Kendalikan
Konsumsi Energi Sektor Manufaktur
Yales Vivadinar, Peneliti
pada Energy Policy and Sustainability Research Group, Departemen Teknik Kimia,
FT-UI
SUMBER : KOMPAS, 18 April 2012
Sektor industri manufaktur di Indonesia
adalah pengguna energi terbesar dibandingkan sektor lain, seperti transportasi,
rumah tangga, dan sektor komersial. Konsumsi energi sektor ini (termasuk di
dalamnya BBM) hampir separuh dari seluruh kebutuhan energi nasional.
Populasi industri manufaktur (industri
pengolahan) dalam kategori sedang dan besar diperkirakan lebih dari 25.000
industri, dikelompokkan ke dalam 23 klasifikasi International Standard Industry Classification 1990 (ISIC 1990).
Kelompok industri dengan populasi terbesar meliputi industri makanan dan
minuman, industri tekstil, industri garmen, dan furnitur. Populasi dari empat
sektor industri ini secara bersama-sama bahkan sudah mencapai 50 persen dari
seluruh populasi industri.
Intensitas energi
Dari 23 klasifikasi sektor industri di atas,
hanya enam sektor industri yang mengonsumsi sekitar 80 persen energi, sedangkan
sisanya (17 sektor) hanya mengonsumsi sekitar 20 persen dari total kebutuhan
energi di sektor ini. Hal yang menarik, dari keenam sektor di atas, selain
sebagai pengguna energi terbesar, mereka juga memberikan kontribusi produk
domestik bruto (PDB/GDP) yang sangat dominan, mencapai sekitar 50 persen dari
keseluruhan nilai tambah sektor industri manufaktur.
Selain tingkat konsumsi energi yang besar,
intensitas energi dari enam sektor ini juga sangat tinggi, mencapai hampir dua
kali lipat dari tingkat intensitas energi 17 sektor lainnya.
Indikator-indikator di atas menunjukkan,
tingkat efisiensi energi yang rendah pada enam sektor industri di atas
memberikan ruang yang luas bagi peningkatan efisiensi energi yang dapat
mengurangi jumlah konsumsi energi. Pada gilirannya nanti ia akan mampu
memberikan dampak positif terhadap kontribusi nilai tambah dari sektor industri
manufaktur.
Parameter intensitas energi merupakan satuan
pengukuran tingkat efisiensi penggunaan energi. Efisiensi energi dapat diukur
dengan tiga pendekatan berbeda, yaitu secara termodinamika (joule, BTU), satuan
fisik (kg), maupun secara satuan moneter yang juga dikenal sebagai intensitas
energi. Indikator efisiensi energi dalam satuan termodinamika dan fisik menjadi
kurang efektif digunakan pada aplikasi berskala makro dibandingkan dengan
satuan intensitas energi (barrel/Rp).
Parameter intensitas energi banyak digunakan
oleh beberapa negara maju untuk memonitor penggunaan energi atau membandingkan
penggunaan energi antarsatu sektor dengan sektor lainnya. Parameter ini juga
dapat digunakan untuk membandingkan efisiensi penggunaan energi antarwilayah
atau antarnegara.
Analisis intensitas energi pada enam sektor
manufaktur di atas dapat menjelaskan besar pengaruh faktor-faktor yang
membentuk intensitas energi maupun yang berkaitan erat dengan konsumsi energi.
Faktor pembentuk tersebut mencakup faktor yang terkait maupun yang kurang
terkait dengan efisiensi energi, atau biasanya disebut sebagai faktor
struktural.
Hasil dari analisis dengan pendekatan di atas
menunjukkan, perubahan konsumsi energi dari sebagian besar subsektor industri
yang berada di dalam kelompok enam sektor industri di atas sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang terkait dengan efisiensi energi. Subsektor industri
tersebut, antara lain, industri pengawetan makanan, perajutan, kertas, semen,
kimia hulu, dan baja.
Sementara itu, subsektor industri yang
memiliki perubahan konsumsi energi dipengaruhi oleh faktor yang tidak terkait
dengan efisiensi energi hanya meliputi sedikit subsektor, seperti industri
bubur kertas serta industri gelas dan kaca.
Hasil analisis dengan menggunakan indikator
intensitas energi di atas menunjukkan bahwa kesempatan untuk melakukan
perbaikan terhadap tingkat penggunaan energi melalui pendekatan dari sisi
permintaan masih terbuka sangat lebar. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan
yang bersifat teknis maupun fiskal—yang dapat merangsang para pelaku industri
untuk mengambil langkah-langkah yang mengarah kepada perbaikan indikator di
atas—perlu dilakukan sebagai bagian dari kebijakan energi.
Kebijakan energi yang terfokus hanya pada
sisi pasokan (supply side) akan sama
halnya dengan mengisi ember yang bocor. Meskipun jenis dan jumlah pengisian
ditambah, ember-ember yang bocor tersebut tidak akan pernah penuh dengan air.
Kesimpulan
Penekanan jumlah konsumsi energi pada sektor
manufaktur di atas seharusnya menjadi salah satu kebijakan energi pada sisi
permintaan (demand side) di antara
sekian banyak kebijakan energi yang hanya terfokus pada sisi pasokan (supply side). Sedikit penekanan terhadap
permintaan energi pada sektor pengguna terbesar (sektor manufaktur) akan
berdampak pada penghematan yang besar secara keseluruhan serta peningkatan
kontribusi nilai tambah sektor ini.
Peningkatan nilai tambah yang dihasilkan
tersebut pada gilirannya akan memberikan tambahan ke anggaran pemerintah.
Tambahan anggaran tersebut tentunya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dan
menjamin akses terhadap energi bagi seluruh lapisan masyarakat.
Akses terhadap energi di atas dapat mencakup
ketersediaan infrastruktur yang murah bagi penyaluran energi hingga lapisan
terendah di masyarakat yang memiliki tingkat daya beli yang rendah. Dan, pada
akhirnya dapat menekan harga jual energi bagi lapisan yang memang layak
menikmati jaminan ketersediaan energi dari negara tersebut. ●
Assalamualaikum Sdr. Yales,
BalasHapusArtikel yang cukup menarik. Menunjukkan perhatian saudara terhadap pemberdayaan energi yang belum maksimal di negara kita. Pertanyaan saya
1. Apa seharusnya yg dilakukan oleh manufaktur diatas untuk meningkat efisiensi energi mereka yang rendah saat ini?
2. Mengapa kebijakan energi yg berfokus pada supply side hanya seperti mengisi ember yang bocor?