Berpolitik
Tanpa Dusta
Djoko Subinarto, PEMERHATI MASALAH SOSPOL, ALUMNUS UNIVERSITAS
PADJADJARAN, BANDUNG
Sumber
: SUARA KARYA, 5 Desember 2011
Hiruk-pikuk kehidupan
berbangsa dan bernegara kita rupanya sampai pula pada kesimpulan sejumlah
kalangan bahwa rezim yang sedang memangku kekuasaan saat ini telah sering
melakukan dusta. Adanya tudingan ini sangat boleh jadi semakin menebalkan
pemahaman publik bahwa jagat politik negeri ini belum bisa lepas dari sejumlah
perilaku tak elok dari sebagian besar politisi kita.
Secara sederhana, 'dusta'
dapat dipahami sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Contohnya, aslinya hitam, tetapi kemudian malah dikatakan putih. Janji-janji
manis, namun akhirnya tidak pernah ditepati, itu juga contoh lain dari dusta.
Dalam salah satu karya
bertajuk Think Why Politicians Have To Lie, Philip Dorell (2006) menyebutkan
bahwa politisi, seperti juga salesman mobil bekas, memiliki kecenderungan untuk
terus berdusta. Bedanya, menurut Dorell, salesman mobil bekas cenderung
berdusta karena kemungkinan besar calon pembeli tidak akan bisa melihat secara
persis apa yang didustakannya. Sedangkan politisi akan terus berdusta
kendatipun khalayak sendiri sudah mengetahui apa yang didustakannya.
Karena kecenderungan
untuk berdusta ini, di sejumlah negara, politisi senantiasa mendapat nilai
sangat rendah dalam soal kepercayaan dari publik. Kate Wall, sebagaimana
dikutip Rainer Adam (2004) menulis, jajak pendapat di banyak negara demokrasi
telah menempatkan politisi hampir di urutan terbawah dalam hal kredibilitas di
mata publik. Alasannya, demikian Wall seperti dikutip Rainer Adam, mereka
dipersepsikan sebagai pendusta jika sampai pada soal melindungi kepentingan
pribadi mereka.
Sementara itu, Joel
Hirschhorn (2008) menyatakan, sebagian besar politisi memiliki satu kesamaan:
tidak jujur. Menurutnya, mayoritas politisi tidak pernah jujur ihwal apa yang
dikatakan dan dilakukannya.
Ihwal mengapa politisi
memiliki kecenderungan untuk berdusta, Philip Dorell menyodorkan dua argumen.
Pertama, politisi berdusta karena khalayak kerap menaruh harapan terlalu besar
kepada mereka. Kedua, politisi sendiri perlu melakukan itu untuk menarik minat
khalayak.
Adanya harapan besar
dari khalayak dan kebutuhan untuk menarik minat khalayak mendorong politisi
akhirnya gemar menghembuskan janji-janji manis. Padahal, belum tentu segala
janji manis ini bisa dipenuhi oleh mereka. Faktanya, yang kerap tercipta adalah
janji-janji kosong yang jauh dari harapan serta kenyataan. Ujung-ujungnya,
publik pun langsung mencap bahwa mereka telah dibohongi oleh para politisi.
Yang lebih parah, dengan
mengobral janji-janji manis, para politisi justru lebih banyak bekerja demi
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Padahal, semestinya mereka ini bekerja
untuk membela secara sungguh-sungguh kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Mereka seharusnya memegang prinsip pro bono publico alias demi kepentingan
publik.
Artinya, kepentingan
publik harus dinomorsatukan di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Bukan
malah sebaliknya. Mereka bekerja untuk membela kepentingan pribadi serta
kelompoknya dan melakukan berbagai upaya - termasuk berdusta - agar kepentingan
pribadi serta kelompok mereka senantiasa terpenuhi, sementara kepentingan
publik ditempatkan entah di urutan ke berapa.
Menanti Negarawan
Sesungguhnya, publik
mesti memahami bahwa politisi bukanlah negarawan. Berharap terlalu banyak
kepada politisi tentulah akan berujung pada kekecewaan. Mengapa? Tabiat dan
kecenderungan politisi - di mana pun - adalah lebih memperjuangkan kepentingan
pribadi dan kelompoknya. Ini tentu beda dengan sosok negarawan.
Menurut Lawrence W Reed,
Presiden The Makinac Center For Public Policy, Michigan, AS, negarawan akan
jauh lebih besar kemungkinan mengedepankan apa-apa yang benar dan menjadi
hak-hak rakyat. Mereka tidak akan mengobral janji-janji yang tidak bisa
ditepati atau janji-janji yang nantinya justru akan mereka langgar.
Sebaliknya, demikian
menurut Lawrence W Reed Reed, politisi lebih senang mengumbar janji-janji manis
dan muluk-muluk yang kemungkinan besar justru tidak pernah bisa mereka penuhi
atau mengapungkan janji-janji yang justru kelak malah mereka langgar sendiri.
Karenanya, tambah Laurence W Reed, kita sesungguhnya memerlukan jauh lebih
sedikit politisi dan memerlukan jauh lebih banyak negarawan.
Karut-marutnya kehidupan
berbangsa dan bernegara di Republik ini, yang ditandai antara lain dengan makin
merosotnya aspek penegakan hukum, menurunnya kemandirian bangsa serta makin
besarnya kesenjangan sosial, dimungkinkan karena makin minimnya sosok negarawan
saat ini.
Yang berkuasa saat ini
adalah lebih banyak para politisi yang seringkali lebih sibuk mengedepankan
kepentingannya sendiri dan kelompoknya. Politik yang mereka praktikkan bukan
lagi politik kebajikan dan kesejahteraan bagi segenap bangsa, melainkan hanya
sebatas politik transaksional untuk menggapai kepentingan pribadi dan kelompok.
Berpolitik tanpa dusta
dan tanpa muatan transaksional mungkin saja dilakukan sepanjang jagat politik
dikuasai oleh para negarawan. Tentu, kita sangat berharap, mudah-mudahan saja
negeri ini ke depan ini, khususnya mulai tahun 2012 nanti bisa secepatnya
melahirkan sosok-sosok negarawan sejati.
Lahirnya
negarawan-negarawan sejati akan membawa bangsa dan negeri ini lepas dari
karut-marut yang berlarut-larut dan segera membuat kehidupan rakyat negeri ini
berubah ke arah yang lebih cerah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar