Antara HAM dan HIV
Zubairi Djoerban, Manajer Pusat Layanan HIV Terpadu
RSCM; Ketua Masyarakat Peduli AIDS Indonesia
Sumber
: KOMPAS, 1 Desember 2011
Lima
belas tahun terakhir kita menyaksikan kemajuan pesat dalam pengobatan,
pencegahan, dan layanan kesehatan untuk orang dengan HIV dan AIDS. Kekhawatiran
para ahli delapan tahun lalu bahwa akan muncul ”gelombang kedua” wabah AIDS
yang menyapu kawasan Asia dan Pasifik ternyata tidak terjadi. Bahkan laju
infeksi menurun 20 persen.
Semua
itu tak lepas dari kemajuan di bidang pengobatan. Makin banyak orang dengan
HIV/AIDS—lazim disebut ODHA—di Indonesia tetap sehat, kualitas hidup membaik,
dan tetap produktif setelah 10 tahun minum obat antiretroviral (ARV) yang
disediakan gratis oleh pemerintah. Bahkan, ada yang telah 18 tahun mengonsumsi
obat ARV dan tetap sehat hingga hari ini.
Penelitian
di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat menunjukkan keberhasilan pengobatan ARV:
77,2 persen ODHA yang minum ARV menunjukkan peningkatan CD4 hingga di atas 200.
CD4 adalah penanda di permukaan sel darah putih manusia dan menjadi indikator
fungsi kekebalan tubuh. Selanjutnya pada 88,7 persen ODHA kadar virus HIV dalam
darahnya tidak terdeteksi lagi. Sementara yang memiliki kualitas hidup dan
kondisi psikologis baik masing-masing lebih dari 70 persen.
Tonggak Kemajuan
Michel
Sidibe, Direktur Eksekutif Badan AIDS PBB (UNAIDS), menyatakan bahwa 2011
adalah tahun istimewa karena titik terang untuk mengakhiri wabah AIDS sudah
terlihat jelas. Jutaan orang telah diselamatkan lewat upaya pencegahan
penularan dan pengobatan sehingga kita mampu mewujudkan generasi baru yang
bebas HIV.
Seharusnya
tidak ada lagi bayi lahir dengan HIV dan kita mampu mencegah kematian ibu
akibat AIDS. Mengobati dengan ARV lebih dini terbukti mencegah penularan HIV
92-96 persen. Sidibe menyatakan bahwa ”Pengobatan adalah pencegahan.”
Optimisme
ini tecermin dalam tema Hari AIDS Sedunia yang diperingati hari ini, 1 Desember
2011, yakni ”Getting to Zero” atau ”Mencapai Nol”. Tema ini terdiri atas tiga
subtema, yaitu penghentian penularan, diskriminasi, dan kematian.
Masa
depan yang lebih baik sudah di depan mata, tinggal bagaimana kita meningkatkan
percepatan penanganan HIV dan AIDS dengan investasi yang pintar. Prasyaratnya
ialah komitmen, kepemimpinan, serta upaya yang luar biasa kuat.
Dengan
demikian, deklarasi komitmen politik para pemimpin negara dalam KTT AIDS PBB di
New York (10 Juni 2011) harus segera diimplementasikan. Komitmen ini menyangkut
upaya mengintensifkan penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif di tingkat
masyarakat.
Kondisi Indonesia
Kalau
jumlah ODHA di seluruh dunia pada akhir 2010 ada 34 juta orang, di Indonesia
jumlahnya diperkirakan 300.000 orang. Mengacu pada pernyataan Sidibe bahwa
pengobatan adalah pencegahan, kita perlu bekerja keras untuk menemukan kasus
ataupun membuka akses kepada ODHA untuk mendapat ARV.
Hingga
saat ini kurang dari 30.000 ODHA yang mendapatkan ARV atau kurang dari 10
persen dari estimasi jumlah ODHA. Dengan demikian, masih ada jurang sangat
besar antara estimasi dan kasus yang teridentifikasi.
Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah tes HIV bagi 5 juta-20 juta rakyat
Indonesia pada tahun 2012, agar semakin banyak ODHA mendapatkan pengobatan ARV
pada tahap dini.
Penanggulangan
menjadi penting karena HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis multidimensi:
krisis kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan terutama krisis kemanusiaan.
Di
Botswana, misalnya, kemajuan pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia hilang
begitu saja sekitar 15 tahun lalu. AIDS membuat negara kehilangan banyak tenaga
terampil dan terdidik. Upaya Pemerintah Botswana melakukan tes HIV terhadap
semua warga negara untuk pengobatan ARV sejak 10 tahun lalu kini mulai
memulihkan kondisi sosial ekonomi negara tersebut.
Jika
tak memutuskan langkah yang tepat dan segera, bukan mustahil krisis Botswana
akan terjadi di sini. Gejalanya sudah tampak dari ancaman HIV/AIDS pada
kelompok usia produktif. Data yang tersedia menyebutkan 46,4 persen kasus
terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun, 31,5 persen pada kelompok 30-39 tahun,
dan 9 persen pada kelompok 40-49 tahun.
Oleh
karena itu, berbagai upaya perlu diintensifkan. Misalnya, upaya mengurangi
penularan seksual, mencegah penularan di kalangan pengguna narkotika, dan
mengeliminasi infeksi baru pada anak. Semua berlangsung paralel dengan upaya
mencegah kematian akibat tuberkulosis yang saat ini menjadi penyebab kematian
utama di Indonesia.
Apalagi
di Indonesia semakin banyak anak menjadi yatim piatu karena HIV/AIDS. Di RS
Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) setiap bulan ada 210 bayi dan
anak dengan HIV mendapat obat ARV. Angka ini di luar sekitar 1.500 ODHA dewasa
laki-laki dan 400 ODHA dewasa perempuan yang berobat jalan ke RSCM setiap
bulan.
Tentu
keadaan ini amat memprihatinkan. Saat negara-negara lain mulai keluar dari
krisis akibat HIV, Indonesia justru baru memasuki krisis.
Perspektif HAM
Berkaca
dari pengalaman Botswana dan Afrika Selatan, kita bisa belajar bahwa perspektif
HAM sangat penting dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Akses
pada tes dan pengobatan serta pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual
adalah hak yang harus diberikan kepada semua orang agar terhindar dari risiko
penularan dan kematian. HIV dan AIDS tak bisa ”dikunci” hanya pada domain
kesehatan. Perspektif HAM mengharuskan kehadiran negara sebagai pihak yang
bertanggung jawab agar akses-akses di atas terbuka bagi masyarakat.
Respons
terhadap epidemi AIDS harus tecermin pada perubahan perilaku, baik perseorangan
maupun institusional. AIDS menyerang semua lapisan masyarakat: berpendidikan
tinggi ataupun rendah, orang tua, remaja dan anak anak, buruh, petani, dokter,
wartawan, pejabat, selebritas, kaya ataupun miskin.
Advokasi
bersama untuk masyarakat yang tak bisa menyuarakan kebutuhannya sangat
diperlukan, utamanya untuk membuka akses universal terhadap pengobatan,
pencegahan dan dukungan. Perlu perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial dan
mendistribusikan sumber daya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar