Kamis 04 Juli 2019, 15:22 WIB
Mengarusutamakan Pembangunan Keluarga
Setiap tanggal 29 Juni bangsa ini memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Peringatan Harganas pada tahun ini adalah peringatan yang ke-26. Puncak peringatan Harganas tingkat nasional akan digelar pada 6 Juli 2019 di Kota Banjar Baru Provinsi Kalimantan Selatan.
Tema yang diangkat pada Harganas yang ke-26 ini adalah Hari Keluarga: Hari Kita Semua dengan tagline Cinta Keluarga Cinta Terencana. Tema dan tagline Harganas yang ke-26 ini dirasa sangat cocok untuk mengingatkan kembali akan pentingnya pembangunan keluarga. Pembangunan keluarga merupakan sesuatu yang mendesak dan tak boleh terpinggirkan sebab keluarga merupakan fondasi awal dalam membangun karakter bangsa. Kegagalan dalam pembangunan keluarga juga menjadi ancaman terhadap pembangunan manusia secara keseluruhan.
Tujuan dari peringatan Harganas yang ke-26 ini adalah meningkatkan peran serta pemerintah, mitra kerja, swasta, masyarakat dan keluarga tentang pentingnya penerapan 8 (delapan) fungsi keluarga secara optimal dalam rangka pembentukan karakter sejak dini, untuk mewujudkan pelembagaan keluarga kecil bahagia.
Adapun tujuan khususnya adalah meningkatkan peran serta seluruh Kementrian/Lembaga, stakeholder dan mitra kerja serta masyarakat dalam peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga; meningkatkan kesadaran keluarga dalam penerapan 8 (delapan) fungsi keluarga; meningkatkan peran keluarga dan masyarakat dalam pembentukan karakter sejak dini serta terlaksananya 4 (empat) pendekatan ketahanan keluarga.
Delapan fungsi keluarga tersebut adalah fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi kelestarian lingkungan. Sementara 4 (empat) pendekatan ketahanan keluarga adalah keluarga berkumpul, keluarga berinteraksi, keluarga berdaya dan keluarga peduli dan berbagi.
Dengan berjalannya kembali delapan fungsi keluarga dalam kehidupan keluarga Indonesia yang mencapai 65 juta lebih keluarga, serta terlaksananya 4 (empat) pendekatan ketahanan keluarga tersebut, diharapkan akan tercipta keluarga Indonesia yang kokoh dalam menghadapi era revolusi 4.0 sehingga terwujud keluarga kecil bahagia dan sejahtera serta berkualitas menuju Indonesia berkemajuan.
Generasi Muda
Pembangunan keluarga tak bisa melupakan generasi muda. Pada 2015, negeri ini memiliki 65 juta remaja dan penduduk dewasa muda berusia 15-29 tahun. Jumlah ini merupakan jumlah yang besar dan merupakan modal dalam menyongsong bonus demografi, di mana puncak bonus demografii di Indonesia diperkirakan akan terjadi pada 2028-2031.
Namun demikian pembangunan keluarga terutama pada generasi muda ini sangat terbatas. Remaja dan anak muda yang seharusnya bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan nyaman serta mampu mempersiapkan diri menyongsong masa depannya justru tak sedikit yang mengalami persoalan dan menghambat bangsa Indonesia dalam upaya memanfaatkan bonus demografi secara optimal.
Tingginya anggaran negara di sektor pendidikan yang diamanatkan dalam undang-undang sebesar 20 persen belum mampu menjawab pendidik untuk semua anak bangsa. Masih ada remaja dan anak muda yang mengalami putus sekolah.
Masih terbatasnya pengetahuan remaja dan anak muda di Indonesia mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas mengakibatankan masih terjadinya pernikahan anak di Indonesia. Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas, 2016) mencatat bahwa 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Dari angka tersebut hanya 1 dari 10 anak perempuan yang melanjutkan sekolah lagi, ini berarti sisanya mengalami putus sekolah. Sementara hanya 1 dari 4 perempuan tersebut kemudian mengakses KB. Berarti masih ada 3 dari 4 anak perempuan tersebut yang berpotensi untuk hamil dan melahirkan anak ketika usianya masih anak-anak.
Dampak dari terjadinya pernikahan anak ini selain berisiko pada kesehatan reproduksi perempuan karena alat-alat reproduksinya belum matang dan siap digunakan, juga berisiko meningkatkan angka kematian ibu dan juga angka kematian anak. Selain hal itu menurut hasil studi di 55 negara berpendapatan menengah dan rendah menunjukkan adanya hubungan antara usia ibu saat melahirkan dengan angka kejadian stunting. Makin muda ibu saat melahirkan, makin besar kemungkinan untuk melahirkan anak yang stunting (Finlay, Ozaltin and Canning, 2011). Kejadian stunting juga merupakan beban keluarga serta negara di kemudian hari.
Dari sisi sosial terungkap data bahwa lebih dari 60 persen perkawinan anak di Indonesia berakhir dengan perceraian setelah 1 tahun kawin (Susenas 2016). Perceraian ini terjadi tentu lebih disebabkan oleh ketidaksiapan anak atau remaja dalam membangun bahtera rumah tangga, kurangnya komunikasi antara suami dan isteri karena usia menikah masih terlalu muda (dini) serta rendahnya kemampuan untuk saling percaya dan menjaga komitmen hidup berkeluarga. Perceraian juga bisa diakibatkan oleh lemahnya pola asuh keluarga sebagai akibat dari melemahnya fungsi-fungsi keluarga asal sebelum melakukan pernikahan.
Tingginya kejadian pernikahan di usia anak atau remaja juga diperkuat oleh hasil Survei Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SKAP) 2018 yang dilaksanakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menemukan bahwa angka bahwa Age Spesifik Fertility Rate (ASFR) usia 15-19 tahun sebesar 30 anak per 1000 perempuan usia 15-19 tahun. Ini bisa dimaknai bahwa anak indonesia telah melahirkan anak. Seorang anak yang belum dewasa telah mempunyai anak. Tentunya ini akan menjadi beban keluarga pasangan anak tersebut sebab kebanyakan dari mereka belum mandiri baik secara sosial maupun ekonomi.
Survei Demografi Kesehatan Indonesia Remaja 2017 menyebutkan bahwa sebanyak 11 persen wanita dan 7 persen Pria yang pasangannya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Jika dirinya/pasangannya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, sebanyak 52 persen pria dan 15 persen wanita belum kawin usia 15-24 tahun memilih untuk menggugurkan kandungan, meskipun 29 persen pria dan 39 persen wanita diumur yang sama masih memilih untuk melanjutkan kehamilannya.
Kehamilan yang tidak diinginkan ini berisiko terjadinya komplikasi kehamilan yang bisa membayakan nyawa ibu dan anaknya. Kehamilan yang tidak diinginkan juga berpotensi untuk terjadinya upaya pengguguran kandungan melalui aborsi tak aman yang juga membayakan nyawa ibu.
Menyadarkan Kembali
Persoalan seperti pernikahan dini atau pernikahan anak, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tak aman pada remaja, kelahiran di usia remaja, kriminalitas remaja, seks bebas remaja, aborsi tak aman dan juga perceraian seperti kasus-kasus tersebut mampu dicegah atau dikurangi jika kita fokus pada pembanguan keluarga.
Pembangunan karakter bangsa bisa dimulai dari pembangunan keluarga dengan memperkuat dan menghidupkan kembali fungsi-fungsi keluarga yang selama ini terkesan mengalami penurunan karena berbagai faktor. Selain karena faktor negatif dari globalisasi juga disebabkan oleh semakin melemahnya peran negara dalam memberikan dukungan terhadap pembangunan keluarga.
Semenjak era otonomi diberlakukan, pembangunan keluarga seolah dianaktirikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah lebih fokus pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Adapun pembangunan keluarga jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan sektor-sektor tersebut. Ini dibuktikan dengan lembaga yang mengurusi pembangunan keluarga seperti Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana di daerah sering di-merger dengan dinas lain bahkan ada yang menjadi bagian dari sub bidang tertentu saja.
Untuk itu momentum Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang ke-26 tahun 2019 ini bisa kita jadikan tonggak untuk menyadarkan kembali betapa pentingnya keluarga sebagai pondasi awal pembangunan sebuah bangsa. Keluarga kuat, maka negara juga kuat. Dalam momentum hari keluarga ini juga bisa kita gunakan untuk mengembalikan delapan fungsi keluarga berjalan dan hidup di dalam keluarga-keluarga Indonesia.
Dengan penguatan pembangunan keluarga dan revitalisasi delapan fungsi keluarga yang didukung oleh kebijakan pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengarusutamakan pembangunan keluarga, kita berharap persoalan-persoalan keluarga dan remaja bisa diatasi. Keluarga kuat, bangsa hebat. Selamat Hari Keluarga ke-26. Kalau terencana, semua jadi mudah.
Supriyadi ; Pegawai negeri sipil
Tema yang diangkat pada Harganas yang ke-26 ini adalah Hari Keluarga: Hari Kita Semua dengan tagline Cinta Keluarga Cinta Terencana. Tema dan tagline Harganas yang ke-26 ini dirasa sangat cocok untuk mengingatkan kembali akan pentingnya pembangunan keluarga. Pembangunan keluarga merupakan sesuatu yang mendesak dan tak boleh terpinggirkan sebab keluarga merupakan fondasi awal dalam membangun karakter bangsa. Kegagalan dalam pembangunan keluarga juga menjadi ancaman terhadap pembangunan manusia secara keseluruhan.
Tujuan dari peringatan Harganas yang ke-26 ini adalah meningkatkan peran serta pemerintah, mitra kerja, swasta, masyarakat dan keluarga tentang pentingnya penerapan 8 (delapan) fungsi keluarga secara optimal dalam rangka pembentukan karakter sejak dini, untuk mewujudkan pelembagaan keluarga kecil bahagia.
Adapun tujuan khususnya adalah meningkatkan peran serta seluruh Kementrian/Lembaga, stakeholder dan mitra kerja serta masyarakat dalam peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga; meningkatkan kesadaran keluarga dalam penerapan 8 (delapan) fungsi keluarga; meningkatkan peran keluarga dan masyarakat dalam pembentukan karakter sejak dini serta terlaksananya 4 (empat) pendekatan ketahanan keluarga.
Delapan fungsi keluarga tersebut adalah fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi kelestarian lingkungan. Sementara 4 (empat) pendekatan ketahanan keluarga adalah keluarga berkumpul, keluarga berinteraksi, keluarga berdaya dan keluarga peduli dan berbagi.
Dengan berjalannya kembali delapan fungsi keluarga dalam kehidupan keluarga Indonesia yang mencapai 65 juta lebih keluarga, serta terlaksananya 4 (empat) pendekatan ketahanan keluarga tersebut, diharapkan akan tercipta keluarga Indonesia yang kokoh dalam menghadapi era revolusi 4.0 sehingga terwujud keluarga kecil bahagia dan sejahtera serta berkualitas menuju Indonesia berkemajuan.
Generasi Muda
Pembangunan keluarga tak bisa melupakan generasi muda. Pada 2015, negeri ini memiliki 65 juta remaja dan penduduk dewasa muda berusia 15-29 tahun. Jumlah ini merupakan jumlah yang besar dan merupakan modal dalam menyongsong bonus demografi, di mana puncak bonus demografii di Indonesia diperkirakan akan terjadi pada 2028-2031.
Namun demikian pembangunan keluarga terutama pada generasi muda ini sangat terbatas. Remaja dan anak muda yang seharusnya bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan nyaman serta mampu mempersiapkan diri menyongsong masa depannya justru tak sedikit yang mengalami persoalan dan menghambat bangsa Indonesia dalam upaya memanfaatkan bonus demografi secara optimal.
Tingginya anggaran negara di sektor pendidikan yang diamanatkan dalam undang-undang sebesar 20 persen belum mampu menjawab pendidik untuk semua anak bangsa. Masih ada remaja dan anak muda yang mengalami putus sekolah.
Masih terbatasnya pengetahuan remaja dan anak muda di Indonesia mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas mengakibatankan masih terjadinya pernikahan anak di Indonesia. Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas, 2016) mencatat bahwa 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Dari angka tersebut hanya 1 dari 10 anak perempuan yang melanjutkan sekolah lagi, ini berarti sisanya mengalami putus sekolah. Sementara hanya 1 dari 4 perempuan tersebut kemudian mengakses KB. Berarti masih ada 3 dari 4 anak perempuan tersebut yang berpotensi untuk hamil dan melahirkan anak ketika usianya masih anak-anak.
Dampak dari terjadinya pernikahan anak ini selain berisiko pada kesehatan reproduksi perempuan karena alat-alat reproduksinya belum matang dan siap digunakan, juga berisiko meningkatkan angka kematian ibu dan juga angka kematian anak. Selain hal itu menurut hasil studi di 55 negara berpendapatan menengah dan rendah menunjukkan adanya hubungan antara usia ibu saat melahirkan dengan angka kejadian stunting. Makin muda ibu saat melahirkan, makin besar kemungkinan untuk melahirkan anak yang stunting (Finlay, Ozaltin and Canning, 2011). Kejadian stunting juga merupakan beban keluarga serta negara di kemudian hari.
Dari sisi sosial terungkap data bahwa lebih dari 60 persen perkawinan anak di Indonesia berakhir dengan perceraian setelah 1 tahun kawin (Susenas 2016). Perceraian ini terjadi tentu lebih disebabkan oleh ketidaksiapan anak atau remaja dalam membangun bahtera rumah tangga, kurangnya komunikasi antara suami dan isteri karena usia menikah masih terlalu muda (dini) serta rendahnya kemampuan untuk saling percaya dan menjaga komitmen hidup berkeluarga. Perceraian juga bisa diakibatkan oleh lemahnya pola asuh keluarga sebagai akibat dari melemahnya fungsi-fungsi keluarga asal sebelum melakukan pernikahan.
Tingginya kejadian pernikahan di usia anak atau remaja juga diperkuat oleh hasil Survei Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SKAP) 2018 yang dilaksanakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menemukan bahwa angka bahwa Age Spesifik Fertility Rate (ASFR) usia 15-19 tahun sebesar 30 anak per 1000 perempuan usia 15-19 tahun. Ini bisa dimaknai bahwa anak indonesia telah melahirkan anak. Seorang anak yang belum dewasa telah mempunyai anak. Tentunya ini akan menjadi beban keluarga pasangan anak tersebut sebab kebanyakan dari mereka belum mandiri baik secara sosial maupun ekonomi.
Survei Demografi Kesehatan Indonesia Remaja 2017 menyebutkan bahwa sebanyak 11 persen wanita dan 7 persen Pria yang pasangannya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Jika dirinya/pasangannya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, sebanyak 52 persen pria dan 15 persen wanita belum kawin usia 15-24 tahun memilih untuk menggugurkan kandungan, meskipun 29 persen pria dan 39 persen wanita diumur yang sama masih memilih untuk melanjutkan kehamilannya.
Kehamilan yang tidak diinginkan ini berisiko terjadinya komplikasi kehamilan yang bisa membayakan nyawa ibu dan anaknya. Kehamilan yang tidak diinginkan juga berpotensi untuk terjadinya upaya pengguguran kandungan melalui aborsi tak aman yang juga membayakan nyawa ibu.
Menyadarkan Kembali
Persoalan seperti pernikahan dini atau pernikahan anak, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tak aman pada remaja, kelahiran di usia remaja, kriminalitas remaja, seks bebas remaja, aborsi tak aman dan juga perceraian seperti kasus-kasus tersebut mampu dicegah atau dikurangi jika kita fokus pada pembanguan keluarga.
Pembangunan karakter bangsa bisa dimulai dari pembangunan keluarga dengan memperkuat dan menghidupkan kembali fungsi-fungsi keluarga yang selama ini terkesan mengalami penurunan karena berbagai faktor. Selain karena faktor negatif dari globalisasi juga disebabkan oleh semakin melemahnya peran negara dalam memberikan dukungan terhadap pembangunan keluarga.
Semenjak era otonomi diberlakukan, pembangunan keluarga seolah dianaktirikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah lebih fokus pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Adapun pembangunan keluarga jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan sektor-sektor tersebut. Ini dibuktikan dengan lembaga yang mengurusi pembangunan keluarga seperti Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana di daerah sering di-merger dengan dinas lain bahkan ada yang menjadi bagian dari sub bidang tertentu saja.
Untuk itu momentum Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang ke-26 tahun 2019 ini bisa kita jadikan tonggak untuk menyadarkan kembali betapa pentingnya keluarga sebagai pondasi awal pembangunan sebuah bangsa. Keluarga kuat, maka negara juga kuat. Dalam momentum hari keluarga ini juga bisa kita gunakan untuk mengembalikan delapan fungsi keluarga berjalan dan hidup di dalam keluarga-keluarga Indonesia.
Dengan penguatan pembangunan keluarga dan revitalisasi delapan fungsi keluarga yang didukung oleh kebijakan pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengarusutamakan pembangunan keluarga, kita berharap persoalan-persoalan keluarga dan remaja bisa diatasi. Keluarga kuat, bangsa hebat. Selamat Hari Keluarga ke-26. Kalau terencana, semua jadi mudah.
Supriyadi ; Pegawai negeri sipil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar