Harapan pada
KPU Baru
Marwan Mas, Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUMBER : KOMPAS, 18 April 2012
Tujuh anggota baru Komisi Pemilihan Umum
telah dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kamis (12/4) lalu.
Publik berharap banyak kepada KPU baru ini
karena begitu beragam persoalan menyangkut legitimasi hasil Pemilu Legislatif
dan Pemilu Presiden 2009 yang tidak bisa diselesaikan KPU lama. Mulai dari yang
bersifat teknis, aspek yuridis akibat tidak adanya anggota KPU yang berlatar
belakang ilmu hukum, sampai aspek politis. Kali ini pun tidak terpilih anggota
KPU yang berpendidikan hukum yang diharapkan secara teknis dan teori hukum
mampu menafsir dan membentuk regulasi KPU.
KPU periode 2012-2017 ini harus lebih baik
daripada sebelumnya yang penuh kontroversi, seperti dugaan pemalsuan surat
penjelasan putusan Mahkamah Konstitusi yang merusak citra. Tidak tuntasnya
kasus ini dapat memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap kredibilitas
penyelenggara pemilu.
Segala model kecurangan harus diantisipasi
agar hasil pemilu benar-benar legitimitas dan diterima semua pihak secara
elegan. Publik juga menanti apakah tujuh anggota KPU baru ini juga memiliki
integritas moral yang mumpuni, terutama menolak intervensi dari kekuatan
politik, kekuasaan, dan pengaruh uang.
Independensi
KPU
Mengacu pengalaman selama ini, KPU selalu
diintai oleh kepentingan partai politik. Dari tiga kali pemilu di
era-Reformasi, beberapa oknum anggota KPU berafiliasi ke parpol tertentu,
bahkan ada yang terjerat kasus suap seperti pada KPU jilid I. Ketua KPU kala
itu dan beberapa anggotanya dipenjara lantaran terbukti memberi dan menerima
suap.
Independensi dan integritas anggota
penyelenggara pemilu akan dipertaruhkan sebagai salah satu lembaga kunci dalam
pendewasaan demokrasi. Ini diperkuat oleh Jorgen Elklit (dalam Electoral Institutional Change and
Democratic Transition, 1999) bahwa instrumen penting keberhasilan pemilu di
suatu negara terletak pada independensi penyelenggaraan pemilu. Semua proses
pemilu (legislatif, presiden, dan kepala daerah) harus berlangsung secara jujur
dan adil. Kalau ada oknum anggota KPU yang main mata dengan partai atau calon
peserta pemilu tertentu, sudah pasti akan mengurangi kualitas hasil pemilu.
Rakyat mendambakan proses demokrasi yang
sehat dan bermartabat. Berkaca pada Pemilu 2009, proses demokrasi masih
dilakukan sebatas menyelesaikan teknis prosedural, menyebabkan kualitas
demokrasi belum menyentuh aspek intrinsik. Aspek substansial belum terbangun
lantaran elite politik pemegang kekuasaan belum mampu mengekspresikan
kedewasaan berpolitik yang bisa jadi panutan. Hal ini dapat dilihat pada
regulasi penyelenggaraan pemilu yang acapkali dilanggar tanpa ada kepastian
menjatuhkan sanksi.
Kecurangan
Pemilu
Meskipun negeri ini dipuji sebagai negara
demokrasi, realitas berkata lain: masih banyak kecurangan yang tidak selesai di
ruang hukum. Politik uang yang kadang dibungkus bantuan sosial, dana sogokan
pembuka pintu parpol bagi calon kepala daerah, dan intimidasi terhadap
penyelenggara di tempat pemungutan suara (TPS) terus berlangsung. Kecurangan
yang paling sistematis, terstruktur, dan masif (meminjam istilah Mahkamah
Konstitusi) adalah manipulasi penghitungan suara yang menentukan terpilihnya
seorang calon.
Dalam tiga kali penyelenggaraan pemilu,
rekayasa penghitungan dan rekapitulasi suara hasil pemilu, mulai dari TPS,
kecamatan, sampai KPUD dan KPU pusat, begitu sulit diendus oleh hukum. Badan
Pengawas Pemilu yang juga sudah terpilih lima anggotanya laksana macan kertas
lantaran tidak diberi wewenang memadai yang mestinya bisa mengeksekusi
kecurangan. Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutus sengketa hasil
pemilu juga tidak luput dari intaian petualang demokrasi untuk direkayasa
putusannya.
Sengketa penghitungan suara terjadi karena
peserta pemilu main mata dengan penyelenggara, dengan cara memanipulasi
penghitungan suara. Suara rakyat yang tulus diberikan, termasuk yang dibayar,
diobok-obok untuk memenangkan sang pemesan suara. Membeli suara dengan cara
mengubah jumlah hasil penghitungan suara berarti mencuri kedaulatan rakyat.
Para pembeli suara yang kemudian duduk di kursi empuk kekuasaan, pada akhirnya
juga akan mencuri uang rakyat (korupsi) untuk mengembalikan uang yang digunakan
membeli suara rakyat.
Jual-beli suara sebagai musuh pemilu jujur
dan adil selain mendistorsi hasil pemilu, juga jadi salah satu faktor tingginya
biaya pemilu. Jika KPU tidak tegas dan membentengi dirinya dari intervensi
elite politik dan kekuasaan, boleh jadi politik uang akan tetap marak pada
Pemilu 2014. Disahkannya RUU Pemilu dalam Rapat Paripurna DPR, 12 April, yang
dicurigai untuk meminimalkan jumlah pesaing yang akan bertarung pada Pemilu
2014 harus bisa diantisipasi KPU agar tak menimbulkan kekisruhan baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar