Malu
Putu Setia, KOLUMNIS TEMPO
Sumber
: TEMPO INTERAKTIF, 4 Desember 2011
Abraham
Samad terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru. Saya tak
paham--selain tak mau tahu--ada pertarungan politik apa di balik terpilihnya
Samad. Bahwa Samad disokong oleh kelompok ini, bahwa koalisi partai pemerintah
pecah, bahwa Samad sudah disandera partai tertentu, saya tak mau memikirkannya.
Tambahkan lagi puluhan gosip di sekitar itu, saya tak peduli. Saya tetap senang
dengan terpilihnya Samad.
Berkali-kali
saya dikecewakan oleh para wakil rakyat. Dalam kasus tertentu bahkan saya
dibuat muak. Namun, kali ini, ketika mereka memilih Samad sebagai Ketua KPK,
saya kok sepakat. Saya setuju dengan pilihan itu, mungkin karena saya
"buta politik".
Apakah
karena Samad "anak muda", sedangkan negeri ini sepertinya akan terus
dipimpin orang-orang lanjut usia? Apakah karena dia "orang daerah",
pada saat urusan daerah tak kunjung diperhatikan pusat? Apakah karena
tabungannya hanya Rp 200 juta--tak mungkin nanti ia mantu berbiaya
miliaran--sehingga saya senang dia terpilih? Sedikit benar. Yang banyak
benarnya adalah karena Samad secara terbuka menyebutkan kata "malu"
pada saat dicecar anggota Dewan Perwakilan Rakyat. "Kalau setahun saya tak
bisa menuntaskan kasus besar, saya mundur. Malu rasanya datang dari jauh,
Makassar, tak bisa apa-apa," katanya.
Malu!
Kata yang kehilangan arti di Kota Jakarta, kata yang tak pernah diucapkan, dan
perilaku yang tak pernah dipraktekkan oleh pejabat dan petinggi negara. Tapi
"orang daerah", yang masih kental dengan kearifan lokal, menempatkan
kata "malu" sebagai sesuatu yang sakral.
Saya percaya Samad memegang
kata-katanya itu, karena sanksi moralnya berat. Ini sudah menjadi budaya di
banyak daerah, seperti halnya orang Bali atau orang Minang, yang malu pulang
kalau tak berhasil di rantau. Ketidakberhasilan itu, apalagi disertai
kecurangan, harus dipertanggungjawabkan dengan malu, mundur, mengalah, dan
sejenisnya.
Saat
ini, siapa yang masih punya rasa malu, kalau indikatornya memakai budaya
daerah? Nunun Nurbaetie, kita tahu, tersangka kasus cek pelawat yang sudah
diburu pasukan Interpol. Abraham Samad pun menargetkan menangkap Nunun dalam
setahun ini. Kalau tidak berhasil, dia malu. Tapi apakah suami Nunun, Adang
Daradjatun, yang menjadi anggota Komisi Hukum DPR, merasa malu atas kasus
istrinya ini? Jika indikatornya "orang daerah", semestinya malu,
kemudian ikut "mencari" istrinya, dan menyerahkannya kepada KPK.
Ada
pejabat negara yang menikahkan putranya dengan pesta demikian mewah,
menghabiskan miliaran rupiah. Berapa tahunkah ia menabung uang ini dari gajinya
sebagai pejabat negara? Padahal dia pernah mengeluhkan gajinya yang tak
naik-naik. Kenapa bisa mengeluarkan uang sedemikian banyak untuk mantu?
Seharusnya dia merasa malu, minimal malu kepada dirinya sendiri.
Para
koruptor jelas tak punya rasa malu. Ketika kasusnya terbongkar, dia ditangkap,
diperiksa, diadili, dan dipenjara, rasa malu itu tak ada. Termasuk keluarganya.
Calon-calon koruptor pun akhirnya bertambah, toh kalau ketahuan dan dipenjara,
itu hanya "nasib sial". Tak ada efek jera dari tertangkapnya koruptor
terdahulu. Maka menjadi menarik kalau ide "Kebun Koruptor" Mahfud Md.
direalisasi saja, toh hanya mempermainkan rasa malu, dan belum tentu pula ada
efek jera.
Mari
beri Samad kesempatan untuk berjuang, apakah dia berhasil menangkal rasa malu
itu, sekaligus bisa mempermalukan lebih banyak lagi koruptor. Bahwa ia akan
disetir dan disandera oleh mantan pemilihnya, lupakan sajalah. Kalau itu
terjadi, rasa malu dia malah akan bertambah-tambah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar