oleh konstitusi negara juga tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan? Kalau tidak, lalu di mana peraturan yang sehat itu? Apakah peraturan yang sehat hanyalah peraturan yang didasarkan kepada pertimbangan pasar?
Kalau benar demikian, mengapa nilai-nilai ketuhanan dan agama tetap menghiasi konstitusi negara kita? Mengapa nilai-nilai itu tidak dihapus dan diganti dengan filosofi yang baru yang lebih modern dan lebih akrab dengan kebutuhan pasar? Mengapa pendidikan agama tetap diwajibkan untuk seluruh jenjang pendidikan? Mengapa guru agama tetap dibebani mengajarkan budaya agama di sekolah? Mengapa pendidikan agama tidak dihapus sekalian?
Dalam konteks paham yang diusung Lady Gaga, bagaimana seorang guru agama harus menjelaskan persoalan homoseksualitas dan keseronokan itu kepada peserta didiknya. Apakah memvonisnya secara tekstual dengan menyatakan haram meskipun sang guru tahu bahwa vonis itu mungkin tidak akan berpengaruh apa pun terhadap pengidolaan si artis tersebut. Ataukah mendekatinya dengan pendekatan psikologis, sosiologis, dan ekonomis yang bukan menjadi kompetensinya? Ataukah guru agama dilarang berkomentar karena belum terbukti kontribusinya dalam melawan praktik korupsi di negeri ini sehingga tidak memiliki legalitas moral untuk berbicara masalah moralitas semacam itu?
Jika bangsa ini masih komitmen dengan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan, sudah seharusnya nilai-nilai itu menjadi pertimbangan dalam menyusun perundang-undangan. Dengan demikian, akan lahir peraturan yang benar-benar sehat, yakni peraturan yang mampu mewadahi semua kepentingan bangsa. Diakui atau tidak, masing-masing elemen masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda. Apakah itu atas nama agama, ekonomi, budaya, kebebasan, HAM, dan lain-lain. Sejarah mencatat bahwa kelompok-kelompok kepentingan tersebut memiliki kontribusi yang besar dalam pendirian maupun pembangunan negara meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda.
Peraturan yang sehat tidak seharusnya meninggalkan salah satu kepentingan dari elemen-elemen yang berbeda itu, melainkan mampu menjembatani beragam kepentingan yang ada. Dengan demikian, diperlukan sebuah kecerdasan dalam memahami karakter bangsa yang memang plural ini. Sayangnya selama ini agamalah yang selalu dituntut untuk mengerti dan memahami perbedaan. Guru agama diminta untuk mengajarkan toleransi dan mengembangkan pendidikan agama berwawasan multikultural. Sementara budaya pop seolah menutup mata terhadap realitas plural itu. Budaya pop dikembangkan secara masif tanpa memiliki kepedulian dan toleransi terhadap budaya agama yang ada di masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar