Selasa 02 Juli 2019, 13:10 WIB
Menuju Akses Air Bersih Sepanjang Waktu
Jakarta -
TPB target 6.1 menyatakan "pada tahun 2030 mencapai akses universal dan merata terhadap air minum yang aman dan terjangkau bagi semua." Keterjangkauan yang dimaksud di sini tentunya untuk setiap kali membutuhkan air minum.
Apakah akses ini dapat dinikmati setiap hari? Jawabannya tentu tidak. Pemberitaan akhir-akhir ini tentang krisis air bersih di beberapa tempat sudah tidak asing lagi. Di beberapa desa di kabupaten Blitar, Mojokerto, Lamongan, Bandung Barat, Trenggalek, Pasuruan, dan Aceh Besar sudah mengalaminya dalam satu bulan terakhir.
Pemberitaan krisis air minum bukan hal baru. Hal ini terjadi setiap tahun khususnya saat kemarau. BMKG telah mengeluarkan prakiraan musim kemarau pada 2019 di Indonesia, puncak musim diperkirakan umumnya terjadi pada Agustus. Pemberitaan akan krisis air kemungkinan akan terus bertambah sesuai dengan musim kemarau yang akan mencapai puncaknya.
Musim kemarau ataupun hujan pasti datang setiap tahunnya dan permasalahannya tentu akan mengikuti. Permasalahan yang sudah pasti akan datang seharusnya menjadi perhatian agar ketersediaan air minum untuk semua tercapai. Area resapan, misalnya sumur resapan, adalah salah satu solusi bukan hanya menjawab krisis air pada musim kemarau tetapi juga kelebihan air pada musim hujan.
Cerita Sukses Sumur Resapan
Pada 2012-2013 Desa Potemon, Kecamatan Tengaran, Semarang, Jawa Tengah mengalami kekeringan parah. Kemudian pada 2015 terjadi kelimpahan air pada masa-masa kekeringan. Kepala Desa Patemon mengatakan, ada 288 sumur resapan di Desa Patemon. Sumur resapan ini dibuat dengan bantuan dari pihak swasta dan penggunaan dana desa. Dalam rencana pembangunan jangkaa menengah desa (RPJMDes) warga akan membangun sumur resapan termasuk perawatan dengan target 1.000 sumur resapan di Patemon. Setiap tahun akan dibuatkan dua sumur.
Peran Masyarakat
Mewujudkan target TPB pada 2030 mencapai akses universal dan merata terhadap air minum yang aman dan terjangkau bagi semua yang terus tersedia bukan pekerjaan mudah. Masyarakat tidak bisa hanya menuntut peran pemerintah dalam mewujudkannya. Turut ambil bagian sebagai wujud menjaga bumi untuk dapat dipakai anak cucu kita kelak merupakan pilihan logis yang dapat kita ambil.
Pemerintah saat ini melakukan konservasi tanah dan air dengan membangun Dam Pengendali, Dam Penahan, Pengendali Jurang, Sumur Resapan, dan Embung Air. Statistik KLHK 2017 menunjukkan sepanjang tahun dari 2013-2017 terus dilakukan pembangunan sehingga terdapat 134 unit Dam Pengedali yang sudah dibangun; 1.853 unit Dam Penahan; 8.297 unit Pengendali Jurang; 12.830 Sumur Resapan; dan 257 Embung. Pembangunan ini tentu sangat berperan dalam membantu ketersediaan air.
Hasil pengukuran Potensi Desa (PODES) 2018 oleh BPS menunjukkan hanya 10,59 persen atau 8.889 dari 83.931 desa yang memiliki embung. Persentase ini cukup kecil, selain ada hal yang cukup disayangkan yakni terdapat 1.162 desa dengan embung yang tidak dimanfaatkan. Di desa lainnya embung digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, minum, masak dan bahan baku air minum, selain itu digunakan untuk pengairan, pariwisata, perikanan, industri atau pabrik, dan juga sebagai pembangkit listrik.
Masyarakat saat ini juga turut ambil bagian dalam mengatasi krisis air dengan membangun Area Resapan, namun hasilnya masih sangat sedikit rumah tangga yang memilikinya. Hasil Susenas Modul Hansos September 2017 menunjukkan hanya 4,9 persen rumah tangga yang memiliki sumur resapan, 2,1 persen biopori, dan 24,0 persen yang memiliki taman atau tanah berumput. Walau hasilnya masih sangat sedikit, namun terjadi peningkatan yang cukup tinggi dibandingkan pada 2014 yang hanya 1,05 persen sumur resapan, 0,83 persen biopori, dan 26,31 persen taman atau tanah berumput.
Rencana membangun Area Resapan adalah investasi yang sangat dibutuhkan mengingat setiap kali krisis air pemerintah membagikan bantuan berupa air bersih. Padahal jika program ini dikerjakan dan melibatkan masyarakat secara masif, setiap daerah akan mampu memenuhi kebutuhannya dalam memenuhi kebutuhan air bersih sepanjang waktu.
Kebijakan ini seharusnya mulai dikerjakan dari sekarang, sehingga satu atau dua tahun mendatang perbincangan krisis air bersih tidak menjadi persoalan dan bisa memenuhi target TPB pada 2030, yakni seluruh rakyat Indonesia mencapai akses universal dan merata terhadap air minum yang aman dan terjangkau dan tersedia sepanjang waktu.
Akses terhadap layanan sumber air minum layak mencapai 73,68 persen, rumah tangga yang dapat mengakses setiap tahun terlihat peningkatan (71,14 persen pada 2016 dan 72,04 persen pada 2017). Target 2030 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) tentu bukan hal yang tak mungkin dicapai, namun perlu diketahui angka persentase ini diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS yang melakukan pendataannya pada di Maret, namun kebutuhan untuk dapat mengakses air minum diperlukan dalam satu tahun penuh.
TPB target 6.1 menyatakan "pada tahun 2030 mencapai akses universal dan merata terhadap air minum yang aman dan terjangkau bagi semua." Keterjangkauan yang dimaksud di sini tentunya untuk setiap kali membutuhkan air minum.
Apakah akses ini dapat dinikmati setiap hari? Jawabannya tentu tidak. Pemberitaan akhir-akhir ini tentang krisis air bersih di beberapa tempat sudah tidak asing lagi. Di beberapa desa di kabupaten Blitar, Mojokerto, Lamongan, Bandung Barat, Trenggalek, Pasuruan, dan Aceh Besar sudah mengalaminya dalam satu bulan terakhir.
Pemberitaan krisis air minum bukan hal baru. Hal ini terjadi setiap tahun khususnya saat kemarau. BMKG telah mengeluarkan prakiraan musim kemarau pada 2019 di Indonesia, puncak musim diperkirakan umumnya terjadi pada Agustus. Pemberitaan akan krisis air kemungkinan akan terus bertambah sesuai dengan musim kemarau yang akan mencapai puncaknya.
Musim kemarau ataupun hujan pasti datang setiap tahunnya dan permasalahannya tentu akan mengikuti. Permasalahan yang sudah pasti akan datang seharusnya menjadi perhatian agar ketersediaan air minum untuk semua tercapai. Area resapan, misalnya sumur resapan, adalah salah satu solusi bukan hanya menjawab krisis air pada musim kemarau tetapi juga kelebihan air pada musim hujan.
Cerita Sukses Sumur Resapan
Pada 2012-2013 Desa Potemon, Kecamatan Tengaran, Semarang, Jawa Tengah mengalami kekeringan parah. Kemudian pada 2015 terjadi kelimpahan air pada masa-masa kekeringan. Kepala Desa Patemon mengatakan, ada 288 sumur resapan di Desa Patemon. Sumur resapan ini dibuat dengan bantuan dari pihak swasta dan penggunaan dana desa. Dalam rencana pembangunan jangkaa menengah desa (RPJMDes) warga akan membangun sumur resapan termasuk perawatan dengan target 1.000 sumur resapan di Patemon. Setiap tahun akan dibuatkan dua sumur.
Peran Masyarakat
Mewujudkan target TPB pada 2030 mencapai akses universal dan merata terhadap air minum yang aman dan terjangkau bagi semua yang terus tersedia bukan pekerjaan mudah. Masyarakat tidak bisa hanya menuntut peran pemerintah dalam mewujudkannya. Turut ambil bagian sebagai wujud menjaga bumi untuk dapat dipakai anak cucu kita kelak merupakan pilihan logis yang dapat kita ambil.
Pemerintah saat ini melakukan konservasi tanah dan air dengan membangun Dam Pengendali, Dam Penahan, Pengendali Jurang, Sumur Resapan, dan Embung Air. Statistik KLHK 2017 menunjukkan sepanjang tahun dari 2013-2017 terus dilakukan pembangunan sehingga terdapat 134 unit Dam Pengedali yang sudah dibangun; 1.853 unit Dam Penahan; 8.297 unit Pengendali Jurang; 12.830 Sumur Resapan; dan 257 Embung. Pembangunan ini tentu sangat berperan dalam membantu ketersediaan air.
Hasil pengukuran Potensi Desa (PODES) 2018 oleh BPS menunjukkan hanya 10,59 persen atau 8.889 dari 83.931 desa yang memiliki embung. Persentase ini cukup kecil, selain ada hal yang cukup disayangkan yakni terdapat 1.162 desa dengan embung yang tidak dimanfaatkan. Di desa lainnya embung digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, minum, masak dan bahan baku air minum, selain itu digunakan untuk pengairan, pariwisata, perikanan, industri atau pabrik, dan juga sebagai pembangkit listrik.
Masyarakat saat ini juga turut ambil bagian dalam mengatasi krisis air dengan membangun Area Resapan, namun hasilnya masih sangat sedikit rumah tangga yang memilikinya. Hasil Susenas Modul Hansos September 2017 menunjukkan hanya 4,9 persen rumah tangga yang memiliki sumur resapan, 2,1 persen biopori, dan 24,0 persen yang memiliki taman atau tanah berumput. Walau hasilnya masih sangat sedikit, namun terjadi peningkatan yang cukup tinggi dibandingkan pada 2014 yang hanya 1,05 persen sumur resapan, 0,83 persen biopori, dan 26,31 persen taman atau tanah berumput.
Rencana membangun Area Resapan adalah investasi yang sangat dibutuhkan mengingat setiap kali krisis air pemerintah membagikan bantuan berupa air bersih. Padahal jika program ini dikerjakan dan melibatkan masyarakat secara masif, setiap daerah akan mampu memenuhi kebutuhannya dalam memenuhi kebutuhan air bersih sepanjang waktu.
Kebijakan ini seharusnya mulai dikerjakan dari sekarang, sehingga satu atau dua tahun mendatang perbincangan krisis air bersih tidak menjadi persoalan dan bisa memenuhi target TPB pada 2030, yakni seluruh rakyat Indonesia mencapai akses universal dan merata terhadap air minum yang aman dan terjangkau dan tersedia sepanjang waktu.
Winda Sartika Purba ; Statistisi di Subdirektorat Statistik Lingkungan Hidup Badan Pusat Statistik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar