Suku
Jawa dan Tionghoa Mengapa Berkurang?
Jousairi Hasbullah, ANALIS STATISTIK SOSIAL BPS
Sumber
: Kompas, 2 Desember 2011
Hasil
Sensus Penduduk 2010, yang secara rinci baru saja dipublikasikan BPS,
dibandingkan dengan hasil Sensus 1930 pada zaman Belanda, mengalami penurunan
signifikan persentase suku Jawa dan Tionghoa di Indonesia. Gejala positifkah?
Persentase
suku Jawa di Indonesia jauh berkurang. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan
angka 40,22 persen, bandingkan hasil Sensus 1930 yang 47,02 persen di seluruh
Indonesia. Persentase suku Tionghoa menurun lebih tajam, yaitu dari 2,04 persen
pada tahun 1930 tinggal 1,20 persen tahun 2010.
Angka
absolut kedua suku tersebut tidak berkurang. Suku Jawa pada tahun 1930
berjumlah 27,8 juta jiwa dari 60 juta penduduk Indonesia waktu itu dan tahun
2010 menjadi 95, 2 juta dari total 237 juta penduduk Indonesia. Sementara orang
Tionghoa pada tahun 1930 sebanyak 1,2 juta jiwa dan kini 2,8 juta jiwa.
Menentukan
suku bangsa seseorang biasanya dilakukan dengan dua pendekatan utama, yaitu
pendekatan antropologis yang didasarkan garis keturunan dan pendekatan
etnodemografis yang didasarkan dari pengakuan yang bersangkutan. Pendekatan
antropologis yang jauh lebih rumit sangat tidak memungkinkan diterapkan dalam
sensus yang berskala masif, dengan varian kemampuan petugas yang sangat
heterogen. Sebaliknya, pendekatan etnodemografis lebih praktis, mudah, dan
memungkinkan digunakan dalam sensus.
Seorang
migran yang telah menetap cukup lama di daerah lain dan budaya setempat:
tradisi, bahasa, nilai, dan norma telah mewarnai perilaku kesehariannya, dapat
saja menyatakan sebagai anggota suku tempat dia berada. Petugas sensus akan
mencatat sesuai dengan pengakuan yang bersangkutan. Inilah yang disebut
pendekatan etnodemografis.
Mengapa
Menurun?
Penurunan
persentase suku ini dapat saja direspons negatif. Beberapa anggota kelompok
suku biasanya lebih suka melihat persentase yang meningkat sebagai tanda bahwa
nilai-nilai, budaya, dan bahasa suku masih dominan. Biasanya sangat penting
untuk berbagai keperluan, termasuk kepentingan politik.
Di
sisi lain, penulis memandang penurunan persentase suku Jawa dan Tionghoa
sebagai hal positif. Pertama, pada suku Jawa ataupun Tionghoa tingkat
fertilitasnya di bawah rata-rata orang Indonesia.
Rata-rata
anak yang dilahirkan oleh perempuan Indonesia (2010) sebanyak 2,15 anak, di
provinsi yang didominasi oleh suku Jawa jauh lebih rendah. Di Jawa Tengah 1,99
anak dan di Yogyakarta hanya 1,39 anak. Pada suku Tionghoa, kemungkinan angka
fertilitasnya juga jauh
lebih rendah. Akibatnya laju pertambahan populasi orang
Jawa dan orang Tionghoa berlangsung lebih lamban dibandingkan dengan suku-suku
lain di Indonesia.
Kedua,
migrasi suku Jawa telah berlangsung sejak lama ke berbagai penjuru Nusantara,
baik melalui jalur force migration (kuli kontrak, transmigrasi) maupun migrasi
spontan sebagai pengaruh dari chain migration (migrasi berantai), yaitu
mengikuti famili yang telah pindah ke daerah lain. Mereka yang telah
turun-temurun berbaur bukan hanya secara fisik melalui jalur perkawinan
antarsuku, juga secara budaya—termasuk dengan nilai-nilai lokal setempat,
kemungkinan tak lagi mengaku sebagai suku Jawa melainkan sebagai anggota suku
tempat mereka berada.
Fenomena
yang sama tampaknya terjadi pada suku Tionghoa. Orang Tionghoa yang datang pada
abad ke-18 dan ke-19, misalnya, yang telah beberapa generasi tinggal menyatu
dengan suku-suku lokal setempat, sebagian di antara mereka tak lagi
mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, tetapi sebagai orang suku setempat.
Jika
saja data yang dikemukakan didasarkan atas hasil sensus penduduk pada masa
pemerintahan Soeharto, barangkali pengakuan tersebut dapat dipertanyakan
tingkat kesukarelaannya, apakah karena memang merasa sebagai suku setempat atau
karena rasa takut. Namun, ketika pengakuan itu datang pada tahun 2010, saat
kebebasan dirasakan oleh semua orang, pengakuan tersebut adalah
pengidentifikasian diri yang memang diyakini apa adanya.
Ketiga
adalah fenomena Jakarta dan sekitarnya. Orang-orang Jawa dan Tionghoa yang
telah hidup di lingkungan Betawi dalam beberapa generasi kemungkinan besar tak
lagi menganggap diri mereka orang Jawa atau orang Tionghoa, tetapi orang
Betawi. Indikasi ini sangat nyata dengan pertambahan anggota suku Betawi yang
luar biasa selama 80 tahun terakhir. Pada tahun 1930 jumlah orang Betawi baru
1,66 persen dari total penduduk Indonesia, saat ini meningkat menjadi 2,87
persen. Tahun 1930 suku Betawi menempati urutan ke-8 suku terbesar di
Indonesia, saat ini menempati posisi lima besar nasional.
Semangat
Multikultural
Hasil
sensus, di mana pun, membatasi kajiannya pada fakta umum dan makro. Untuk
merinci lebih jelas mengapa suatu fenomena terjadi, butuh kajian ilmiah yang
lebih mendalam. Namun, dari kecenderungan umum ini kita mendapatkan hipotesis
berharga bahwa suku Jawa dan suku Tionghoa, yang menurun persentasenya, selain
telah berkontribusi positif pada pembatasan kelahiran juga dan yang utama
memiliki semangat pembauran yang tinggi. Begitu juga dengan suku Betawi yang
terbuka terhadap pendatang.
Dapatkah
kita mengatakan bahwa ketiga suku tersebut, tanpa banyak diketahui selama ini,
telah menjadi pelopor dari semangat multikultural yang positif untuk persatuan
Indonesia. Suatu tantangan untuk dikaji lebih mendalam bagi kelangsungan Indonesia
sebagai negara-bangsa pada masa mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar