Jangan Lagi Hanya Mengandalkan Jawa
Oleh : Masyita Crystallin, Ekonom DBS Indonesia
JAWA POS, 2 Juli 2019, 11:37:31 WIB
JawaPos.com – Joko Widodo dan Ma’ruf Amin telah ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Jika pengumuman antara quick count beberapa waktu lalu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu in line, wajar jika kemarin kita sempat merasakan adanya upside (pertumbuhan positif) di market.
Namun, itu hanya bersifat temporer. Mengenai investasi riil akan masuk dalam jangka panjang atau tidak, itu bergantung pada reformasi kebijakan ekonomi yang akan dilakukan pemerintah. Apakah bakal melanjutkan reformasi yang sudah dilakukan atau tidak. Apakah masih akan melakukan intervensi harga BBM dan listrik atau tidak.
Investasi, selain berkaitan dengan kejelasan kepastian berusaha dan penegakan hukum, sangat berhubungan dengan infrastruktur dan keputusan politik. Menurut saya, sekilas investor cukup merespons positif perkembangan baru di Indonesia. Apalagi, pengumuman dan penetapan presiden berjalan aman.
Pembangunan infrastruktur dalam lima tahun terakhir masih bisa digenjot pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Namun, sepertinya pemerintah mulai membuka opsi-opsi baru untuk financing. Juga akan lebih melibatkan peran swasta. Anggaran infrastruktur pada APBN mungkin akan tumbuh flat. Yang penting, pembangunan infrastruktur itu merata dan sesuai dengan sasaran.
Membuka kesempatan bagi peran swasta normal diterapkan di negara berkembang. Awalnya mengandalkan dana dari pemerintah dan BUMN. Kemudian, setelah berkembang, swasta akan makin banyak ikut masuk. Baik asing maupun dari dalam negeri. Itu positif. Asalkan, pemerintah bisa mengukur dengan tepat risiko-risikonya.
Pembangunan infrastruktur, menurut saya, harus dilanjutkan. Pengembangan di luar Jawa perlu diperhatikan. Rencana Jokowi untuk memindahkan ibu kota sudah tepat. Sebab, sudah lama Indonesia ini Jawa-sentris. Baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun kekuasaan politik.
Tidak ada salahnya ibu kota digeser. Dengan begitu, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi bisa bertambah. Tidak hanya ada di Jawa. Kalau tidak segera dipindahkan pada periode pemerintahan ke-2 Jokowi, pemindahan ibu kota harus menunggu pemerintah baru lagi. Itu tentu akan membutuhkan willingness politik yang belum tentu sejalan dengan gagasan mengenai pemindahan ibu kota. Jokowi akan berusaha keras mengusahakan pemindahan ibu kota sebelum periode pemerintahannya berakhir.
Dalam jangka pendek, pemindahan ibu kota itu bagus. Akan ada aktivitas pembangunan infrastruktur di tempat baru. Multiplier effect ke daerah juga akan terasa. Kalimantan -wilayah yang disebut-sebut sebagai lokasi ibu kota baru- merupakan daerah yang ekonominya comodity based. Sekarang harga komoditas menurun. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang kelihatannya tidak akan terlalu naik.
Kalau daerah penghasil komoditas bergantung pada komoditas saja, tidak ada sektor unggulan lain yang nilai tambahnya tinggi, akan sulit untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Saat ini 70-80 persen pertumbuhan ekonomi berasal dari Jawa. Kalau pertumbuhan ekonomi Jawa naik 1 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik 0,5 persen. Sebaliknya, kalau pertumbuhan ekonomi Jawa turun 1 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun 0,5 persen.
Jadi, terlalu mengandalkan Jawa, risikonya sangat besar untuk pertumbuhan ekonomi. Kalau kontribusi pulau-pulau besar yang lain bisa naik masing-masing 18-20 persen, guncangan yang ada tidak akan terlalu menggoyang pertumbuhan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi akan merata dan lebih stabil.
*) Disarikan dari wawancara dengan Shabrina Paramacitra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar