Negosiasi
Durban
Fachruddin Mangunjaya, KANDIDAT DOKTOR PROGRAM STUDI LINGKUNGAN IPB
Sumber
: KORAN TEMPO, 2 Desember 2011
Tidak ada konvensi internasional paling krusial sifatnya yang
setiap tahun membawa banyak negara beserta para negosiator dan aktivis lingkungan,
kecuali konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim (UNFCCC).
Pertemuan Conference of the Parties (COP) ke-17 di Durban, Afrika Selatan,
yang diadakan pada 28 November hingga 9 Desember 2011, diikuti oleh 20 ribu
peserta dan peninjau yang datang dari minimal 194 penanda tangan konvensi serta
negara lainnya.
UNFCCC sesungguhnya telah hampir menjadi sebuah konvensi universal
yang diikuti oleh mayoritas negara di muka bumi. Mereka yang tergabung dalam
konvensi tersebut adalah pemerintah negara yang berkomitmen untuk: pertama,
mengumpulkan dan berbagi informasi tentang emisi gas rumah kaca, kebijakan
nasional, dan praktek terbaik yang mereka lakukan; kedua, berkomitmen membuat strategi
nasional untuk mengatasi emisi gas rumah kaca dan dalam rangka mitigasi perubahan
iklim serta—tentu saja termasuk—pemberian dukungan keuangan dan teknologi untuk
negara-negara berkembang. Ketiga, bekerja sama dalam mempersiapkan adaptasi
terhadap dampak perubahan iklim dan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang
akan terus
meningkat.
Adapun COP merupakan pertemuan tertinggi antarnegara anggota untuk
menilai kemajuan dalam berurusan dengan perubahan iklim.Tahun ini ada dua
agenda penting dalam negosiasi tersebut yang diperdebatkan. Pertama, perjuangan
mereduksi emisi yang selama ini berbasis pada kesepakatan antarbangsa (global
accord) Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012, sehingga langkah berikutnya
akan membahas apakah protokol ini akan diganti atau diperpanjang menjadi
Protokol Kyoto II. Kedua, bagi negara berkembang —termasuk Indonesia—adalah
agenda penting mengikutkan agar skema REDD+ mendapat pengakuan legal dari dunia,
sehingga kredit karbon akan didapatkan guna menjamin mekanisme finansial untuk
tetap mempertahankan hutannya. Beberapa praktisi—termasuk banyak NGO—berupaya
dan mendesak supaya hal ini bisa diwujudkan dengan kesepakatan yang mengikat (legally
binding).
Sebab, bagaimanapun mempertahankan hutan yang ada sama dengan
berupaya secara preventif mencegah kerusakan yang lebih parah.
Kerja Sama Global
Upaya negosiasi untuk mencapai penurunan emisi karbon di tiap
negara sudah tentu sulit dilakukan tanpa adanya kerja sama antarnegara yang
berkomitmen menurunkan
jumlah emisinya dan bantuan pasti untuk menahan laju kerusakan
hutan. Diperkirakan sumber emisi global yang berasal dari kebakaran hutan serta
pembukaan lahan dan hutan adalah 20- 25 persen emisi global. REDD+ memerlukan kesepakatan
internasional yang mengikat (legally binding international agreement),
dengan penurunan target emisi yang akan mendorong skema kredit karbon dalam
upaya menurunkan pembukaan lahan dan hutan di negara berkembang.
Beberapa skema sukarela telah dilakukan untuk mencoba REDD+ di
lapangan,
termasuk upaya pemerintah Indonesia berniat menurunkan 26 persen emisinya.
Karena itu, Indonesia telah mendapatkan komitmen bilateral dari
Norwegia dan berbagai partisipasi tidak mengikat lainnya dari berbagai
pemerintah untuk mencoba
REDD+ di lapangan.
Banyak kemajuan dan juga uji coba kesiapan REDD+ sudah dilakukan,
debat publik sering terjadi—di mailing list lingkungan —terutama dalam
upaya penerapan insentif bagi masyarakat yang ada di pinggiran hutan, di
antaranya bahwa REDD+ sesungguhnya tidak dikehendaki mengulang kapitalisasi
hutan menjadi keuntungan para elite pengusaha hutan yang “berganti baju
investasi” menjadi penjaga hutan dengan mengambil rente karbon yang dimilikinya
tanpa dapat mengubah keadaan masyarakat pinggiran hutan. Disadari pula bahwa
selama ini pengusahaan hutan produksi dan pembukaan lahan untuk pertambangan
ternyata tidak mampu mengentaskan masyarakat miskin di sekitar hutan yang
bahkan hanya mendapat bencana ketika hutan ditinggalkan, seperti sisa lahan
yang tercemar tambang dan tidak lagi subur, banjir, tanah longsor, kekeringan,
serta kekurangan air bersih.
Bagi keuntungan global, sesungguhnya cost and benefit sebuah
hutan alam yang
produktif: dari segi penyerap karbon, layanan ekosistem, penahan
kesuburan lahan,
penyedia plasma nutfah, penghasilan langsung masyarakat dari hasil
hutan bukan kayu, sesungguhnya dapat dihitung dalam jangka panjang.Kebijakan
jangka pendek tentu tidak akan dapat menolong hutan kita. Sebab, sudah pasti
kebutuhan akan kayu, bahan tambang, dan hasil yang instan akan lebih menarik
serta terlihat menguntungkan. Di sinilah diperlukan pemilihan pemimpin yang
mempunyai wawasan ke depan, yang tidak hanya memikirkan kantong pribadi,
partai, atau kelompoknya, tapi memikirkan masa depan anak-cucunya dan masa
depan bumi.
Demikian pula sesungguhnya adaptasi dapat dilakukan dengan upaya mempertahankan
alam—hutan dan penataan ruang yang tepat—sebagai barier alami atas perubahan
iklim. Misalnya, tanpa disadari pemerintah Indonesia telah menghabiskan jutaan
dolar untuk membangun jalan ke Bandar Udara Soekarno-Hatta untuk mengatasi
kenaikan genangan air laut (rob)—ketika terjadi banjir besar—tapi
lupa bahwa kawasan tersebut dulu merupakan hutan mangrove yang
telah diubah menjadi lahan gudang, pabrik, dan perumahan.
Bagaimanapun upaya mempertahankan lingkungan harus dapat mengubah
perilaku kebijakan dengan berbagai upaya dan pendekatan. Perubahan iklim
memerlukan kesadaran kolektif dari tingkat individu (warga negara) hingga
kebijakan negara. Karena itu, tumpuan perubahan perilaku (gaya hidup) hendaknya
tidak hanya dilakukan dalam negosiasi global, juga dalam skala nasional, lokal,
tingkat organisasi kolektif masyarakat (misalnya organisasi kemasyarakatan),
bahkan tingkat perusahaan. Misalnya, perusahaan—yang telah berkomitmen untuk go
green—perlu mendorong karyawan mempunyai kebanggaan moral, bahkan memberi
insentif, jika mereka bisa menggunakan sepeda ke kantor dalam upaya mereduksi emisi
karbon individual mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar