Sikap Iran Sangat Rasional (1)
Oleh : SIMON SARAGIH
Iran terus menerus menghadapi tekanan Amerika Serikat yang didukung Inggris dan Israel. Pandangan dan saran baik dunia tenggelam dengan kerasnya suara AS. Untungnya peta kekuatan global sudah berubah dengan keberadaan Rusia dan China yang memihak Iran. Uni Eropa relatif berada di tengah. Iran terus melawan AS, tetapi rasional. Iran selalu memberi celah untuk diskusi.
”Sebelum menyalahkan seseorang, kita memerlukan bukti meyakinkan”. Warga Iran sungguh aktor-aktor rasional. Demikian kata Nathalie Tocci, penasihat senior untuk Ketua Komisi Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini, seperti dikutip harian The New York Times, 14 Juni 2019.
Ini peringatan implisit pada AS. Tocci ada benarnya. Jika diamati kalimat dan tindakan Iran muncul tanda tanya. Apa sebenarnya yang bahaya dari Iran?
Ketika ada tanker minyak kena serang di Selat Hormuz, Iran jadi sasaran tuduhan AS sebagai pelaku. Iran terus-menerus membantah tuduhan meragukan itu. Namun, tuduhan pada Iran terus saja muncul.
Uniknya, saat para awak dari salah satu kapal tanker yang diserang itu sedang kalut, aparat Iran datang untuk menyelamatkannya. Mereka bersaksi soal perlakuan yang baik.
Ketika Iran menyerang drone AS, Administrasi Penerbangan Federal (FAA) AS langsung menyatakan angkasa Iran tidak aman. Maskapai penerbangan menghindari wilayah Iran. Pihak Iran muncul dan berkata, angkasanya amanuntuk jalur penerbangan sipil.
Iran yang sabar
Kebaikan ini tak bergema dan tak mengubah nada AS soal Iran. Sikap AS ini merupakan repetisi atas kejadian sejak 2018, saat Presiden AS menyatakan mundur dari perjanjian nuklir 2015. Perjanjian yang dimaksud bernama Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang dicapai di Vienna, Austria, pada 14 Juli 2015 di era Presiden Barack Obama. Ini dicapai lewat kerja sama AS, Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, China, dan Iran.
JCPOA, antara lain, berisikan tuntutan agar Iran tidak mengembangkan uranium lebih dari 300 kilogram. Permintaan ini tidak pernah dilanggar, tetapi Presiden Donald Trump mendadak menyatakan AS mundur secara sepihak dari perjanjian itu pada 8 Mei 2018.
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) telah melakukan verifikasi dan menyatakan Iran menuruti semua permintaan hingga Mei 2019 atau setahun setelah AS mundur. Iran menyerukan keinginan agar perjanjian nuklir 2015 dipertahankan, tetapi AS tidak menanggapi.
Iran cukup sabar dan menantikan hingga setahun dengan harapan AS menghargai JCPOA. Kesabaran Iran malah dijawab dengan serangan verbal bertubi-tubi dari AS, didukung Inggris dan Israel. AS bahkan menuduh Iran telah melebihi produksi uranium dan memburu senjata nuklir.
Direktur CIA Gina Haspel pada Januari 2019 kepada Kongres AS menyatakan Iran memenuhi tuntutan perjanjian nuklir 2015. ”Saat ini mereka, secara teknis, taat,” kata Haspel seperti dikutip ulang oleh kantor berita Reuters, 2 Januari 2019.
Tidak berbahaya
Iran baru melanggar batasan produksi uranium lebih dari setahun setelah AS mundur dari perjanjian. Akan tetapi, ini diakui secara terbuka, bukan sembunyi-sembunyi. Direktur IAEA Yukiya Amano pada awal Juli 2019 menyatakan Iran telah melanggar batasan jumlah uranium yang diperkaya.
Menlu Iran Javad Zarif menyatakan, pengayaan uranium itu tidak ilegal. Paragraf 36 JCPOA secara otomatis mengizinkan Iran memperkaya uranium jika perjanjian buyar.
Meski demikian, Wakil Menlu Iran Abbas Araghchi menyatakan, Iran tetap terbuka untuk diskusi dengan Uni Eropa. Dia mengatakan, AS sebaiknya bergabung lagi (The Guardian, 7 Juli).
Apakah produksi uranium Iran sudah ada di level berbahaya? Sekarang ini tidak. ”Dibutuhkan 1.200 kg uranium kadar rendah dan ini masih harus diperkaya lagi untuk menciptakan satu senjata nuklir,” kata Daryl G Kimball, Direktur Eksekutif Arms Control Association, kepada The Washington Post, 3 Juli 2019. ”Jadi, masih panjang jalan menuju pembuatan bom nuklir,” kata Kimball.
Niat tersembunyi AS
Lalu apa yang dikhawatirkan? Kemudian muncul pernyataan Trump bahwa perjanjian 2015 itu tidak cukup keras menekan Iran. Bloomberg menuliskan bahwa Obama memiliki kesalahan dengan tidak memperluas tuntutan pada Iran lewat JCPOA, hanya menekankan isu pengembangan uranium.
Pencabutan sanksi ekonomi sebagai imbalan atas kesediaan untuk tidak mengembangkan nuklir rentan memakmurkan Iran. Ini berpotensi mendorong kemampuan keuangan Iran untuk mendukung kelompok perlawanan, berdasarkan ulasan Bloomberg.
Sanksi ekonomi berupa embargo minyak pun dinyatakan lagi oleh AS pada 2018. Sanksi ini turut melarang negara-negara lain melanjutkan impor minyak dari Iran.
Tidak semua negara menuruti tekanan AS. China dan India melawan. Pada umumnya negara-negara menuruti AS. Korea Selatan berhenti mengimpor. Perusahaan Total (Perancis) menghentikan bisnis minyak dengan Iran.
Sanksi AS itu membuat Iran mengalami penurunan drastis ekspor minyak mentah dan kondensat. Ekspor minyak Iran mencapai puncaknya pada April 2018, yakni sebesar 2,8 juta barel per hari. Periode November 2018 hingga April 2019, ekspor minyak Iran di bawah 1 juta barel per hari.
Tuntutan baru pada Iran
Itu belum cukup. AS menyampaikan ide baru. Isi perjanjian 2015 diabaikan dan muncul 12 tuntutan baru terhadap Iran, yang diumumkan Menlu AS Mike Pompeo. Tuntutan nomor 1 sampai 4 berisikan tema penghentian segala kegiatan nuklir hingga ke pembuatan senjata nuklir, pengawasan ketat oleh IAEA, serta penghentian pasokan senjata nuklir ke kelompok mana saja oleh Iran.
Di luar itu, Iran diminta membebaskan semua tahanan di Iran, baik warga AS maupun sekutu. Iran harus menghentikan dukungan kepada Hezbollah, Hamas, Palestina, Taliban, dan Al Qaeda. Iran harus menghargai kedaulatan Irak, menghentikan pengiriman senjata kepada kelompok Houthi di Yaman, dan turut mengupayakan perdamaian di Yaman.
Iran diminta mengakhiri dukungan kepada Pasukan Quds dan mengakhiri ancaman terhadap Israel serta tidak mengancam penerbangan internasional. Iran juga diminta harus mengakhiri perang siber dan menghentikan proksi melakukan penembakan ke arah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Trump kemudian meminta Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bertemu Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei. Pertemuan berlangsung di Teheran pada 13 Juni 2019 dengan pesan Iran harus menurut dengan imbalan sanksi ekonomi bisa dicabut.
Khamenei menjawab bahwa Trump bukan orang yang layak dipercayai. Akan tetapi, Khamenei kepada PM Abe menegaskan, ”Iran tidak berniat mengembangkan, memiliki, hingga menggunakan senjata nuklir.”
Tekanan maksimum
AS malah mengumumkan sanksi baru, memblokir semua aliran keuangan internasional terhadap beberapa elite Iran, termasuk terhadap Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan Menlu Iran Zarif. Presiden Iran Hassan Rouhani kemudian menyatakan, jalur diskusi sudah tertutup dengan AS.
Tekanan maksimum ini membuat Iran berang dan mengatakan Iran tidak lagi wajib menaati perjanjian 2015. Meski demikian, IAEA menyatakan, uranium Iran bukan untuk bom, melainkan untuk reaktor nuklir.
Tekanan AS tak mengendur. Iran tetap saja dituduh menyemangati para teroris untuk mengganggu kawasan. Bukti-bukti untuk itu juga tidak pernah jelas. Di tengah semua hiruk pikuk ini, muncul tekanan lain pada Iran, antara lain tuduhan bahwa Iran menyerang enam tanker, juga dengan bukti yang tidak jelas.
Mayjen Chris Ghina, Komandan Militer Inggris pada Misi terhadap Negara-negara Muslim pimpinan AS, menyatakan, tidak ada peningkatan dukunganIran terhadap milisi di Irak dan Suriah. Inggris dan AS kemudian mengubah opini ini dengan mengatakan, Ghina tidak diberi keterangan tentang temuan intelijen.
Untuk memahami semua tekanan AS ini, Menlu Iran Zarif menyatakan, AS dari waktu ke waktu terus melakukan kesalahan demi kesalahan. Kesalahan itu bahkan mulai terjadi sejak dekade 1950-an. Zarif mengatakan, tekanan terhadap Iran dilakukan dengan pemutarbalikan fakta. Hal itu dia katakan pada sebuah forum yang diselenggarakan The Asia Society, New York, 24 April 2019. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar