Memindahkan Ibu Kota
Wacana pemindahan ibu kota Indonesia muncul kembali dan pemerintah telah melakukan studi yang komprehensif, khususnya dari aspek infrastruktur fisik.
Sejauh ini terdapat tiga pilihan menurut pemerintah (Bappenas). Pertama, tetap di Jakarta, tetapi ada distrik khusus. Kedua, ke wilayah dekat Jakarta (50-70 km). Ketiga, ke luar Jakarta.
Saat ini sepertinya pilihan ketiga yang akan dipilih dengan fokus awalnya ke Kalimantan Tengah dan sekarang ke Kalimantan Timur. Pertanyaan strategis-nasional adalah apakah alasan pemindahan yang disampaikan kepada publik cukup komprehensif? Apakah ada aspek yang belum dibahas?
Pembahasan berikut menunjukkan bahwa alasan yang ada masih kurang lengkap dan terdapat aspek militer, sosiologis, dan sejarah sebagai masukan untuk pembahasan masalah pemindahan ibu kota.
Enam alasan pemindahan
Selain tiga pilihan di atas, terdapat enam alasan yakni: (1) pengurangan beban Jakarta dan Jabodetabek, (2) mendorong pemerataan ke arah timur Indonesia, (3)mengubah pola pikir Jawa sentris menjadi Indonesia sentris, (4) memiliki ibu kota yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan, dan penghayatan pada Pancasila, (5) pemerintah pusat yang efisien dan efektif, dan (6) ibu kota yang smart, green, dan beautiful serta meningkatkan daya saing regional dan internasional.
Dari keenam alasan di atas terlihat bahwa alasan pertama merupakan alasan pendorong untuk pindah dan alasan kedua sampai keenam membahas potensi dampak positif dari ibu kota baru tersebut. Berikut ini akan dibahas masukan untuk keenam alasan tersebut.
Pertama, pemindahan sebanyak 195.500 orang aparatur sipil negara (ASN) serta 25.660 anggota TNI dan Polri dari 900.000 ASN pusat (sekitar 1,2 juta jika dengan keluarganya) dari Jakarta tidak akan mengurangi secara signifikan beban Jakarta yang berpenduduk 10,5 juta orang (BPS, 2018) pada malam hari dan pada siang hari bertambah sekitar 2 juta orang.
Demikian pula beban penduduk di Pulau Jawa tidak akan berkurang secara signifikan dengan dibangunnya ibu kota baru di luar Pulau Jawa. Terkait dengan hal ini dapat saja ada kesan bahwa pembangunan ibu kota baru merupakan tindakan meninggalkan keruwetan Jakarta. Sebagai perbandingan, Tokyo melihat keruwetan sebagai tantangan yang diatasi dengan melakukan reformasi kota secara komprehensif.
Selain itu, jika pindah ke Kalimantan akan terlalu jauh karena jarak udara Jakarta ke Palangkaraya dan Samarinda sekitar 901 km dan 1.308 km dan dipisahkan oleh lautan. Sebagai perbandingan, jarak ibu kota lama dan baru di Australia, Brasil, Malaysia, Korea Selatan, Myanmar, dan semuanya berada dalam satu pulau dan berjarak kurang dari 1.000 km.
Ibu kota lama dan baru yang berbeda pulau adalah Turki (1923) dan jarak Ankara dengan Istanbul adalah 351 km yang dipisahkan oleh Selat Bosphorus (lebar antara 700 meter sampai 3.500 meter) serta tersedia jembatan dan terowongan bawah selat.
Saat ini teori-teori pemindahan ibu kota membahas penyebabnya seperti masalah lingkungan, bencana alam, infrastruktur fisik yang tidak memadai dan jumlah penduduk yang terlalu banyak. Faktor politik dan perang terjadi pada Indonesia ketika ibu kota pindah sementara ke Yogyakarta, Bukittinggi, dan Bireuen. Demikian juga pemindahan ibu kota dapat mengurangi secara signifikan konflik sosial dengan kekerasan ataupun non-kekerasan (Potter, 2017).
Teori lain menekankan faktor elite dan pembangunan bangsa pada era pasca-kolonial (Pakistan) dan pasca-Soviet (Kazakstan) (Schatz, 2003). Selain itu terdapat pula teori bahwa ibu kota yang terisolasi di negara otoriter cenderung rendah tata kelolanya karena lemahnya protes sosial, seperti kasus pemindahan ibu kota Myanmar dari Yangon (Rangoon) ke Naypyitaw (Campante et. al. 2013).
Kedua, pemerataan ke Indonesia bagian timur dan luar Jawa dapat dan telah dilakukan dengan kebijakan pemerataan pembangunan. Saat ini pemerataan pembangunan dengan otonomi daerah, kredit usaha rakyat (KUR), infrastruktur fisik, dan dana desa telah memajukan daerah di Indonesia.
Demikian juga peningkatan desentralisasi kewenangan perizinan dan rencana pengembangan enam metropolitan baru oleh pemerintah akan dapat memajukan wilayah luar Jawa. Namun, pemerataan pembangunan sumber daya alam (SDA) masih kurang inklusif dan saat ini menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada sekitar 50 persen dari 10.000 izin tambang tak lengkap dan jelas.
Dalam hal ini perlu melibatkan BUMDes atau koperasi desa dan perlu memberikan saham kepada komunitas sekitarnya (lihat ”Konflik dan Keadilan Sosial,” Kompas, 2/5/2012). Inklusi komunitas ini terkait dengan pemikiran demokrasi ekonomi Bung Hatta dan pelaksanaan amanat UUD 1945 Pasal 33 dan sila Keadilan Sosial, khususnya SDA.
Ketiga, mengubah pola pikir (mindset) pembangunan dari Jawa sentris menjadi Indonesia sentris sangat terkait dengan pembahasan alasan kedua di atas. Jika SDA lebih bermanfaat pada rakyat banyak, akan ada realitas baru dan pola pikir Indonesia sentris akan meningkat. Demikian pula, adanya kawasan pembangunan sejumlah kabupaten dan provinsi, destinasi wisata dan pelabuhan udara luar Jawa akan mengurangi mindset Jawa sentris.
Selain itu, pada era masyarakat informasi, penyebaran dan akses pendidikan dan perdagangan daring (online) akan mengurangi peran batas geografis dan dapat meningkatkan Indonesia sentris. Dalam ranah maya (virtual), untuk aspek tertentu daerah pinggir (di tingkat nasional bahkan global) dapat menjadi pusat.
Keempat, memiliki ibu kota baru yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila memerlukan indikator yang lebih jelas mengenai ketiga konsep tersebut sehingga dapat diketahui potensi pencapaiannya dibandingkan dengan Jakarta atau daerah lainnya.
Kelima, pemindahan ibu kota tidaklah otomatis menghasilkan pemerintah pusat yang efisien dan efektif. Hal yang lebih penting adalah peningkatan tindakan anti-KKN oleh aparat pusat (kejaksaan, Polri, dan pengadilan) yang berada di provinsi dan kabupaten guna meningkatkan efektivitas pemerintah daerah. Keadaan ini dapat meningkatkan legitimasi presiden dan Mahkamah Agung.
Keenam, memiliki ibu kota dengan konsep smart, green, and beautiful city memang lebih dimungkinkan di ibu kota baru ketimbang Jakarta. Namun, Kalimantan Tengah mempunyai masalah karena lahan gambut tropis sangat rentan (Bambang Setiadi, Kompas, 9/5/2019). Selain itu, Kalimantan Timur mengalami bencana lingkungan dan sosial, seperti deforestasi serta dampak negatif tambang legal dan ilegal.
Demikian pula ibu kota baru tidak serta-merta dapat meningkatkan daya saing dan yang perlu dikembangkan adalah lembaga dan infrastruktur sosial, seperti pendidikan dalam keluarga dan sekolah maupun akselerasi peningkatan kompetensi warga, lembaga pendidikan dan perusahaan agar mampu bersaing di tingkat regional dan internasional.
Aspek militer, sosiologis, dan sejarah
Pembahasan berikut menunjukkan bahwa aspek militer, sosiologis dan sejarah masih belum dibahas secara jelas dan perlu mendapat masukan. Dilihat dari aspek militer, apakah rencana pemindahan ibu kota yang disertai Mabes TNI ini akan sejalan dengan Buku Putih Kementerian Pertahanan 2015 dan Rencana Strategis TNI yang ada?
Analisis Geografi Pertahanan tentang ”Lima Aspek Medan bagi Militer” menyimpulkan bahwa Jakarta masih lebih banyak positifnya dibandingkan dengan Jonggol atau Palangkaraya (Makmur Supriyatno, Jurnal Pertahanan Vol.3, 2013). Selain itu terdapat analisis yang membahas pentingnya posisi ibu kota dan gelar pasukan untuk menjaganya (Fahmi AP Pane, Kompas, 14/5/2019).
Sementara itu, aspek sosiologis ibu kota baru mencakup adanya pendatang baru dengan berbagai kebinekaan sosial budaya dapat menghasilkan hubungan sosial, yakni kerja sama, kompetisi, maupun konflik.
Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk tahun 1957 agar suku Dayak menjadi mayoritas karena sebelumnya mereka berada di Kalimantan Selatan yang mayoritasnya adalah suku Banjar. Namun, dalam perkembangannya banyak pendatang di sana dan menghasilkan persaingan ekonomi dan gesekan budaya serta konflik horizontal pada 1996-1997 dan tahun 2001 di Sampit yang menyebar ke tempat lain di Kalimantan Tengah.
Demikian juga di Tarakan, Kalimantan Timur, pada 2010 pernah terjadi konflik horizontal antarsuku walaupun Tarakan sekarang telah menjadi Provinsi Kalimantan Utara. Jika dilihat dari struktur vertikal maka berbagai data dan analisis menunjukkan bahwa Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah yang kaya SDA masih didominasi oleh korporasi, elite luar provinsi dan elite lokal dan telah menghasilkan KKN di eksekutif dan legislatif. Kesenjangan sosial ini menghasilkan kecemburuan serta konflik tertutup dan terpendam yang mudah menjadi konflik terbuka.
Selain aspek militer dan sosiologis, aspek sejarah juga menjadi penting dalam rencana pemindahan ibu kota. Jakarta—sebelumnya Batavia—berasal dari Jayakarta (Kesultanan Banten) dan sebelumnya Sunda Kalapa (Kerajaan Pajajaran), tetapi dalam perkembangannya Jakarta menjadi kota perjuangan dalam membangun identitas kebangsaan Indonesia. Di Jakarta terjadi peristiwa strategis yang menghasilkan memori kolektif dan modal sejarah bangsa Indonesia seperti Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, lahirnya Pancasila 1945, Piagam Jakarta 1945, Proklamasi 1945, Mosi Integral 1950, Kesaktian Pancasila 1965, dan Reformasi 1998.
Beberapa bangunan sejarah kebangsaan telah menjadi ikon Jakarta, seperti museum-museum kebangsaan dan Monumen Nasional sebagai simbol kemerdekaan yang berada di Lapangan Merdeka dan menjadi tempat Naskah Proklamasi dan Bendera Pusaka Merah Putih.
Terkait dengan hal ini penting untuk diketahui UU Nomor 10 Tahun 1964 (tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta) yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dengan persetujuan DPR GR yang dalam pertimbangannya menyatakan; ”Jakarta Raya merupakan kota pencetusan proklamasi kemerdekaan serta pusat penggerak segala aktivitas revolusi dan penyebar ideologi Pancasila ke seluruh penjuru dunia serta yang telah menjadi ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa alasan pertama pemindahan ibu kota yang masih parsial dan terbatas pada sebagian ASN tidak akan secara signifikan mengurangi keruwetan Jakarta. Selain itu, alasan kedua sampai keenam, yakni akan adanya ibu kota baru, tidaklah serta-merta akan meningkatkan pembangunan daerah walaupun dapat menghasilkan sebuah kota baru yang smart, green, and beautiful.
Dengan kata lain, potensi dampak positif dari ibu kota baru sebenarnya telah dan akan dapat terjadi karena faktor-faktor di luar adanya ibu kota baru. Terkait hal ini, perlu melihat gambar besar pemindahan ibu kota Indonesia yang butuh masukan dari berbagai pihak dan beragam disiplin ilmu agar Presiden dan DPR dapat memutuskan kebijakan strategis ini dengan setepat-tepatnya.
Iwan Gardono Sujatmiko ; Sosiolog; Dosen FISIP Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar